25 Agustus 2011

H - 5

Hari-hari menjelang idul fitri biasanya masyarakat sudah mulai sibuk dengan berbagai macam aktivitas, dari mulai membuat kue sampai membeli baju baru. Hmm…untuk aku pribadi, waktu-waktu semacam ini jelas membuatku sangat stress. Kenapa? Sebab menjelang waktu libur lebaran, aku sudah harus menyelesaikan semua urusan sebelum libur tiba. Dan hari ini, tepat H-5 menjelang lebaran, tadi pagi aku awali dengan pergi ke rumah bos, biasa ada sedikit urusan. Selepas itu aku langsung pergi ke kantor pajak yang ada di daerah Poncol JakSel untuk mengurus pembuatan kartu NPWP.

Hehehe lucu ya, orang-orang udah pada punya NPWP dari kapan tau, aku malah baru buat hari ini. Maklumlah, karena ada keperluan terkait hal ini, jadi aku baru buat hari ini. Prosesnya mudah banget kok. Awalnya aku minta ambilin formulir NPWP sama temenku. Setelah diisi di rumah, terus langsung serahin ke petugas beserta lampiran KTP. Tunggu aja sekitar 5 menit, jadi deh. Horreee…..aku udah punya NPWP :D

Selepas dari kantor pajak, aku langsung menuju kantor di bilangan Ragunan JakSel. Sebelum itu aku sempatkan mampir ke bank yang ada di lingkungan kantor. Biasa, urusan kantor lagi. Karena sudah H-5, makanya bank penuh dengan antrian orang. Entah aku diurutan ke berapa, yang akhirnya baru terlayani oleh teller sekitar pukul 11 lewat. Gubraks gak tuh?

Setelah selesai, aku langsung menuju ruangan kerjaku. Sampe di sana, aku sempatkan untuk menyiapkan beberapa keperluan pribadi terkait keikutsertaanku pada sebuah acara kepenulisan. Sekitar pukul setengah satu, semua persiapan sudah kelar. Udah dimasukkan amplop dan bersiap untuk dikirim ke kantor pos. Selepas sholat zuhur aku langsung ngacir ke kantor pos yang ada di lingkungan kantor. Jaraknya nggak seberapa jauh sih, tapi kalo puasa2 jalan ke sana, lumayan juga coy.

Setelah ¾ jalan, ternyataaaaaa……..ada sesuatu yang terlupa olehku. Berkas yang hendak aku kirimkan adalah berupa softcopy dan hardcopy. Di mana untuk yang hardcopy nya udah aku revisi ulang sebelum aku masukkan amplop. Tapiiiii…..untuk yang softcopy nya belum aku revisi. Kalo tetep kekeuh dikirim, apa gak percuma saudara-saudara??

Terpaksa aku balik lagi ke ruangan untuk merevisi softcopy nya. Bayangkan, di tengah terik siang yang menyengat harus bolak balik hanya karena urusan yang sepele. Sepanjang perjalanan itu, aku terus membatin, “kok bisa seceroboh ini ya? Padahal semua yang dibutuhkan sudah tertata rapi di amplop, kenapa untuk yang softcopy nya malah lupa? Dasar Sarah Lally…..”

Sampe di ruangan langsung aku revisi softcopy nya, ganti amplop, dan siap untuk ke kantor pos lagi. Panas masih sama seperti yang tadi, tapi semangatnya udah beda. Mudah2an milestone ini membawa berkah buatku di ramadhan ini. Amiin.

