25 September 2009

Berani Hidup Harus Berani Dewasa

“Menjadi anak-anak adalah sebuah fase kehidupan, menjadi tua adalah sebuah kepastian. Tapi menjadi dewasa adalah sebuah pilihan dan keberanian”

Berani dewasa bukan urusan usia – meski usia punya kontribusinya – tapi ini soal sikap. Soal keberanian memilih mana sesuatu yang terbaik dari pilihan hidup yang kita jalani. Berani dewasa adalah pilihan hidup yang tidak sederhana. Ini bukan semata karena bertambahnya usia. Tapi berani dewasa adalah keputusan sikap, sudut pandang, pola pikir, dan tindakan yang benar-benar didasarkan pada kesadaran penuh. Berani dewasa adalah berani memutuskan bahwa tujuan hidupnya adalah di akhirat sana.


Ada seorang sahabat yang pernah berkata kepada saya: “Menjadi anak-anak adalah sebuah fase kehidupan, itu benar. Tapi kalau menjadi tua adalah sebuah kepastian, itu salah. Bagaimana dengan mereka yang belum mengalami masa tuanya, tapi sudah keburu meninggal? Bukankah tua itu artinya belum pasti?” Saya hanya tersenyum kala itu dan membalas kata-katanya dengan jawaban yang saya lupa isinya, tapi intinya begini: Yang disebut tua bukanlah dari lamanya seseorang hidup atau bayaknya angka yang mewakili usianya. Tapi menurut saya, yang disebut tua adalah bertambahnya usia seseorang dari hari ke hari. Sebab tidak ada batasan usia antara yang tua dan yang muda. Seseorang dengan usianya yang 30 tahun akan merasa muda bila dibandingkan dengan mereka yang usianya 50 tahun. Tapi seseorang yang usianya 20 tahun, akan mengatakan bahwa mereka yang berusia 30 tahun sudah terbilang tua. Jadi, yang menjadi masalahnya disini adalah factor bertambahnya usia, bukan banyaknya usia.

Para orang tua yang seharusnya sudah bisa menjadi dewasa, malah justru terlambat menjadi dewasa. Banyak laki-laki pengecut yang maunya enak sendiri memainkan perasaan perempuan tanpa berani bersikap dewasa untuk mengambil keputusan tanggung jawab pernikahan. Para mahasiswa dan mahasiswi yang seenaknya menghambur-hamburkan uang tanpa pernah berani dewasa menanggung lelah dan letih bergelut dengan berbagai ilmu, dan maunya hanya yang instan saja mencontek sana sini. Atau pelaku-pelaku kemungkaran yang tak pernah berani bersikap dewasa untuk jujur terhadap hati nuraninya yang dalam, bahwa kemungkaran akan tetap menjadi sebuah tindakan tercela walau ditutupi dengan kebaikan-kebaikan yang semu. Juga pemimpin-pemimpin yang tidak pernah bersikap dewasa menerima takdirnya sebagai pelayan rakyat. Banyak anak-anak yang menghabiskan masa mudanya hanya untuk bersenang-senang tanpa mau bersikap dewasa mengubah paradigma mereka menjadi pemuda/pemudi yang lebih aktif dan produktif. Atau pedagang-pedagang culas yang hanya memikirkan keuntungan pribadi mereka semata tanpa pernah berani dewasa bahwa menerima hukum usaha yang adil adalah lebih baik untuknya. Dan juga orang-orang yang tidak berani dewasa, bila miskin ia mengeluh, angkuh, dan kufur, bila kaya ia tak bersyukur, bila bodoh ia menipu, dan bila pintar ia membodohi orang. Dan begitu seterusnya.

Berani dewasa adalah keputusan jiwa yang tidak sederhana. Sebab seringkali ia berada pada posisi yang sangat kontras dengan fitrah lahiriyah seseorang. Pernah suatu ketika, masih dengan sahabat yang sama, ia menuturkan bahwa pernyataan “Menjadi dewasa adalah sebuah pilihan dan keberanian” adalah kurang tepat. Alasannya, dia memberikan contoh. Jika boleh memilih, maka anak-anak yang hidup di jalanan yang harus berkelahi dengan waktu bekerja sana sini demi mempertahankan hidup, akan lebih memilih untuk menjadi anak-anak yang waktunya tidak terbuang di jalanan, tetapi dirumah, bermain dengan anak-anak lain pada umumnya dan bersekolah dengan tenang.

