29 Juli 2011

Munajat Ramadhan Terakhir

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka bantulah aku menggoreskan tinta emas
Dalam sejarah panjang perjalanan hidupku
Dalam menyusuri indah ramadhan-Mu
Di setiap tahunnya…

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah setiap waktu yang kulalui di 30 hari ini
Menjadi waktu yang terbaik dari waktu-waktu
Yang pernah kulalui selama hidupku


Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah shaum yang aku laksanakan kali ini
Menjadi shaum yang tak hanya aku tunaikan karena alasan menjalankan kewajiban
Namun juga bisa menjadikanku sebagai insan yang bertaqwa
Dan juga tak hanya perutku yang aku shaumkan
Namun juga menyhaumkan seluruh jiwa dan ragaku
Agar berkah menghampiri segala yang ada pada diriku

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah setiap bilangan rakaat dalam shalat fardhu maupun sunnahku
Menjadi rakaat yang tak hanya aku tunaikan untuk sekedar ingin Kau lihat ibadahku
Namun juga bisa membawaku pada sikap menjauhi larangan-Mu
Serta menjalankan setiap perintah-Mu
Juga bisa menghindarkanku pada sebenar-benar perbuatan keji dan munkar

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah setiap lantunan doa yang aku panjatkan pada-Mu
Menjadi lantunan doa terindah yang pernah aku pintakan pada-Mu
Tak hanya sekedar doa pengharapan dari seorang fakir sepertiku
Namun juga bisa menjadi pintu untuk dapat masuknya aku ke jannah-Mu

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah setiap lembar demi lembar kitab suci-Mu yang aku baca
Menjadi tilawah yang tak hanya sekedar mencapai targetku di bulan berkah-Mu
Namun juga bisa memberikan petunjuk untukku atas jalan cahaya-Mu
Sehingga aku bisa senantiasa istiqomah dijalan lurus-Mu

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah setiap helaan nafas yang aku hembuskan
Menjadi hembusan kesyukuranku pada-Mu
Atas segala nikmat dan anugerah yang selalu Kau berikan padaku

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah tahajud yang aku tunaikan di setiap malamku
Menjadi qiyamullail terindah disepanjang hidupku
Menjadikanku insan yang selalu tawadhu di setiap sujud panjangku
Dan berharap sedikit berkah-Mu untuk ramadhanku

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah tarawihku di bulan mulia-Mu ini
Menjadi tarawih terdahsyat yang pernah aku laksanakan
Sebab bisa aku tunaikan dengan penuh kekhusyukan
Dan bukan berharap pujian dari orang di sekitar

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah sepuluh hari terakhirku di ramadhanku ini
Menjadi sepuluh hari terakhir yang paling indah
Dalam sejarah panjang perjalanan ramadhanku selama ini
Berikanlah kesempatan aku untuk bisa beritikaf dengan khusyuk
Walapun hanya semalam atau dua malam di rumah-Mu
Namun memberikan sebuah kesan yang begitu indah di hatiku

Rabb…
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka jadikanlah setiap infaq dan shodaqoh yang aku amalkan
Menjadi amalan shalih yang terikhlas yang bisa aku lakukan dengan penuh kesungguhan
Tak menjadikanku riya dihadapan orang lain
Namun bisa memberikan sebuah teladan akan keutamaan shodaqoh

Rabb…
Untuk yang terakhir,
Kalaulah ini menjadi ramadhan terakhirku
Maka berkahilah usiaku sampai menuju ajalku
Jadikanlah setiap hembusan nafas, pijakan langkah, tutur kata, dan setiap perbuatanku
Menjadi segala yang terbaik dariku
Untuk semua yang pernah aku lakukan selama ini
Dan tak lupa juga aku meminta
Untuk Kau ampuni juga segala dosa dan noda yang pernah aku perbuat

Bantulah aku mengukir sebuah prestasi di bulan mulia-Mu ini
Sehingga jika memang benar ini adalah ramadhan terakhirku
Maka akan ada secuil kebanggaan yang dapat aku persembahkan
Untuk orang tua, keluarga, dan juga semua sahabat-sahabatku

Rabb…
Kabulkanlah….
Amin

(Tertatih dalam 22 tahun memaknai dan memahami Ramadhan)

