24 Februari 2010

Bingkai Hati


Bingkai itu pernah kau campakkan, retak dan ku punguti dengan linangan air mata. Bingkai itu pernah terlupakan, dan kini kau mengingatnya kembali. Lalu, untuk apa? Karena toh kedatanganmu bermakna satu tusukan luka.

Mengakuimu pernah menjadi bagian terindah dari hidup ini pernah ku lakukan, dan memang kau pernah menjadi yang terindah. Namun tidak untuk saat ini. Setelah berderet luka yang tercipta, setelah ku bungkam atas nama cinta.

Bingkai itu kini telah cacat meski utuh membentuk fungsinya. Dan kini pada masa yang tak pernah diduga sebelumnya, bingkai hati akan segera menjalankan takdirnya.

Kau tak hanya terlambat, tapi memang tidak diterima kembali. Itu bukan kutukan atau balas dendam, tapi sebuah konsekuensi dari pilihan sikap yang pernah kau lakukan. Meski sejujurnya selama ini, setiap mengingatmu adalah meruaknya rasa nyeri dan (jujur) kerinduan.

Namun lukaku lebih hebat dari yang dikira siapapun, karena luka itu tercipta dari harap dan cinta yang teramat sangat. Dan aku masih terpuruk hingga hati itu datang, hati yang menawarkan sepetak tempat peristirahatan. Hati yang penuh dengan kesadaran ku bingkai dalam deraian kasih sayang yang bukan biasa. Dan aku terpana pada keikhlasannya menerima dan menjalani takdir dalam titahNya. Dan aku termagnet mengikutinya pada sumber segala cinta yang selama ini terabaikan.

Aku akan jatuh cinta, dan aku tahu itu. Tapi bukan padamu lagi, tapi bukan untukmu lagi. Ada hati yang siap ku bingkai, meski bingkai itu cacat dengan baluran lem disana-sini.

Lihat bingkai yang pernah tercampakkan itu, lihat baik-baik bingkai cacat itu, kini telah bersiap menjadi bingkai hati yang begitu bening.

Selamat tinggal kelam, selamat tinggal luka, selamat tinggal masa lalu. Kini aku akan melangkah dengan hidup yang baru, hidup yang memulakan perjalanan panjang, hidup yang sebenarnya, hidup yang menghidupkan. Hidup dalam nanguan cinta seorang hamba kekasihNya.

Sumber : http://rifarida.multiply.com/journal/item/234/Bingkai_Hati

18 Februari 2010

Pada Setiap Takdir yang Menyapa

Ada banyak hal yang tak kita sukai justru hadir menyapa hidup kita. Menjadi bagian takdir yang tak bisa kita hindari, ridha atau tidak ridha. Dan memang demikian adanya. Ia tak kan pernah menanyakan pada kita tentang kesediaan, kesiapan dan keikhlasan menjalaninya. Ia bisa hadir pada kehidupan kita kapan saja. Dan menjadi hal sulit dan menyulitkan ketika harus dijalani dengan ”ruh” keterpaksaaan.


Hidup, adalah rangkaian demi rangkaian episode yang telah diskenariokan. Diatur sedemikian rupa dengan komposisi perhitungan dan pertimbangan yang sangat teramat tepat. Dan kita manusia, yang menjadi komponen utama dari hidup, telah dipilih olehNYA dalam amanah yang luar biasa. Keluarbiasaan yang Allah sendiri, sang pemilik kehidupan, menggambarkannya pada gunung dalam ketidak-sanggupan menerima. Ya, amanah sebagai khalifah fil ard[1].

Sesungguhnya, tak ada yang begitu menginginkan kita menjadi baik, seperti keinginanNYA. Tak ada yang begitu detail memperhatikan dan mengurus kita, seperti yang dilakukanNYA. Begitu teramat kasihnya Allah SWT pada kita, lebih antusias dalam batas keantusianan kita mendekatiNYA dengan berjalan, IA menyambutnya dengan berlari[2].

Sekali lagi, tak pernah ada yang begitu menginginkan kita menjadi baik, seperti keinginanNYA. Dan pada bagian-bagian takdir yang tak pernah kita sukai, sejatinya adalah tetap menjadi takdir-takdir terbaik yang telah diciptaNYA, dalam mentarbiyah kita menjadi semakin baik. Hingga dengan energi-energi kebaikkan itu, kita berdaya menjalankan fungsi diri sebagai khalifah fil ard.

Maka menjadi alasan kuat yang harus diyakini, bahwa setiap hal yang hadir dalam hidup kita, yang mempergulirkan dua hal berbeda bahkan bertolak belakang, adalah pengondisian sebaik-baik keadaan. Beruntunglah setiap diri yang mampu belajar dan mengambil hikmah pada perguliran-pergulir an episode itu. Hinngga mampu melahirkan sikap sejati seorang muslim, sikap yang pernah disabdakan Rasullullah SAW, bahwa sesungguhnya begitu mengagumkannya setiap keadaan seorang muslim. Bila ia ditimpa musibah dan ia bersabar, maka itu adalah kebaikkan baginya. Dan jika ia ditimpa keberuntungan dan ia bersyukur, pun menjadi kebaikkan baginya[3].

Suka atau tidak suka, terpaksa atau rela, adalah pilihan sikap dalam bentukan diri yang menjadi tolak ukur bagaimana sejatinya kita memandang setiap takdir yang datang menyapa. Gambaran jelas tentang bagaimana dan seberapa dalam keimanan menghujam di dalam dada, yang disuguhkan dari sketsa-sketsa rangkaian episode hidup dalam urutan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.