Usai itu, aku balik lagi ke ruangan. Suasana kantor udah mulai beda, mungkin karena udah H-5 kali yah, jadi orang-orang cuma setengah hati memikirkan kerjaan, setengahnya lagi mikiran buat nyiapin mudik dan lebaran, termasuk aku. Hehehe

Untuk teman-teman blogger yang hendak mudik, titi dj yah. Moga selamat sampai tujuan. Jangan lupa berdoa, jangan bawa barang terlalu banyak – yang penting2 ajah – terus jaga selalu kesehatan biar tetep fit di hari H nanti. Kalo aku sih gak pernah mudik, abis nggak punya kampung sih, makanya pengen nyari yang punya kampung ah, biar bisa mudik :D

Oia, aku juga mau minta maaf bagi temen2 yang udah bersedia koment di blog ini, tapi blum sempet dibales atawa gak aku bales, bukannya gak mau bales, tapi waktunya mepet ama kerjaan ciiiinnn.....aku lebih seneng BW ke blog kalian. Tapi tenang aja, yang udah ngasih komennya kemari, sebisa mungkin aku datengi kok blognya, kalo ada fasilitas follow, malah aku lebih milih follow dulu, biar kalo ada update-an dari temen2, aku bisa tahu melalui dasbor, baru deh komen di postingannya :D

At last, selamat menjalankan sisa ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi ya. Kebetulan ini hari terakhirku masuk kerja menjelang lebaran, jadi sekalian mau minta maaf kalo ada salah2 kata di setiap komen, semoga ibadah ramadhan kita diterima Allah dan senantiasa mendapat keberkahan dari-Nya. Amiin. (beseknya mana? :D)

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H, mohon maaf lahir bathin.............

note:
- Sarah Lally = Sarah (my nickname) Lally (asal kata lali = lupa) :D
- titi dj = hati-hati di jalan


gambar diambil dari google

23 Agustus 2011

Nggak Ada Alasan Untuk Nggak Bahagia

Sebagai seorang pekerja yang sering berhadapan langsung dengan para pelanggan (kantor saya bergerak dalam bidang sosial dan usaha), acap kali saya menemukan beberapa pelanggan yang sikapnya terkadang kurang mengenakan hati. Dari yang bersikap acuh terhadap tagihan-tagihan yang sudah menggunung, bahkan yang bersikap ketus pada saya saat hendak menagih tunggakan-tunggakannya.

Kejadian-kejadian seperti itu sudah sering saya alami. Terkadang saya malas juga untuk meladeni para pelanggan yang seperti itu, namun saya kembali tersadar bahwa bukankah ”pelanggan adalah raja”? Ya, mereka adalah raja dalam sebuah pengibaratan. Tapi mereka raja bagi kantor saya, dan bukan bagi saya.

Untuk saya pribadi, mereka tetap saja manusia biasa. Yang bisa saja khilaf setiap saat, atau karena memang sudah sifatnya yang seperti itu. Kalau mau disikapi secara serius, jujur sebenarnya saya orang yang sensitif, apalagi jika saya diperlakukan seperti itu, maka saya tidak segan-segan untuk mengutipkan namanya dalam kehidupan saya.

Namun karena mereka adalah para pelanggan dari tempat saya bekerja, maka mau tidak mau saya harus bersikap profesional dan menanggapi semua kejadian itu dengan cara yang bijak. Jika misalnya mereka ketus pada saya, terkadang dalam hati saya selalu menganggap hal itu adalah sebuah milestone yang nggak seberapa, toh setelah itu maka hal itu pun akan menjadi masa lalu pada akhirnya, jadi buat apa dipikirkan sampai sedemikian kerasnya, cuma bikin susah hati.

Jadi sebenernya, kebahagiaan yang kita dapat bukan hanya berasal dari orang-orang yang memberikan kebahagiaan untuk kita, tapi juga bersumber dari seberapa mampu kita bisa berpikir positif agar kita merasa bahwa kebahagiaan itu memang pantas kita rasakan.

gambar diambil dari oom google

20 Agustus 2011

Karena Allah Tak Pernah Ingkar Janji - part.2

Tanpa terasa, sudah lima bulan tante pergi meninggalkan aku dan keluarga. Kepergian tante, jelas meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi kami. Tente meninggalkan tiga orang putri dan dua orang putra. Yang paling besar berusia 16 tahun dan yang paling kecil berusia 2 tahun. Bagiku dan keluarga, awalnya menurut kami sungguh tidak mudah diamanahi 5 orang anak.