Perjalanan Akhir Pekan

Sabtu, 23 Juli 2011

Sore hari selepas Ashar, tiba-tiba Rizky terbangun dari tidur siangnya. Tak tahu mengapa, ia menangis sejadi-jadinya setelah bangun dari tidur itu. Ia memanggil-manggil mamanya diiringi dengan isak yang terus melantang dari mulutnya. Memang pada hari itu aku dan keluargaku berniat untuk berziarah ke makam kakek, tante, dan dede Zaenab. Namun karena terik matahari siang itu begitu menyengat sampai ke ubun-ubun, akhirnya kami memutuskan untuk berziarah ke makam pada pekan berikutnya. Lagipula Rizky juga sudah mulai tertidur pada saat matahari itu mulai menyengatkan teriknya ke seluruh penjuru kawasan Pasar Minggu.

Seribu satu jurus bujukan tetap tak bisa membuat tangisan Rizky yang semakin memecah menjadi diam. Ia masih saja memanggil-manggil mamanya ditengah isaknya yang menggelegar. Ketiga orang yang amat sangat aku kasihi itu dimakamkan di TPU Tanjung Barat. Akhirnya aku memutuskan untuk megajaknya ke makam bersama dengan salah satu Om ku yang baru saja pulang bekerja. Alhamdulillah tangisan Rizky sudah mulai reda. Tak berapa lama di sana, bahkan belum sampai aku menyelesaikan bacaan Surat Yasinku di makam kakek, tahu-tahu Rizky sudah mulai merengek minta bobo dan pulang ke rumah. Aku menurutinya. Namun sebelum pulang, aku mengajaknya untuk berdoa di makam ibu dan adik kecilnya.

(makam mamah yang ada di depanku loh... :))

Setelah berdoa dan mengajarinya untuk pamit pada mamanya, aku langsung mengajaknya pulang.

Minggu, 24 Juli 2011

Perjalanan yang melelahkan
Antara pasti dan tak pasti
Antara ada dan tiada
Semuanya buram
Semuanya abu-abu
Semuanya tak nampak jelas dihadapku
Aku menyusuri pantai yang berpasir itu
Ada yang tak biasa yang semakin dalam aku rasakan
Itu adalah hatiku
Hati yang diam-diam berbincang dengan pasir yang berbisik
Tentang perjuangan hidup, cinta, dan masa depan
Seiring dengan langkahku,
Kegamanganku tak ubahnya mencair bagai lilin
Sejenak kutatap awan yang seolah berada jiwa dengan sang laut biru
Dan itu terlihat cantik dipandanganku
Senyumku mengembang,
Pasir itu masih terus berbisik padaku
Bisik yang dapat kumengerti namun sulit aku pahami
Kutinggalkan pasir-pasir itu jauh ke depan
Melanjutkan langkahku yang semakin gamang
Dan tak tenang........
(Anyer, Minggu 24-07-2011, 18.38)















27 Juli 2011

Karena Aku Begitu Menyayangimu

Tadi pagi sebelum berangkat kerja, aku sempatkan diri mengantar adikku untuk melaksanakan Orientasi Akademik di kampusnya, yang juga kampus tempatku menuntut ilmu sejak dua setengah tahun lalu (adikku baru akan memasuki semester 1 sedangkan aku hendak memasuki semester 6). Pagi sekitar pukul tujuh lewat beberapa menit kami sudah jalan. Menaiki sebuah angkot yang isinya tak lebih dari tiga orang manusia. Pak supir, aku, dan adikku.

Mungkin karena masih pagi, jadi jalanan masih tampak lengang dari lalu lalang laju kendaraan. Tapi itu jalanan yang menuju ke arah Bogor, lain halnya dengan jalan yang menuju ke arah Kota. Disana bebanding terbalik, alias amat sangat macet. Kuabaikan hal itu. Aku kembali mengisi waktu di dalam angkot dengan membaca Novel Galaksi Kinanthi yang belum tamat-tamat juga membacanya. (untuk hal ini, akan aku review isinya setelah aku selesai membacanya).

Tepat di daerah Lenteng Agung, tepatnya di Gardu - banyak orang menyebutnya dengan sebutan itu - dua orang pemuda berpakaian hitam putih menaiki angkot yang juga kami naiki. Makin menuju ke arah Depok, angkot semakin penuh. Dua orang pemuda tadi tampaknya juga hendak mengikuti Orientasi Akademik, sama dengan adikku. Aku tak menghiraukannya, namun entah dengan adikku. Mungkin ia sudah mengincar dua orang itu untuk ia ajak kenalan. Entahlah, aku kembali asyik dengan Galaksi Kinanthi-ku.