Lagi-lagi saya hanya tersenyum dan menjawabnya dengan tenang. Sebuah kedewasaan itu terlahir dari ketulusan dan keikhlasan hati. Anak-anak yang dimaksudkan diatas tadi hanyalah korban dari keadaan. Mereka belum bisa dikatakan dewasa jika mereka masih memilih untuk hidup layaknya anak-anak pada umumnya. Dan hal itu juga tak bisa disalahkan sebab fitrah seorang anak adalah menerima kasih sayang dari orang tuanya dan tidak menjadi korban eksploitasi keadaan. Namun kembali lagi ke pembahasan awal, bahwa yang dikatakan dewasa adalah ia yang mau menerima kenyataan hidup dengan lapang, tulus, dan ikhlas. Jika anak-anak yang hidup di jalanan itu dapat dengan rela dan ikhlas menjalani kehidupan mereka sebagai tukang semir sepatu atau pedagang asongan demi membantu kehidupan keluarga mereka misalnya, maka tak perlu dipertanyakan lagi akan kedewasaan mereka.

Berani hidup harus berani dewasa. Berani dewasa harus berani mengambil sikap dan keputusan untuk kehidupan yang lebih baik. Berani dewasa juga perlu perngorbanan yang tidak mudah. Berani dewasa harus berani mengalah untuk menang. Berani dewasa harus berani mengambil resiko. Berani dewasa harus berani menerima tantangan. Berani dewasa harus berani mencari ilmu yang bermanfaat. Berani dewasa harus berani memberikan contoh yang baik. Berani dewasa harus berani berbuat, dan tidak hanya bicara. Berani dewasa harus berani memberikan kebaikan dimanapun ia berada. Berani dewasa harus berani menatap kehidupan di masa mendatang.

Berani hidup harus berani dewasa. Hidup ini memang tidak mudah. Namun lebih tidak mudah lagi jika hidup tanpa berani menjadi dewasa. Bahwa fase demi fase adalah kepastian. Setiap usia punya jenjangnya, ada situasinya, sulit dan mudahnya. Tapi keberanian menjadi dewasa adalah sebuah keniscayaan yang dengannya kita lalui segala fase itu, kita kejar cita-cita akhir kita, di puncak keridhoan Allah swt. Wallahu ‘alam.

By Nurlaila Zahra (Sarah)
250909

24 September 2009

Tips Mengelola Virus C 1 N T 4 Yang Baik

Seringkali kita merasa tabu untuk membicarakan ‘Cinta’. Entah karena tak pantas, atau memang persepsi mayoritas orang yang membuat tabu akan hal itu. Tapi kali ini, saya akan coba membahas hal itu dari sudut pandang yang berbeda. Di suatu waktu, pernah seorang sahabat di facebook berkomentar pada saya, “Ukhti, coba anti yang membahas tentang cinta yang terpendam / cinta yang bertepuk sebelah tangan”. Wow !!! menjadi sebuah tantangan nih buat saya. Ok, saat ini saya akan coba membahasnya.


Sebenarnya jatuh cinta dengan lawan jenis itu hukumnya apa sih? Islam tidak mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri manusia. Akan tetapi, cinta itu harus dijaga dan dilindungi dari kehinaan dan kekotoran. Cinta pada lawan jenis bukan sesuatu yang kotor. Bahkan ia sesuatu yang suci. Dan pernikahan adalah “bingkai” yang dapat menjaga kesucian itu. Cinta tidak haram dan tetap terjaga kesuciannya selama tidak menimbulkan kemaksiatan pada Allah. Inilah yang harus digarisbawahi karena seringkali dengan dalih cinta, namun menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan.

Pernikahan adalah solusi mutlak bagi dua insan yang tengah jatuh cinta. Tapi hal itu tidak terlepas dari kesiapan fisik, mental, dan materi dalam menuju gerbang pernikahan. Jika kedua belah pihak masing-masing sudah mapan dan siap, sebaiknya jangan pakai ditunda-tunda lagi sebab kebaikan haruslah disegerakan.

