21 April 2010

HOAX


“Sebuah virus baru, baru saja ditemukan dan diklarifikasikan oleh Microsoft (www.microsoft.com) dan McAfee (www.mcafee.com) sebagai virus paling merusak yang pernah ada. “Jika ada email dengan subyek ‘A Virtual Card for You’, jangan coba-coba dibuka. Karena begitu email ini dibuka, maka virus akan segera bekerja, akibatnya komputermu akan berhenti beroperasi. Dan saat kamu menyalakan kembali, virus ini akan menghapus sektor 0 harddisk, yang akan menghilangkan semua data dan merusak harddiskmu secara permanent.” Kejadian ini, dalam beberapa jam saja membuat panik para pengguna komputer di New York, sebagaimana berita yang ditulis oleh CNN (www.cnn.com)


Apa reaksi Anda ketika mendapat email tersebut? Mungkin rada kaget dan panik. Biasanya setelah itu kita akan memforward email tersebut ke milis-milis dan teman yang kita kenal.

Sebenarnya email di atas masuk dalam salah satu kategori hoax. Apa sih hoax itu? Hoax adalah berita bohong atau palsu, yang biasanya disebabkan secara berantai melalui email. Biasanya hoax ini berupa berita yang controversial, meyakinkan dan sangat sugestif. Hal ini yang sering membuat orang segera memforward email tersebut kemana-mana.

Tujuan Hoax

Apa sih tujuannya orang membuat hoax? Ada beberapa alasan, diantaranya adalah:
1. Iseng saja untuk kepuasan pribadi. Dia ingin melihat seberapa besar kemampuan dia untuk membuat berita yang bisa membuat heboh. Semakin ramai berita tersebut berkembang semakin senanglah dia.
2. Untuk mengerjai/mengganggu seseorang. Biasanya di email tersebut kita diminta untuk mengirimkan email ke alamat korban. Sehingga si korban akan kebanjiran email.
3. Untuk mendapatkan uang melalui modal piramida surat berantai.
4. Merusak reputasi seseorang atau organisasi melalui berita bohong atau fitnah.

Ciri-Ciri Hoax

Agar tujuannya tercapai, pembuat hoax akan berusaha untuk membuat email yang sangat meyakinkan agar kita tertarik untuk segera memforward email tersebut ke orang yang kita kenal. Jadi kalau menerima email seperti itu, kita perlu mencurigai apakah email tersebut adalah hoax atau bukan.

Berikut ini beberapa contoh tipikal sebuah hoax:
1. Berupa ancaman, seperti informasi tentang adanya bom di suatu tempat. Adanya virus berbahaya, adanya ancaman zat berbahaya dalam makanan, dll.
2. Janji-janji hadiah. Salah satu kasus yang paling terkenal adalah pemberian handphone gratis dari manager Ericsson, dengan syarat memforward email promosi dia ke 10 orang dan si manager tersebut.
3. Kontroversial. Saya pernah mendapat email tentang ditemukannya kerangka Kaum Ad, begitu meyakinkannya dengan ilustrasi berupa foto kerangka tersebut. Ternyata setelah di cek, foto tersebut adalah salah satu foto pemenang lomba manipulasi gambar. Contoh lain hoax adalah tentang adanya meteor yang akan menabrak bumi pada tahun 2019.
4. Menarik simpati, yaitu dengan email berupa penderitaan seseorang untuk mengharap belas kasihan dari kita.

Mereka seringkali berusaha memperdaya dengan menggunakan istilah teknis dan kadang memakai nama institusi tertentu untuk meyakinkan penerima email tersebut. Seperti pada contoh diatas, si pembuat berusaha meyakinkan dengan mengatakan berita tersebut diperoleh dari CNN dan virus tersebut dianggap berbahaya oleh Microsoft dan McAfee.