Bagi nenek yang seorang isteri alm. pensiunan, bagi mamaku yang seorang wiraswasta, bagi omku yang seorang tukang ojek, dan bagiku sendiri yang berpenghasilan pas-pasan, sungguh, awalnya hal ini kami rasa akan tidak mudah untuk kami jalani. Kami saling bahu membahu menghidupi keluarga sekaligus kelima anak tante. Awalnya kami rasa itu tidak mudah. Beban semakin bertambah namun penghasilan masih tetap sama seperti dulu, bahkan berkurang karena aku sudah tidak mengajar lagi di dua rumah anak muridku.

Awalnya kami rasa itu tidak mudah. Kami harus mengurangi porsi kebutuhan kami, tidak lagi seperti dulu. Aku sendiri, harus lebih irit menggunakan uang karena kini bukan hanya kebutuhanku sendiri yang harus kupenuhi, tapi juga sebagian kebutuhan anak-anak tante.

Awalnya kami rasa semua itu tidak mudah untuk kami jalani, namun seiring berjalannya waktu, setelah 5 bulan berlalu tanpa tante, alhamdulillah semua tampak berjalan baik-baik saja. Selama 5 bulan ini, alhamdulillah Rizky masih bisa minum susu, anak-anak masih bisa makan, sekolah mereka masih terus berjalan, iuran ini itu di sekolah mereka masih bisa terlunaskan, kuliahku masih bisa berjalan dengan baik, kebutuhan setiap bulan masih bisa tercukupi, bahkan anak-anak masih bisa memiliki baju baru untuk lebaran.

Alhamdulillah selama 5 bulan berjalan tanpa tante, kehidupan kami tak berubah sedikitpun seperti apa yang kami khawatirkan di awal kepergian tante. Teman-teman selalu ada buat kami, mereka yang dermawan pun tak segan-segan membagi rejeki mereka pada kelima anak tante.

Alhamdulillah keberkahan itu sangat kami rasakan sejak kepergian tante. Bukan kami bersyukur karena tante telah tiada, tapi dengan semua keberkahan yang kami rasakan saat ini, membuat aku menarik kesimpulan, bahwa Allah tidak semata-mata mengambil tante dari kami jika kami tidak diberikan kemampuan untuk mengurus kelima anaknya. Ia memberikan ujian ini, pun juga beriringan dengan memberikan pertolongan dan kemudahan bagi kami.

Bukankah dalam ayat-Nya, bersama kesulitan itu ada kemudahan? Bukankah Allah itu selalu memberikan ujian sesuai dengan kemampuan hamba-Nya? Maka dari itu insya Allah aku tak pernah khawatir dengan apa-apa yang telah Allah janjikan. Aku percaya bahwa Allah tak pernah ingkar janji. Dan aku harap agar keberkahan ini akan selamanya menyelimuti kehidupanku dan keluarga. Demikian juga dengan kalian ya kawan :)

Nb: banyak bersedekah, hidup akan semakin lebih mudah. Karena sedekah, adalah kunci untuk membuka pintu rizki yang tidak pernah kita duga.