Masa lalu, yang telah terunut, itulah takdir. Dimana kita meletakkan banyak hal sebagai ibrah. Menjadi cermin siapa kita di masa sekarang.

Masa sekarang, yang sedang kita runut, itulah pilihan-pilihan di cipta, misi dilakukan, dan ruang ikhtiar dioptimalkan untuk pergerakan pencapaian keinginan. Prediksi seperti apa kita di masa depan.

Dan masa depan, hal gaib yang secara sunnatullah tercipta dari pilihan masa sekarang. Pada masa inilah visi diletakkan. Menjadi yang dituju dalam rentetan perjalanan dari masa ke masa.

Pilihan, itulah kata kuncinya. Kita diberi kebebasan untuk memilih, karena memang hidup pada kenyataannya adalah berbilah pilihan. Dengan tegas dua hal berbeda itu ada, kebaikkan bersaing dengan kebatilan, kebenaran bersaing dengan kejahatan dan keindahan bersaing dengan keburukan[4]. Mau memenangkan persaingan yang mana kita, itu adalah pilihan dengan segala komitmennya. Karena pada bagian itu kemudian kita berada dan menerima konsekuensi.

Sementara jelas adanya, bahwa hidup tak pernah menyediakan pilihan abu-abu. Hidup tidak abu-abu! Jika kita tak berada dalan kebenaran, maka sudah pasti kita pada bagian kebatilan, jika kita tidak baik, maka kita adalah jahat, pun jika kita tidak menyukai keindahan, maka sesungguhnya selera kita adalah keburukan.

Pada sisi yang lain, Allah swt telah menfasilitasi kita untuk memilih pada pilihan-pilihan itu dengan fasilitas akal, hati dan cita rasa (feel/insting) .

Akal, yang akan mendeteksi tentang sebuah kebenaran atau kebatilan. Hati, yang akan merasakan sebuah kebaikkan atau kejahatan. Dan cita rasa, yang akan menyuguhkan selera indah atau buruk.

Pun demikain, Allah telah mengilhamkan pada kita dua jalan, yaitu jalan keselamatan dan jalan kesesatan[5]. Dan tinggal bagaimana kemudian kita merespon dari semua hal yang telah Allah rancang dan anugerahkan kepada kita.

Merespon, sejatinya ekspresi pertama hati yang telah diciptanya dalam kefitrahan cenderung kepada kebaikkan[6]. Itulah korelasinya mengapa kita harus bersegera kapada kebaikkan, bersegera mengerjakan urusan yang lain jika satu urusan telah diselesaikan[7]. Karena bersegera, minimal menutup kesempatan syetan menggoda dan membelokkan dari kecenderungan kebaikkan itu.

Dan pada akhirnya, hidup tetaplah akan menjadi rangkaian demi rangkaian episode yang menggilirkan kedukaan dan kesukaan, keberuntungan dan kerugian, kesuksesan dan kegagalan. Sebagai ujian pengukur kualitas diri dihadapan sang pemilik kehidupan, Illah semesta alam. Maka, salayaknya sikap terbaik kita sebagai seorang muslim adalah ridha terhadap setiap peristiwa yang sudah terjadi, bertawakal dalam ikhtiar luar biasa pada setiap tapak kehidupan agar tetap bernilai baik, dan tak mudah berputus asa pada setiap hal baik yang masih saja belum terwujud[8]. Dan di ujungnya, lahirkan pribadi luar biasa, pribadi yang tak pernah mengeluh pada setiap takdir yang menerpanya, dalam kesadaran penuh memahami hakikat kehidupan. Karena pada hakikatnya memang boleh jadi hal yang tak kita sukai justru itu baik bagi kita, dan sebaliknya[9].

~~~

Kota kembang, 24 Januari 2010_16.34 wib

RF_ To my sisters, PPM DT (Program Pesantren Mahasiswa Daarut Tauhiid). Be the best of generation. I will be your supporters, InsyaAllah.. .



Foot Note :

[1]- ”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab ayat 72)

-''Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'' Mereka berkata: ''Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?''. Tuhan berfirman: ''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui''(Al- Baqarah:30)

[2] Hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.”

[3] Dari Suhaib r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)

[4] Bab “Induk Akhlak” pada Buku “Membentuk Karakter Muslim” karya Ust. Anis Matta.

[5] “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya“ (Q.S. Asy-Syam (91) ayat 8-10)

[6] “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula” (QS. at-Tahrim (66) : 4)

[7] - Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda ; "Bersegeralah engkau sekalian untuk melakukan amalan - amalan ( yang baik - baik ) sebelum datangnya berbagai macam fitnah yang diumpamakan sebagai potongan - potongan malam yang gelap gulita. Pagi - pagi seseorang itu sebagai seorang Imu'min dan sore - sore menjadi seorang kafir atau yang sore - sore menjadi seorang mu'min, tetapi pagi - pagi telah menjadi seorang kafir. Orang itu menjual agamanya dengan harta dunia" HR.Muslim

- “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Q.S Al Insyiraah ayat 7)

[8] - ''Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.' ' (QS 98: 8).

- Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.'' (QS 13: 11).

- "Katakanlah: "Hai hamba-hamba- Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(al-Zumar: 53).

[9]“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui“ ( Al Baqarah 216).


Bisa juga di buka disini