Sampai di kampus, kusodorkan uang lima ribuan pada pak supir sambil berkata, “Dua ya pak.” Lalu aku langsung berlalu dari hadapnya tanpa menunggu ia menyahuti perkataanku tadi. Aku berjalan menyusuri trotoar kampus diikuti dengan langkah adikku. Novel Galaksi Kinanthi sesaat aku masukkan dulu dalam tas. Aku lebih memilih mengamati beberapa calon mahasiswa di berbagai penjuru kampus dengan pakaiannya yang serba hitam putih. Tiba-tiba memoriku berlari ke belakang, menembus ruang dan waktu ke dua setengah tahun silam. Dulu waktu jamannya aku, Orientasi Akademik tidak dilakukan di kampus, melainkan di Tennis Indoor Senayan.

Tak lama pikiranku berkelana, aku segera menyuruhnya kembali ke masa kini. Aku menoleh ke belakang, tapi tak tahunya apa yang aku perkirakan di angkot tadi ternyata benar. Adikku berkenalan dengan dua orang pemuda tadi. Kulihat ia agak berbincang-bincang dengan salah satunya. Kudekatkan wajahku ke arahnya dan kuberbisik, “Gue pulang ya?” Dia menyahut, “Ya udah, gih dah.”.

Siip! Alhamdulillah ia sudah bisa mulai mandiri. Tak sampai aku mengantarkannya ke dalam kampus, aku sudah melepasnya bersama dua orang teman barunya. Dalam langkahku yang semakin jauh darinya, tanpa sepengetahuannya aku memperhatikan langkahnya yang semakin jauh dariku. Dua orang calon mahasiswi yang ada di dekatku tampak memperhatikanku dengan amat seksama. Aku tak memperdulikannya. Kulihat adikku berjalan mengikuti langkah kedua temannya ke arah kantin. Semakin lama, lama, dan hilang diantara calon-calon mahasiswa yang lain.

Aku kembai dengan langkahku yang semakin gontai. Bukan karena takut pulang sendiri, tapi hanya sedikit khawatir dengan adikku. Kupikir ini wajar, bila seorang kakak mengkhawatirkan adiknya yang baru saja memulai langkah hidupnya menjadi seorang calon mahasiswa. Ada ketakutan tersendiri saat aku menyadari bahwa sebentar lagi ia akan menjadi seorang mahasiswa dan memiliki teman-teman yang mungkin lebih ”bebas” ketimbang teman-temannya semasa SMA. Mengingat ada salah satu kakak sepupuku yang kuliah di kampus yang sama juga denganku dan adikku namun beda cabang, yang belum lama ini sempat mengalami kekerasan fisik dari rekan-rekan satu kelasnya di kampus sampai ia harus mengalami operasi. Akibat dari hal itu, selain biayanya yang sampai menghabiskan uang hingga 40 juta rupiah, ia juga jadi cacat karena harus kehilangan limpanya karena menurut keterangan dari dokter yang menanganinya, limpa nya itu hancur. Astaghfirullah!!

Mungkin karena hal itu juga yang menyebabkan aku menjadi agak protected pada adikku. Sembari melangkahkan kaki untuk segera pergi kerja, aku langsung mengiriminya sms. Selain memberi tahu dimana ruang ia harus melaksanakan Orientasi Akademik, aku juga sangat mewanti-wanti dirinya untuk tidak merokok. Aku agak cemas ia menjadi terbawa ke arus pergaulan dan memilih teman yang salah. Namun lagi-lagi aku tersadar, kalau ia terlalu aku kekang untuk tidak melakukan ini dan itu dengan alasan demi kebaikan dirinya, aku juga khawatir ia akan melunjak.

Seiring dengan berjalannya waktu, aku akan berusaha untuk melepasnya ke dunianya yang baru meski aku masih harus memantaunya. Ia akan bertemu dengan orang-orang baru, hal-hal baru yang belum pernah ia temui sebelumnya, merasakan kehidupan luar yang mungkin akan lebih menempa kedewasaan dan kepekaannya dalam bersikap. Semoga saja ia tak salah pilih jalan. Aku akan selalu mendoakannya.