Seorang antropolog asal AS, Helen Fischer, menemukan kesimpulan yang amat “berani”. Setelah melakukan penelitian selama beberapa tahun, ia menyatakan bahwa cinta itu tak abadi. Daya tahan cinta hanya 4 tahun saja. Ia menemukan betapa kasus perceraian mencapai puncaknya ketika usia pernikahan mencapai usia 4 tahun. Kalaupun masa 4 tahun itu terlewati, kemungkinan itu berkat hadirnya anak kedua. Kalau mau main hitung2 an, rasanya seru juga. Misal, masa pacaran telah dilalui 3 tahun, berarti kesempatan untuk bisa mempertahankan gelora cinta hanya ada di tahun pertama pernikahan. Lalu apa yang terjadi ketika masa pernikahan menginjak tahun kedua, ketiga, dan seterusnya? Cuma ada sisa-sisa / bahkan punah sama sekali. Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami masa pacaran lebih dari 6 tahun?

Maka dari itu saya tekankan bagi mereka yang sudah mapan dan siap, bersegeralah untuk menikah dan jangan ditunda-tunda lagi. Hal ini untuk menghindari hilangnya gelora cinta bila yang dilakukan hanya pacaran bertahun-tahun tanpa ada realisasinya dalam wujud pernikahan. Makanya tak jarang orang-orang yang sudah melakukan pacaran selama bertahun-tahun, hubungan mereka kandas ditengah jalan karena mungkin dari masing2 mereka sudah jenuh dengan pasangannya (gelora cintanya sudah hilang) dan memutuskan untuk mencari pasangan yang lain. Juga karena sesuatu yang belum halal, secara paksa telah mereka rasakan.

Lalu bagaimana bagi mereka yang hanya bisa memendam cintanya dalam diam, dalam hati, cinta terpendam, atau bertepuk sebelah tangan? Mungkin hal ini yang masih belum bisa disikapi secara baik oleh masing2 kita. Banyak yang merealisasikan perasaan cinta itu dengan menjalin hubungan tanpa status alias pacaran. Padahal mungkin masing2 kita tahu bahwa dalam berpacaran, banyak hal-hal haram yang justru dihalalkan dengan cara pemaksaan.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).

“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. Sabdanya : "Nasib anak Adam mengenai zina telah ditetapkan. Tidak mustahil dia pernah melakukannya. Dua mata, zinanya memandang. Dua telinga, zinanya mendengar. Lidah, zinanya berkata. Tangan zinanya memegang. Kaki, zinanya melangkah. Hati, zinanya ingin dan rindu, sedangkan faraj (kemaluan) hanya mengikuti atau tidak mengikuti." (Hadits Shahih Muslim No. 2282)

Lalu, ada tidak sih pacaran yang islami? Jelas tidak. Pacaran itu bid’ah (mengada-ada), jadi tidak ada istilah pacaran islami. Terlepas dari alasan karena Allah / tidak, pacaran tetap diharamkan karena tidak merujuk pada syariat Islam. Khawatir jika pacaran ada embel-embel islaminya, maka judi pun juga bisa ditambahkan embel-embel islami oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi apa yang harus dilakukan bagi mereka yang “katanya” jatuh cinta, namun belum saatnya / tidak bisa memiliki? Hal ini sebenarnya susah-susah gampang, tergantung dari masing-masing kita apakah berniat untuk menjalankannya atau tidak.

Pertama, bila hasrat cintanya sudah menggebu, sebaiknya dia menindaklanjuti ke jenjang pernikahan. Kedua, jika belum mampu, sebaiknya dia berusaha melupakan “pujaan hatinya” itu dan senantiasa menyibukan diri untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat. Dia harus merahasiakan cintanya, menahan diri, dan tetap bersabar. Bahkan Rasulullah dalam sebuah haditsnya menganjurkan untuk berpuasa.

Belajar dari pengalaman, ada beberapa tips yang bisa dilakukan bagi kalian yang terjebak dalam kasus ini, namun belum mampu untuk merealisasikannya ke jenjang pernikahan.