18 Agustus 2011

Rumput Liar Punya Ama

Cuma mau ngereview blog punya temen aja sih. Namanya Rachmawati. Biasa dipanggil wawa, tp aku biasanya manggil dia nenek,,,,eh salah, ama maksudnya, hihihi. dia itu baru banget punya blog. bikinnya aja pas aku buka puasa di rumahnya hari Jum'at kemaren. Pas aku ceritain enaknya punya blog, eh dia langsung mendaulatku untuk ngajarin dia bikin blog. katanya dia gak bisa bikin blog. waaahhhhh gubraksss nih org, maen internet taunya cuma facebook doang, payah deh :D *ups, ini rahasia, cuma kita yg tau ya :D

kalo pengen tau kayak apa blognya, langsung aja ya meluncur ke sini. jangan lupa tinggalin koment kalian yah di sana. oia, sekedar info aja, ama itu seorang dosen honorer di kampusku loh. dia juga ahli di bidang photografi. dan yg baru aku ketahui baru2 ini, ternyata dia juga pinter nulis hihihi. jadi kalo niat berkunjung ke blognya, siapin mental dulu ya, soalnya tulisannya beerrrraaaat bgt bahasanya, hehehe tapi sumpah bagus bgt kalo mau disimak secara seksama.

ok, happy blogging and blogwalking yahh......


NB: bagi temen2 yg punya lowker, bisa hubungin ama di blog nya yah, coz dia lg jadi pengacara sekarang hehehe

*pengacara= Pengangguran Banyak Acara :D
hehehe piss ya ma.....

(ama lagi fokus bimbingan bikin blog sama gw, xixixixixi)

16 Agustus 2011

Nikmatnya Hari Libur

Alhamdulillah besok kita merayakan Hari Kemerdekaan RI yang ke 66. semangatnya udah keliatan dari sekarang bahkan dari kemarin. Kenapa? Karna bertepatan dg tanggal merah yang artinya besok ituuuu Libuuuuuurrr…… :D

Seneng banget kalo denger kata libur. Udah kebayang mau santai2 di rumah. Sebenernya sih bukan santai dlm artian ongkang-ongkang kaki, tapi bisa kumpul bareng keluarga seharian. Kebiasaanku kalo libur itu paling males kemana-mana. Selain capek, juga ngabisin uang, wkwkwkwkwkwk….. jadi mending di rumah aja, bisa istirahat.

Tapi emang bener, nggak tau kenapa yah, kalo libur aku paling suka stay di rumah ketimbang harus ngacir kesana kemari. Kalo stay di rumah kan bisa melakukan apapun yang gak bisa dilakuin di hari kerja. Utamanya sih bantuin ortu beres2 rumah, main bareng Rizky, ngelarin deadline, nonton tivi, wah pokoknya macem2 deh. Tapi lain halnya kalo libur lebaran yah, itu wajib bin kudu pergi kesana kemari, karna kan mau silaturahim ke kerabat. Utamanya juga untuk ngenalin Rizky sama keluarga-keluarga yang lain.

Akhir kata, bagaimana dengan kalian teman-teman? Libur besok pada mau kemana? Yang pasti nggak ada lomba makan kerupuk ya, karna lagi puasa, hihihihi.......

15 Agustus 2011

Cerpen : Cinta Dalam Diam

Aku tak mengerti dengan rasa dalam hatiku
Aku hanya bisa merasakannya lewat hati
Hanya dengan hati…
Tak perlu dengan kata-kata
Karena kata hanya akan membuat luka

Aku akan terbang jauh
Bersama anganku yang melayang
Menerawang menembus angkasa
Lalu jatuh bersama derai air mata

Aku tak akan mau mengingatmu
Demi rasa haru sembunyikan cinta
Demi rasa sedih karena tak bisa berbagi cinta
Demi rasa sakit memendam asa
Akan kupendam dalam-dalam cinta ini
Dan akhirnya, demi cinta itu sendiri

silahkan unduh cerpenku selengkapnya di sini

12 Agustus 2011

Ikhtiar dalam Segenggam Doa

Sudah tiga hari Rizky sakit. Sejak hari Senin dia mulai nggak mau minum susu. Bilangnya pedes, mungkin kalo menurut kita itu perih. Ternyata mulutnya sariawan dan hal itu menyebabkan suhu tubuhnya meningkat. Huh....kalo si kecil sakit rasanya kita pun ikutan sakit. Berkali-kali aku katakan pada diriku sendiri, andai saja aku bisa menggadaikan kesehatanku demi kesembuhannya, pasti sudah aku lakukan. Namun ikhtiarku selain memberinya obat adalah dengan berdoa supaya Rizky cepat sembuh.