Bila Menerima Hoax

Bagaimana kita tahu bahwa email yang kita terima itu termasuk hoax atau bukan? Memang agak sulit, karena biasanya sangat meyakinkan dan seolah-olah benar. Untuk itu, pertama kita perlu mengeceknya di search engine, apakah berita tersebut pernah terdokumentasi sebagai hoax atau bukan. Selain itu, sebuah hoax biasanya tidak menyebutkan sumber informasinya secara detail. Pada contoh diatas, kalau kita cek di CNN.com, sebenarnya berita itu tidak pernah ada. Kita juga bisa mencek di situs-situs yang memiliki daftar hoax yang beredar di internet. Salah satunya di http://hoaxbusters.ciac.org/HBOtherHoaxPages.html
Ups, ternyata halaman yang ada di atas itu dah gak bisa dibuka, coba yang ini aja ya http://www.kursiterbalik.com/2010/02/7-kebohongan-terbesar-berita-di.html

(Sumber : Rubrik Internid Majalah Annida Edisi No 02/XIII September 2004)

16 April 2010

Andai Waktu dapat Ku pinjam


Begini tuturku.....
Terkadang aku merasa lelah dengan semua aktivitas yang saat ini kujalani. Jujur, lelah yang kukatan disini bukan berarti aku ingin mengeluh, tapi karena memang aku benar-benar lelah. Wajar saja, karena memang ’lelah’ adalah sebuah kata sifat.




Bagi yang membaca tulisan ini, mungkin bisa sedikit membayangkan apa yang ingin aku ceritakan saat ini. Pagi hari, aku harus bangun tidur sama seperti kalian semua. Melakukan kegiatan yang memang wajar dilakukan orang yang baru bangun tidur. Setiap hari, selalu saja ada cucian kotor yang menumpuk minta dicuci olehku. Jadilah hampir setiap hari sebelum berangkat kerja, aku selalu menyempatkan diri untuk mencuci pakaian. Hanya sebatas mencuci dan membilas, sedangkan yang menjemurnya adalah nenekku. Sebab jika aku juga yang menjemur, maka kemungkinan besar aku akan telat pergi ke kantor.

Biasanya selepas mencuci, aku merasa sangat lelah. Maklum saja, dirumahku belum ada yang namanya mesin cuci. Maka itu, selepas mencuci biasanya aku selalu merebahkan tubuhku dikasur. Rehat sejenak kalau bahasa kerennya. Jika dirasa sudah cukup untuk beristirahat, aku pun memutuskan untuk mandi dan bersiap ke kantor.



Di kantor, aku sudah dibayang-bayangi oleh pekerjaan yang menumpuk. Huft...... tapi inilah tugasku. Kuusahakan untuk menyelesaikan semuanya dengan baik. Jika sore sudah menjelang, aku kembali bersiap-siap untuk berangkat mengajar. Aktivitas mengajarku memang hanya tiga kali dalam sepekan, tapi justru hal tersebut yang membuatku teramat lelah dalam menjalani hari-hari untuk saat ini.



Setelah kegiatan belajar mengajar selesai, aku harus kembali diburu oleh waktu sebab aktivitas kuliah sudah menungguku. Dari tempat mengajar, dengan jalan yang diburu-buru, aku harus kembali melangkahkan kakiku ini untuk mencari angkot yang bisa membawaku ke kampus di bilangan Margonda, Depok.

Dari kantor, untuk bisa sampai ke tempat mengajar, aku harus berjalan kaki dulu untuk bisa naik angkot berwarna biru muda dan turun di sebuah tempat yang lebih dikenal dengan nama ’kolong’. Setelah itu kusambung lagi dengan angkot apa saja yang bisa membawaku ke Pasar Minggu. Untung saja tempat mengajarku tidak terlalu jauh dari tempat turunnya aku dari angkot.

Karena aku mengajar di dua tempat, maka perjalanannya pun berbeda. Jika yang tadi naik angkot sampai dua kali, yang ini tidak. Aku hanya naik angkot sekali dari kantor, namun setelah turun dari angkot, aku harus berjalan kaki lagi sekitar setengah kilometer untuk bisa sampai ke tempat mengajar.



Setelah selesai mengajar, seperti yang tadi aku katakan, dengan terus diburu oleh waktu, aku terus melangkah dan melangkah, kembali berjalan untuk menemukan angkot yang bisa membawaku ke kampus.

Terkadang, di sela-sela waktu senggangku kala menjalani berbagai macam aktivitas itu, sering kutermenung sendiri. Melamun memikirkan tentang kehidupanku. Ya, memang semua kelelahan ini adalah akibat atau konsekuensi dari jalan hidup yang telah kupilih sejak beberapa waktu belakangan ini.