1) Niatkan dalam diri bahwa kita mampu melupakan si dia. Bukan karena kita tidak boleh jatuh cinta, namun karena adanya dia di hati kita, membuat cinta kepada-Nya menjadi terduakan / terlalaikan. Banyak aktivitas kita yang terganggu karenanya.
2) Sibukkan diri dengan hal-hal positif yang bisa mengalihkan perhatian kita dari hanya memikirkannya.
3) Hindari sebisa mungkin hal-hal yang berhubungan dengannya. Baik interaksi secara langsung dengannya atau hanya sekedar mencari tahu kabarnya dari teman. Bukan bermaksud untuk memutus silaturrahim, tapi lebih kepada menjaga jarak dengannya. Mungkin mengikuti setiap perkembangan kabar dan berita dari si dia bisa membuat kita senang. Tapi ada yang perlu diingat, bila hal itu terus kita lakukan, maka ibarat bermain api, kalau kita tidak hati-hati, maka kita yang akan terbakar oleh api itu. Setiap kali kita mengikuti perkembangan si dia, timbul harapan-harapan yang membuat kita jadi semakin berharap padanya, padahal harapan itu masih semu. Banyak hal yang kita interpretasikan sendiri, yang pada akhirnya membuat kita jadi berpikiran yang macam-macam terhadap dirinya. Kalau sudah begitu, maka kita sendirilah yang jadi tersiksa karena terus memupuk harapan-harapan yang semu.
4) Hindari sebisa mungkin perbincangan yang tidak penting, sebab hal itu hanya akan membuat kita lebih berharap padanya.
5) Jangan pernah memberikan perhatian lebih ataupun memberikan berbagai macam hadiah pada si dia sebab hal itu hanya akan menimbulkan harapan akan sebuah balasan / pamrih darinya. Jika dibalas, alhamdulillah. Namun jika tidak? Maka kecewalah yang kita rasakan. Dan hal itu kita rasakan sendiri tanpa sepengetahuannya.
6) Jangan pernah berprasangka apapun terhadap dirinya. Posisikan dia sama seperti teman-teman kita lainnya. Sebab dengan cara itu, bisa membuat kita lebih nyaman dalam berinteraksi dengan semua teman-teman kita, termasuk dirinya.
7) Jangan pernah merasa cemburu bila kita lihat si dia lebih sering memberikan perhatiannya kepada orang lain / temannya / teman kita, ketimbang pada kita. Sebab sampai saat ini, dia adalah seorang yang single yang tak punya hubungan apa-apa dengan kita. Lagipula dia pun juga tak pernah tahu apa yang kita rasakan terhadapnya. Daripada api cemburu membakar hati kita, lebih baik padamkan kobaran api itu dengan selalu bersikap husnudzon terhadapnya. Toh sampai saat ini, dia bukan siapa-siapa kita.
8) Hindari dari memikirkan dia, termenung, bermimpi / berangan-angan tentang dirinya. Jangan pernah berandai-andai, “Jikalau bisa hidup bersama dengannya….” Sebab hal itu, lagi-lagi hanya akan menimbulkan harapan yang tak pasti dan hanya akan mengotori diri kita dengan zina hati.
9) Bersikaplah yang sewajarnya dan biasa-biasa saja. Tidak terlalu over dan agresif, namun jangan pula terlalu menghindarinya dan menutup diri darinya. Jadi, ‘B’ aja lagi. Hehehe…

Intinya, kalau sedang jatuh cinta tidak perlu malu. Namun kita harus pandai-pandai menempatkan cinta kita sesuai pada tempatnya. Setelah diikat dengan ijab qabul, barulah rasa cinta itu kita ungkapkan kepada suami / istri kita.

Jadi pacaran itu tidak boleh? Kita lihat QS. Ar Rum: 21

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (AR-RUUM (BANGSA RUMAWI) ayat 21)

Pada ayat diatas, Allah menjelaskan terlebih dahulu bahwa Dia menciptakan pasangan supaya kita merasa cenderung dan tenteram (menikah), barulah Dia menjadikan diantara kita rasa cinta dan kasih sayang. Itu artinya bahwa tidak ada cinta dan kasih sayang sebelum kita merasa cenderung dan tenteram terhadap pasangan kita, yaitu dengan jalan pernikahan dulu, barulah Allah menghadirkan rasa cinta dan kasih sayang itu.

Tidaklah perlu kita menguji kedalaman cinta dengan pacaran bertahun-tahun, karena mengenal seseorang bisa dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dari itu, yaitu dengan cara ta’aruf (berkenalan secara syar’i). Kita juga tidak perlu menilai kecocokan dengan merelakan diri berpacaran bertahun-tahun karena saat ngobrol dalam sesi ta’aruf itu pun sudah bisa dikenali apakah kita cocok dengan si dia / tidak.