Tiap kali Rizky sakit sejak kepergian mamanya, aku jadi kurang istirahat. Salah satu hobiku adalah begadang sembari kencan dengan laptop, tapi kalo Rizky lagi sakit, kebiasaan itupun harus aku kesampingkan sejenak sampai Rizky sembuh. Hmm...sebenarnya kangen banget ama laptop, selain ada deadline, juga karena gatel aja tangan kalo nggak menjamah laptop, tapi demi Rizky apapun aku lakukan.

Seharian kemarin aku hanya menghabiskan waktu bersamanya. Ngantorpun aku tinggalkan karena Rizky yang lagi rewel nggak bisa ditinggal kemana-mana. Nggak megang kompi or laptop sehari aja rasanya ada yang beda. Seperti semalem, jam dua belas malem Rizky baru bisa tidur. Emang sih siang sampe sorenya Rizky tidur nyenyak banget, makanya pas malem tidurnya malem banget, dan hal itu sangat-sangat mengundang rasa emosiku. (rasa lelah biasanya lebih mudah mengundang emosi). Udah lelah seharian menghadapi Rizky yang rewelnya ampun-ampun, eh malemnya masih nggak bisa tidur lantaran rewelnya Rizky masih terus berlanjut. Klimaksnya, aku ngomel-ngomel nggak karuan lantaran kelelahan itu.

Ingin rasanya mencaci maki siapa dan apapun kala itu. Kucaci maki diriku entah karena apa, dan kutanyakan pada Tuhan, kenapa tante harus Ia ambil sehingga aku dan Rizky mengalami hal seperti ini? Tapi kembali aku tersadar dan berucap istighfar. Kepergian tante pun kuyakin sudah kehendakNya, dan hal itu mungkin akan mengasah kedewasaanku dalam berpikir dan bertindak.

Memang ada kalanya aku sangat-sangat emosi saat waktu semakin merangkak naik menjemput malam namun Rizky belum juga mau terpejam. Alhasil ia pun menjadi pelampiasan emosi sesaatku meski aku langsung menyesali hal itu, terlebih saat kulihat tangisnya semakin membuat remuk jiwaku kala ia menyebut-nyebut mamanya.

Oh Rabb....sampai kapan rasa rindunya terhadap almh. mamanya itu bisa ia redam? Aku sungguh tak tega melihatnya seperti itu. Perjalanannya masih panjang, semoga aku masih bisa terus berada di sampingnya, menjaganya, membimbing langkahnya, mengajari tentang arti kehidupan padanya, meski mungkin aku harus mempertaruhkan masa depanku sendiri dan semua itu sungguh tak mudah untuk kujalani, lagi-lagi jika aku harus tetap sendiri.

Rencana Allah pasti lebih indah ketimbang keinginanku sendiri. Akan kutunggu rencanaNya itu sampai ia memberikanku kesempatan untuk menjalankan rencanaNya. Amiin....

21.05, 10-08-2011




10 Agustus 2011

THR, Antara Kebutuhan dan Keinginan

Di penghujung Ramadhan seperti saat ini, ada satu hal yang sangat dinanti-nantikan oleh para pekerja yaitu Tunjangan Hari Raya, atau yang sering kita dengar dengan istilah THR. Banyak orang yang menggunakan uang THR itu untuk membeli kebutuhan-kebutuhan dalam menjelang Hari Raya. Tapi saya ingin mengingatkan disini. Terkadang setelah kita mendapatkan uang THR tersebut, kebanyakan dari kita mempergunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu hal yang sebenarnya tidak kita perlukan dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri.