Tak jarang ketika aku mengajar, disaat anak muridku tengah mengerjakan tugas dariku, ku kembali berpikir. ”Ya Allah, hari ini aku begitu lelah...” Apalagi jika muridku itu sering tidak serius dalam belajar, rasanya ingin saja aku marah padanya, mungkin karena rasa lelah yang teramat sangat kurasa, membuatku jadi ingin marah. Ditambah lagi waktuku yang memang bukan disana saja kuhabiskan, namun setelah itu aku juga harus kuliah lagi. Namun aku selalu berusaha untuk menjaga diri dari amarah itu. Walau terkadang akupun pernah marah. Karena memang aku hanya manusia biasa.



Batinku, ”andai waktu bisa kubeli, minimal kupinjam saja pada orang-orang yang banyak membuang-buang waktunya entah untuk apa, pasti telah lama kupinjam saja waktu itu. Malah kalau boleh aku meminta pada Allah, aku ingin sekali minta ditambahkan beberapa jam saja dari waktu yang ada, agar bisa kugunakan untuk istirahat penuh. Tapi kenyataannya, Allah telah memberikan waktu yang sama pada semua hamba-Nya, yaitu sehari semalam 24 jam. Jatah atau porsi dari masing-masing hamba-Nya pun telah ditetapkan oleh-Nya.”

Aku hanya bisa menjalani semuanya dengan sabar dan ikhlas, sebab ini pun adalah konsekuensi dari jalan hidup yang telah kupilih. Jika tak ingin lelah, maka tak perlu bekerja. Jika tak ingin lelah, maka tak usah mengajar. Jika tak ingin lelah, maka tak usah kuliah. Dan jika memang masih tidak ingin lelah, maka sekalian saja tidak perlu hidup. Sebab jika ingin mendapatkan sesuatu, maka harus ada yang kita korbankan. Dan mungkin untuk saat ini, aku harus banyak mengorbankan apa yang kupunya. Dari segi waktu, materi, pikiran, dan juga tenaga. Sehingga ketika dalam sehari aku telah menyelesaikan semua aktivitasku dan saatnya kembali kerumah, maka sejenak kurebahkan tubuhku dikasur sembari merenung dan menundukkan hati. Dengan maksud agar aku bisa lebih bersyukur atas keadaanku saat ini. Insya Allah.

Malam hari sepulang kuliah, aku kembali beristirahat jika memang tak ada tugas kampus yang memaksa untuk kuselesaikan. Kembali merajut mimpi dan harapan untuk masa depan. Kembali membingkai asa dan cita, kembali mengumpulkan energi dan semangat yang telah seharian penuh kuhabiskan diluar sana. Perlahan kututup kedua mataku sembari mengucap doa sebelum tidur, sambil berharap bahwa hari esok pasti bisa lebih baik lagi dari hari ini. Amiin





Rabb, kalbulkanlah........


nurlailazahra

15 April 2010

Berduka dalam Tenang


Duka ini,
Adalah duka yang tenang:
Sepenuh kesungguhan
Aku menutup sepenggal episode kebersamaan
Sepenuh kesadaran
Aku bangun dari sebuah mimpi kehidupan
Sepenuh jiwa
Aku menguburnya dalam kenangan masa silam
Sepenuh keyakinan
Aku mengantarnya pergi
Dari jalan panjang hidupku ke depan

Aku berduka, dengan duka yang tenang:
Atas keyakinan,
Kehilangan ini adalah wajar adanya
Atas kepastian,
Proses hidup memang demikian jalannya
Atas kepercayaan, esok kan datang yang lainnya
: Aku berduka dalam tenang


Bait-bait puisi itu nyaris tidak terbaca. Seakan bertetes-tetes air mata telah melelehkan tintanya. Bekas remasan tangan – yang tampaknya kemudian berusaha diluruskan lagi – menambah ruwet kertas putih yang telah lusuh itu. Dia, wanita itu, sekali lagi menghapus air matanya. Wajahnya basah. Matanya sembab. Inilah tuturnya…

Aku pernah mengenal seseorang. Dari diskusi-diskusi kami, aku merasakan sebuah kecocokan. Perlahan namun pasti, simpati itu tumbuh. Pada saat yang sama, instingku mengatakan kecenderungan ini tidak bertepuk sebelah tangan.