Hati yang kotor akan menyebabkan pemiliknya senantiasa berfikir kotor, bertindak kotor, berucap kotor, dan sebagainya yang serba kotor. Karena segala sesuatunya bersumber dari hati, maka apa-apa yang kita lakukan merupakan cerminan dari hati. Begitupun rasa cinta yang tumbuh dari hati. Jika diumbar dan diperturutkan, terlebih lagi bila ditujukan pada seseorang yang belum halal bagi kita, akan menimbulkan titik noda dan benih-benih kekotoran. Wajar jika Allah memerintahkan kita untuk menundukkan pandangan. Dan menjaganya sangatlah dianjurkan agar hati kita tetap terjaga. Wallahu’alam.

Pembahasan ini menemukan kesimpulan yang mungkin sudah ditangkap oleh kita. Bahwa mencintai lawan jenis adalah hal yang wajar. Senang, suka, naksir, jatuh hati, jatuh cinta, atau apalah namanya adalah sebuah kewajaran. Ia akan menjadi ladang pahala bila ditindaklanjuti dan disemai dalam bingkai pernikahan. Namun, ia akan menjadi penghasil dosa yang luar biasa, manakala hanya dibingkai pacaran dan senang-senang saja. Bagi mereka yang sudah siap menikah, maka carilah cinta anda dan menangkan. Namun, bagi anda yang hanya ingin mencicipi rasanya di awal usia, sebaiknya pertimbangkan kembali niat anda. Karena sudah banyak yang capek dan kelelahan karenanya.

Seorang pemenang bukan dilahirkan, namun harus diciptakan. Note ini hanya sebagian kecil dari banyaknya ilmu yang ada di dunia ini. Semoga bermanfaat bagi saya, sebagai hamba yang masih harus banyak belajar dari apa yang belum saya ketahui, dan juga anda tentunya.
(Dari berbagai sumber)

NB:
Ayo, segera hubungi murrabinya jika anda cenderung dengan seseorang

11 September 2009

THR, Antara Kebutuhan dan Keinginan

Di penghujung Ramadhan seperti saat ini, ada satu hal yang sangat dinanti-nantikan oleh para pekerja yaitu Tunjangan Hari Raya, atau yang sering kita dengar dengan istilah THR. Banyak orang yang menggunakan uang THR itu untuk membeli kebutuhan-kebutuhan dalam menjelang Hari Raya. Tapi saya ingin mengingatkan disini. Terkadang setelah kita mendapatkan uang THR tersebut, kebanyakan dari kita mempergunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu hal yang sebenarnya tidak kita perlukan dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri.


Yang ingin saya tekankan disini adalah, kebutuhan jelas sangat berbeda sekali dengan keinginan. Mengapa? Ya, ketika mendekati Hari Raya Idul Fitri, orang-orang yang sudah mempunyai rencana-rencana apa saja yang ingin dilakukan ketika uang THR itu diterima ditangan, merealisasikan rencana-rencana itu dengan membeli segala sesuatunya untuk menyambut Hari Raya. Tapi pernahkah kita sadar, bahwa apa yang kita beli selama ini untuk menyambut Hari Raya, bisa jadi adalah susuatu yang tidak kita butuhkan melainkan hanya sebuah keinginan belaka untuk meramaikan Hari Raya.

Contoh kecilnya saja, bagi seseorang yang sudah berumah tangga dan punya anak, membeli pakaian untuk si buah hati jelas sepertinya sudah menjadi hal yang wajib ketika Hari Raya itu tiba. Namun kita bisa lihat, bagi mereka yang belum berumah tangga (single), ketika THR itu diterima, kebanyakan dari mereka membelanjakan uangnya itu tanpa terkendali. Membeli pakaian baru, sepatu baru, kerudung baru, dan segala yang serba baru, seolah-olah untuk menyambut Hari nan fitri itu harus dengan sesuatu yang baru. Sehingga tanpa disadari uang THR itu terbuang percuma untuk sesuatu hal yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan, melainkan hanya sekedar memenuhi keinginan kita semata. Bukankah tanpa pakaian dan sepatu baru, toh kita tetap akan merayakan Hari Raya itu bukan? Dan bukankah kita bisa lebih memanfaatkan sebagian uang tersebut untuk investasi kita kedepannya?