(Jalanan ini adalah jalanan yang sering aku lalui tiap pulang dari kampus. Baru kali ini aku melaluinya di pagi hari, biasanya kan malam hari. Ternyata jalanan ini lebih indah kuamati di pagi hari dibanding malam hari. Jika kau pandai menebak, pasti kau tahu dimana aku dan adikku kuliah :D)

22 Juli 2011

Surat Rizky buat Mama di Surga

Ma,
Tanpa terasa empat bulan sudah kau meninggalkan aku dan kakak-kakak yang lain disini. Tanpa terasa empat bulan sudah kau pergi ke suatu tempat yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Empat bulan sudah kau meninggalkanku tapi rasanya sudah sangat lama sekali kau pergi. Tanpamu disisiku, dunia serasa lain kujalani. Aku memang masih teramat kecil saat kau pergi meinggalkanku. Ingin sekali rasanya kuungkapkan segala rasa yang ada, kemarin hingga saat ini, namun rasanya kelu bibirku untuk menyatakan itu semua. Aku hanya bisa menangis saat tiba-tiba saja bayangmu hadir di pelupuk mataku. Ma, aku merindukanmu........

Ma,
Kapankah sekiranya kau kembali lagi untuk memeluk tubuh mungilku dan menemani tidurku dalam hangatnya dekapmu? Ah, rasanya baru kemarin aku mencium aroma tubuhmu, namun kini kau telah tiada. Kau hanya menyisakan sebuah luka, duka, dan lara dalam hatiku yang teramat dalam. Kau hanya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam hatiku. Kemanakah kau pergi selama ini ma? Aku teramat sangat merindukanmu...

Ma,
Teteh Intan dan Abang Azmi kini tinggal bersama keluarga bapak di kampung. Andaikan aku sudah bisa berucap lantang, ingin rasanya aku adukan rasa rinduku pada mereka juga. Rindu pada dua orang kakak yang begitu sayang padaku. Ma, tak usahlah kau cemaskan keadaanku disini. Insya Allah akan selalu ada keluarga yang menjaga dan menyayangiku dengan sepenuh hati. Merekalah yang kini aku miliki hingga nanti.

Ma,
Sering-seringlah hadir dalam tidur dan terjagaku. Tiadanya dirimu dalam hidupku merupakan kesedihan yang teramat dalam kurasa, begitu juga dengan keluarga yang lain. Kau adalah pelita hidupku. Pelita hidup kami semua. Saat kau ada, semuanya menjadi lebih terang. Namun saat kau tiada, semuanya menjadi gelap Ma. Semua menjadi tak menentu arahnya. Aku selalu bertanya-tanya, pada Bunda Sarah, Nenek, dan semuanya, kemanakah kau pergi selama ini? Mengapa kau pergi tanpa pamit padaku? Kenapa Ma??

Ma,
Dalam senyum dan tawaku, sejatinya akan selalu terukir wajah manismu. Dalam sedih dan tangisku, sejatinya akan selalu ada namamu dalam hatiku. Kemanapun kau pergi selama ini, aku selalu mendoakanmu semoga kau selalu bahagia di tempatmu sekarang. Semoga Allah selalu menjagamu, menjaga kakek, dan juga dede Zaenab. serta memberikan tempat yang terindah untuk kalian. Baik-baiklah kau disana ma, suatu saat nanti kita pasti akan berjumpa lagi.

Sekali lagi aku berkata, bahwa aku begitu merindukanmu Ma..........






nb: mengenang empat bulan kepergian tante, Ibunda Rizky.......

15 Juli 2011

Merajut Asa di Tengah Ilalang

. . . .

Seiring dengan berjalannya waktu, aku jadi tersadar bahwa hanya Allah lah yang harusnya menjadi andalan dan tumpuan tempat mengadu rasa. Bahwa seharusnya aku bisa lebih berharap pada diriku sendiri kalau suatu saat nanti aku pasti bisa menghidupi keluargaku dengan jerih payahku sendiri. Aku pasti mampu ‘berdiri’ di atas kakiku sendiri tanpa harus ‘mengemis’ kasih pada orang lain.

Perjuangan ini belum selesai. Perjuangan ini baru saja dimulai. Aku masih harus terus melangkah maju merajut asa dan harapan di tengah kerasnya hidup yang harus aku lalui, sampai ajal menjemput. Aku masih punya banyak mimpi, asa, cita-cita, dan harapan. Ingin rasanya aku merajut kesemuanya itu saat ini, meski harus kurajut di tengah ilalang kehidupan.