Sebagai seorang muslimah lajang yang tidak berniat untuk main-main dengan perasaan atau sekadar menikmati kebersamaan, aku berharap simpati ini bermuara dalam sebuah ikatan suci. Oleh karena itu, kukirimkan sinyal agar dia mengerti dan mengambil langkah maju sebagai seorang laki-laki.

Namun, hari demi hari kutunggu, tidak juga ada tindakan itu. Yang kurasakan kemudian, malahan, perhatian, yang semakin lekat. Perbincangan umum itu mulai berganti topic ke hal-hal yang bersifat pribadi. Sudah makan belum? Sehat-sehat saja hari ini? Oh Tuhan, apakah yang terjadi? Tidak mengertikah ia pada sinyal-sinyal harapan yang kukirimkan itu? Lantas, apa arti perhatiannya yang berbeda, bahkan cenderung istimewa?

Pekan kembali berlalu dan aku tenggelam dalam gelisahku. Dalam tafakur panjangku, aku menebak bahwa ada sesuatu yang menghalanginya, ada sesuatu yang membuatnya tidak mencoba. Harga diri dan percaya diri… ya, bagaimanapun, secara kasat mata, orang melihatku lebih segala-galanya dibandingkan dengan dia. Pekerjaanku lebih mantap, penghasilanku lebih besar, pendidikanku lebih tinggi. Mungkinkah dia berpikir bahwa dia tidak cukup layak untukku?

Aku pun berkonsultasi kepada teman-teman dekatku. Mereka menyarankan agar aku menyampaikan secara verbal kesediaanku, keinginanku untuk menjadi pendamping hidupnya. Duhai, berat nian kurasa untuk mengambil langkah itu. Berapa banyak di dunia ini perempuan yang menyatakan dulu minta dilamar? Apalagi pada masyarakat budaya Timur seperti Indonesia, kebiasaan yang berlaku adalah perempuan selalu menunggu? Akankah aku menjadi salah satu diantara mereka yang sedikit itu? Beranikah aku? Bagaimana kalau ternyata aku bertepuk sebelah tangan? Tidakkah itu akan mempermalukanku? Cukup lama aku maju – mundur dirundung gelisah, mencoba menetapkan hati mengenai keputusan yang akan kuambil. Apakah aku akan mundur, diam menunggu, atau melangkah maju?

Namun, akhirnya ketulusan dan niat baiklah yang membuatku mampu menguatkan hati. Bukankah tujuanku mulia? Karena aku ingin menjalin sebuah hubungan suci dalam sebuah pernikahan yang diridhai, aku pun memilih untuk mengambil langkah maju. Dalam sebuah obrolan, secara verbal kukatakan bahwa aku bersedia dan rela menikah dengannya. Aku ingin berbagi hidup dengannya.

Dia tertegun sejenak. Sesungguhnya, aku merasakan aura gembira itu padanya. Wajahnya menjadi berserk-seri. Namun kemudian, seri itu meredup. Terbata dia berkata bahwa saat ini, ia sedang dalam kondisi sibuk dan repot. Pun kondisi keuangannya masih sangat tidak stabil untuk menikah. Namun, satu yang ia tahu dan ia akui: ia memang jatuh cinta padaku. Ohoi, perempuan mana yang tidak berbunga hatinya saat mengetahui bahwa dirinya tidak bertepuk sebelah tangan? Perempuan mana yang tidak melambung ketika mengetahui ia dicintai?

Aku katakana bahwa aku bersedia menunggu dan semua kondisinya itu tidak berarti apa-apa bagiku. Sebagaimana yang kumiliki adalah ketulusan, aku pun hanya berharap ketulusan darinya, yaitu kesediaan untuk saling menerima apa adanya sebagai itikad baik untuk membangun rumah tangga.