Bukan berarti kita tidak boleh membeli itu semua, tapi kita juga harus bisa mengalokasikan uang tersebut untuk sesuatu hal memang benar-benar kita butuhkan, bukan hanya sekedar untuk hal-hal yang kita inginkan belaka. Jika hal itu memang terjadi, maka bisa jadi apa yang kita lakukan adalah sebuah kemubaziran atau berlebih-lebihan. Dan Allah sangat tidak menyukai hal itu.

“…janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (SURAT AL AN'AAM (Binatang ternak) ayat 141)

Manfaatkanlah setiap rizki yang kita terima dari Allah, dengan cara-cara yang ahsan (baik), bukan dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab. Belanjakanlah setiap harta kita untuk suatu hal yang memang benar-benar kita butuhkan, dan bukan hanya sekedar memenuhi hasrat keinginan kita semata. Semoga kita bisa menjadi hamba yang selalu bersyukur dengan apa yang kita dapatkan dari Allah Azza wa Jalla. Amin

“Kecukupan akan rizki yang kita miliki adalah bukan dari besar atau kecilnya rizki yang kita dapatkan, namun bagaimana cara kita menggunakan rizki itu dengan penuh manfaat”

Patutlah kita memanjatkan doa ini:
"Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami {235} dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (ALI 'IMRAN (KELUARGA 'IMRAN) ayat 147)

090909
By Nurlaila Zahra - Sarah

9 September 2009

Jangan Takut Menjadi "Orang Aneh"

Dari sekian lama perjalanan usia kita, mungkin kita pernah mengalami suatu hal yang “aneh” yang kita anggap sebagai sebuah pembelajaran untuk masyarakat kita pada umumnya. Ya, mungkin kita pernah pergi ke sebuah masjid dengan maksud ingin menunaikan shalat maghrib berjamaah dengan penampilan yang sangat rapi. Bagi yang laki-laki, mengenakan kain sarung, baju koko, dan peci. Bagi yang perempuan mungkin mengenakan pakaian muslimah beserta kerudung dan mukena yang ia bawa. Lantas di tengah jalan, kita bertemu dengan seseorang yang dengan enaknya berujar pada kita, “Aduh, tumben nih rapi banget. Kayak Pak Ustadz/Bu Ustadzah. Emang mau kemana sih?”

Mungkin awalnya kita biasa saja dalam menyikapi hal tersebut karena bisa jadi orang yang menegur kita itu tetangga kita, namun menjadi sesuatu yang lain rasanya ketika dikaitkan dengan ucapan Pak Ustadz/Bu Ustadzah. Kenapa orang yang hendak pergi ke masjid dengan berpakaian rapi dan memang sudah seharusnya seperti itu dikatakan ‘tumben’? Kenapa justru orang yang sedang jalan-jalan sore sambil mengasuh anaknya ditengah kumandang adzan menjadi biasa-biasa saja?

Ya, orang yang pergi ke masjid akan terasa “aneh” dan “asing” ketika orang-orang justru tengah asyik menonton tayangan sinetron atau menyaksikan pertandingan bola. Orang yang pergi ke masjid akan terasa “aneh” bin “asing” ketika melalui kerumunan orang banyak yang sedang mengobrol ngalor ngidul seolah ingin menyaingi suara adzan yang menggema. Dan orang yang pergi ke masjid akan terasa “aneh” binti “asing” ketika orang lain justru tengah sibuk dengan hal-hal keduniawian mereka.

Mungkin kita akan lebih sering menemukan keanehan-keanehan dan rasa keterasingan diri yang lain, disekitar kita. Coba saja ketika kita datang ke kantor. Sebelum memulai aktivitas kerja, kita sempatkan diri untuk melaksanakan shalat dhuha. Pasti akan terasa “aneh” tatkala karyawan-karyawan yang lain tengah sibuk menghabiskan sarapan, kopi, atau hanya sekedar membaca koran pagi sambil ngobrol.

Ketika adzan zuhur atau ashar berkumandang, cobalah kita menunaikan kewajiban itu tepat waktu atau di awal waktu. Pasti akan terasa “aneh” sebab masjid atau mushalla masih kosong karena teman-teman kita biasa shalat di akhir waktu.