* * *

“Nak, ikut bunda beli pampers yuk?” Ajakku lembut pada Rizky malam ini. Ia langsung mengangguk dan segera mencari sandal kodoknya. Alhamdulillah masih ada selembar uang lima ribuan di tasku. Uang sisa ongkosku hari ini. Aku berjalan perlahan ke sebuah warung sambil menuntun tangan Rizky. Sembari ditemani cahaya sinar sang rembulan, aku dan Rizky terus melangkah menuju tempat yang kami tuju. Pikiranku masih terus saja melayang-layang di angkasa. Tentang masa depanku, masa depan Rizky, masa depan kami berdua.

Di langit tampak bulan tersenyum indah sekali. Rizky mendaulatku untuk menyanyikan lagu kesenangannya, lagu kami berdua. Kami terus melangkah merajut asa kami sambil melantunkan lagu itu.

Ambilkan bulan bu...
Ambilkan bulan bu...

Yang slalu bersinar di langit, di langit

Bulan benderang...

Cahyanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan bu...

Untuk menerangi...

Tidurku yang lelap, di malam gelap


”Rizky, malaikat kecilku, bunda janji, suatu saat nanti, bunda pasti bisa menjadi bulan untukmu. Bulan yang akan selalu menemanimu, tak hanya dalam malam yang gelap, tapi di setiap saat waktumu. Nak, kau adalah anugerah terindah ibumu dari Tuhan untukku. Baik-baik ya sayang.”

Pojok kamar, Pasar Minggu
14 Juli 2011, 22.06 WIB



(gambar diambil dari ngerumpi.com)

nb: artikel ini merupakan penggalan dari cerpenku dengan judul yg sama...

12 Juli 2011

Poetry Hujan : Hanya Ingin Diam

Biarkan sejenak kulantunkan melodi rinduku dalam hati
Sambil menatap derasnya rintik hujan yang berhamburan
Menikmati aroma tanah basah dan tarian ilalang
Dan menatap pelangi yang terlukis indah di alam tenang

Dalam kebisuan aku terdiam...
Aku diam, sebab tak ingin yang lain tahu perasaanku
Aku diam, pun sejatinya hanya ingin meluruskan hatiku
Aku diam, bukan bermaksud untuk memutus silaturahim
Aku diam, hanya sekedar untuk memulihkan hatiku yang sedikit rapuh
Aku diam, bukan berarti aku berhenti berpikir
Sebab dalam diamku, aku tengah berpikir
Bagaimana caranya agar aku bisa mampu kembali untuk berbicara

Diam, itulah pilihanku saat ini
Sebab dengan diam, kubisa mengurai banyak makna yang tersimpan
Sebab dalam diam, kubisa menetralkan suasana hati
Sebab dengan diam, kumampu mengolah kesedihan diri
Dan karena memang hanya diam
Yang hanya dapat kulakukan saat ini


Puisi ini diikutsertakan pada Kuis “Poetry Hujan” yang diselenggarakan oleh Bang Aswi dan Puteri Amirillis

7 Juli 2011

Ikutan Giveaway lagi (Uji Otak)

Kali ini aku ikutan giveaway lagi, awalnya sih cuma blogwalking aja ke blog temen2, nah pas blogwalking ke blognya Mbak Ria, eh taunya mbak cantik ini lagi ikutan giveaway yang diadain ama Mbak Fanny, ya udah langsung aja meluncur kesana. Nah pas liat teka teki giveaway nya kayak apa, sembari kerja juga dikantor, saya cari pola teka teki itu, dan alhamdulillah nggak sampe 2 menit, saya langsung nemuin pola teka teki itu, dan langsung ketemu deh hasilnya (mudah2an bener) hehehe.

Nah hasil dari 7+7+7, merujuk dari contoh penjumlahan yg sebelumnya udah di kasih tau Mbak Fanny dalam blognya, akhirnya aku temukan hasilnya yaitu 494991. ini bukan nyontek juga dari Mbak Ria, tp karena PURE aku hitung sendiri menggunakan otakku :D

cuma mau kasih saran aja sih buat mbak Fanny, mungkin untuk polanya bisa dikirim via email ke mbak. soalnya kalo cuma posting doang, semuanya juga bisa posting tanpa harus memikirkan gimana pola dari teka teki itu, jadi klo menurutku, boleh aja jawaban di posting di blog, tp pola dr jawabannya bs dikirim ke email mbak biar lbh mudah menentukan pemenangnya :D

Dan kalo aku menang, aku pengen Novel Galaksi Kinanthi karya Tasaro GK.