Mulailah hari demi hari kembali kulalui dalam penantian. Detik, menit, jam, berlalu. Siang, malam, hari, dan pekan berganti. Namun, bunga itu ternyata harus dipaksa layu. Dia mengatakan bahwa dia tidak yakin dirinya seperti yang kuharapkan. Dia mengatakan bahwa aku akan berkorban terlalu banyak untuknya jika menikah dengannya. Dia katakan bahwa dia takut dan sangat terbebani jika nanti tidak dapat membahagiakanku. Dia bilang dia telah dijodohkan dengan seorang gadis dari kampungnya oleh orang tuanya dan dia mungkin akan memilihnya. Aku ingin mengatakan bahwa semua itu bukanlah apa-apa, selama ada niat baik. Ingin kukatakan bahwa kepercayaannya, kesediaannya menerimaku apa adanya sudah akan lebih dari cukup. Aku tidak hendak menuntut ini itu. Namun sayang, dia tidak memberi kesempatan itu. Sejak awal, dia sudah menutup kesempatan dengan ketakutan dan kekhawatirannya. Dari semula, dia sudah langsung memvonis bahwa aku tidak akan bahagia bersamanya.

Kemudian, dia menawarkan persahabatan. Persahabatan? Tidak! Persahabatan macam apa yang bisa dibangun oleh dua orang yang sedang saling jatuh cinta? Persahabatan macam apa yang dapat dijalani oleh orang yang saling tahu perasaan satu sama lain?

Tiba-tiba, aku teringat kisah cinta seorang gadis basrah dan pemuda kufah yang terhalang oleh restu dari orang tua. Si gadis menawarkan jalan belakang, “Aku akan membuka pintu rumahku dan datanglah engkau padaku atau aku akan menyelinap pergi ke rumahku.”

Namun, si pemuda menolak, “Maaf, aku tak hendak bermaksiat demi mengikuti rasa cintaku.”

Akhirnya, mereka pun memilih kesucian. Sepenuh kekuatan tekad, mereka berusaha berpegang pada tatanan syariat, tidak hendak melanggarnya demi sebuah cinta. Dengan kesungguhan, sang gadis mengekang dendam asmara di dadanya hingga badannya kurus kering oleh derita cinta. Dengan keimanan, si pemuda menahan perasaannya hingga jiwanya merana. Tidak lama, mereka meninggal oleh derita cinta, hanya selang waktu satu minggu antara satu dan lainnya.

Tidak! Sekalipun aku tidak sesuci gadis basrah dan dia mungkin tidak seshalih pemuda kufah, tapi aku tidak berniat untuk memuarakan cinta yang tidak pada lautnya.

Tidak! Sekalipun dia telah mengetahui isi hatiku dan aku mengetahui pula kecenderungannya padaku, aku tidak berniat untuk membiarkan dua hati itu menyatu diluar tamannya.

Tidak! Sekalipun memar dada ini telah lebam membiru, tapi aku tidak berniat untuk mengobatinya dengan morpin asmara yang hanya akan membuatku terlena.

Tidak! Sekalipun tubuhku harus sakit digerogoti cinta, aku tidak akan mencoba menyembuhkannya dengan kasih fatamorgana.

Tidak! Aku tidak berniat untuk menjalin hubungan dekat apa pun dengan seorang yang jelas-jelas tidak akan memilihku. Aku tidak berniat untuk bermain api atas nama persahabatan. Aku tidak ingin menodai ketulusanku dengan sebuah kebersamaan yang tidak sepantasnya.

Perempuan itu menutup kisahnya, dengan sembab yang kian nyata di pelupuk mata. Namun, itu semua sama sekali tidak menghapus sinar ketegaran, kekokohan, dan kesungguhan di wajahnya.

Perlahan, dia menggumamkan kembali bait-bait syair itu,

Duka ini,
Adalah duka yang tenang:
Sepenuh kesungguhan
Aku menutup sepenggal episode kebersamaan
Sepenuh kesadaran
Aku bangun dari sebuah mimpi kehidupan
Sepenuh jiwa
Aku menguburnya dalam kenangan masa silam
Sepenuh keyakinan
Aku mengantarnya pergi
Dari jalan panjang hidupku ke depan

Aku berduka, dengan duka yang tenang:
Atas keyakinan,
Kehilangan ini adalah wajar adanya
Atas kepastian,
Proses hidup memang demikian jalannya
Atas kepercayaan, esok kan datang yang lainnya
: Aku berduka dalam tenang

Aku menunduk, bermenung … Allah, pertemukan dia, juga perempuan-perempuan muslimah perkasa lainnya, dengan belahan jiwa mereka. Seseorang yang akan menyambut ketulusan hatinya. (Azi)

(Buku: Catatan Wanita Lajang – Azimah Rahayu)

9 April 2010