Ba’da menunaikan shalat, cobalah kita berdzikir atau membaca selembar dua lembar ayat Al Qur’an, pasti akan terasa sangat “aneh” ditengah dengkuran orang-orang yang tertidur pulas di masjid atau mushalla. Dan akan makin terasa “aneh” dan “terasing” kala kita ingin menunaikan waktu shalat kita di masjid, malah justru lampu masjid nya sudah di matikan agar orang-orang yang tertidur disana tidak terganggu dengan silaunya lampu masjid.

Kita yang ingin shalat di masjid jadi serasa “numpang” di tempat orang yang tidur. Bukan sebaliknya, orang yang tidur itu justru numpang di tempat orang shalat. Aneh bukan? Cobalah pekan ini anda shalat Jum’at lebih awal. Pasti akan terasa “aneh” karena masjid masih kosong dan baru akan terisi penuh jika khutbah kedua akan selesai. (Realita di luar Ramadhan, entah kalau di bulan Ramadhan).

Masih banyak keanehan dan keterasingan kita lainnya, tapi sekali lagi jangan takut menjadi orang “aneh” selama keanehan kita itu sesuai dengan tuntunan agama dan norma syariat yang benar. Jangan takut merasa “aneh” jika kita shalat tepat waktu sementara yang lain shalat di akhir waktu sebab shalat adalah kewajiban yang memang telah ditentukan waktunya terhadap orang-orang yang beriman.. Jangan merasa asing menjadi orang “aneh” jika kita melakukan shalat dhuha dikantor sementara yang lain tengah asyik menyantap sarapan paginya sebab itulah yang terbaik. Jangan merasa “terasing” jika anda berada di shaf terdepan ketika shalat Jum’at karena perintahnya pun bersegeralah.

Jangan takut dianggap sok tahu dan sok alim ketika kita sering mengirimkan artikel-artikel islami yang sarat makna sebab memang itu yang diperintahkan oleh Allah dalam surat Al Ashr [103:3] “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (AL 'ASHR (MASA) ayat 3). Toh banyak orang yang saling berkirim artikel-artikel yang hanya berisi humor atau sekedar candaan belaka, mereka biasa-biasa saja, kenapa kita harus merasa “aneh” dan tak enak hati untuk mengirim artikel-artikel islami? Mutiara akan tetap menjadi mutiara terlepas dari siapapun pengirimnya. Dan sampah pun tidak akan pernah menjadi emas walaupun berasal dari istana sekalipun.

Tetap lakukan “keanehan dan keterasingan” kita yang dituntunkan oleh syariat dan manhaj Islam. Kenakan jilbab dengan penuh keistiqomahan, meskipun itu akan terasa sangat aneh ditengah orang-orang yang berpakaian seksi dan mengumbar aurat.

Jangan takut dan cemas mengatakan perkataan yang baik dan benar yang berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits meskipun akan terasa sangat aneh ditengah hingar bingarnya bacaan vulgar dan tak bermoral.

Kesimpulannya, jangan pernah takut menjadi “orang aneh” atau “manusia langka” atau “manusia asing” jika memang keanehan di mata mereka yang kita lakukan bisa menyelamatkan kita di hari akhir.

Selamat menjadi orang aneh yang sesuai dengan syariat dan manhaj Islam…. :-)

090909
By Nurlaila Zahra - Sarah
Selama hampir enam tahun belajar menjadi "orang aneh"

2 September 2009

Cerpen : Cinta Dalam Diam

Aku tak mengerti dengan rasa dalam hatiku
Aku hanya bisa merasakannya lewat hati
Hanya dengan hati…
Tak perlu dengan kata-kata
Karena kata hanya akan membuat luka

Aku akan terbang jauh
Bersama anganku yang melayang
Menerawang menembus angkasa
Lalu jatuh bersama derai air mata

Aku tak akan mau mengingatmu
Demi rasa haru sembunyikan cinta
Demi rasa sedih karena tak bisa berbagi cinta
Demi rasa sakit memendam asa
Akan kupendam dalam-dalam cinta ini
Dan akhirnya, demi cinta itu sendiri


Puisi di atas adalah penggalan dari cerpen CINTA DALAM DIAM yang saya tulis. Jika ingin membaca lebih jelasnya, silahkan dowload di
http://www.ziddu.com/download/6318071/CINTADALAMDIAM.pdf.html

Terima kasih....