Yang ingin saya tekankan disini adalah, kebutuhan jelas sangat berbeda sekali dengan keinginan. Mengapa? Ya, ketika mendekati Hari Raya Idul Fitri, orang-orang yang sudah mempunyai rencana-rencana apa saja yang ingin dilakukan ketika uang THR itu diterima ditangan, merealisasikan rencana-rencana itu dengan membeli segala sesuatunya untuk menyambut Hari Raya. Tapi pernahkah kita sadar, bahwa apa yang kita beli selama ini untuk menyambut Hari Raya, bisa jadi adalah susuatu yang tidak kita butuhkan melainkan hanya sebuah keinginan belaka untuk meramaikan Hari Raya.

Contoh kecilnya saja, bagi seseorang yang sudah berumah tangga dan punya anak, membeli pakaian untuk si buah hati jelas sepertinya sudah menjadi hal yang wajib ketika Hari Raya itu tiba. Namun kita bisa lihat, bagi mereka yang belum berumah tangga (single), ketika THR itu diterima, kebanyakan dari mereka membelanjakan uangnya itu tanpa terkendali. Membeli pakaian baru, sepatu baru, kerudung baru, dan segala yang serba baru, seolah-olah untuk menyambut Hari nan fitri itu harus dengan sesuatu yang baru. Sehingga tanpa disadari uang THR itu terbuang percuma untuk sesuatu hal yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan, melainkan hanya sekedar memenuhi keinginan kita semata. Bukankah tanpa pakaian dan sepatu baru, toh kita tetap akan merayakan Hari Raya itu bukan? Dan bukankah kita bisa lebih memanfaatkan sebagian uang tersebut untuk investasi kita kedepannya?

Bukan berarti kita tidak boleh membeli itu semua, tapi kita juga harus bisa mengalokasikan uang tersebut untuk sesuatu hal yang memang benar-benar kita butuhkan, bukan hanya sekedar untuk hal-hal yang kita inginkan belaka. Jika hal itu memang terjadi, maka bisa jadi apa yang kita lakukan adalah sebuah kemubaziran atau berlebih-lebihan. Dan Allah sangat tidak menyukai hal itu.

“…janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (SURAT AL AN'AAM (Binatang ternak) ayat 141)

Manfaatkanlah setiap rizki yang kita terima dari Allah, dengan cara-cara yang ahsan (baik), bukan dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab. Belanjakanlah setiap harta kita untuk suatu hal yang memang benar-benar kita butuhkan, dan bukan hanya sekedar memenuhi hasrat keinginan kita semata. Semoga kita bisa menjadi hamba yang selalu bersyukur dengan apa yang kita dapatkan dari Allah Azza wa Jalla. Amin

“Kecukupan akan rizki yang kita miliki bukanlah dari besar atau kecilnya rizki yang kita dapat, namun bagaimana cara kita menggunakan rizki itu dengan penuh manfaat”

Patutlah kita memanjatkan doa ini:
"Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami {235} dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (ALI 'IMRAN (KELUARGA 'IMRAN) ayat 147)

artikel ini sebenernya adalah postingan lama, tapi diterbitkan lagi untuk tujuan kebaikan. moga bermanfaat

5 Agustus 2011

Kado Kecil untuk Pak Sabar


“Pokoknya saya nggak mau tau, proyek ini harus berhasil seperti apa yang saya harapkan. Dalam waktu 2 X 24 jam, kalian semua sudah harus menyerahkan konsep proposal proyek ini pada saya.”

Semua karyawan yang mengikuti meeting siang itu hanya dapat diam sambil menyimpan segala unek-unek mereka di hati. Ya, unek-unek pada seorang bos yang diktator seperti Ferdy Darmawan.

“Ah...sial! Apa-apaan ini?!” Tiba-tiba semua mata tertuju pada seorang office girl yang tengah dihujani omelan pedas oleh sang bos, Ferdy yang diktator. Alasannya mungkin tak seberapa, office girl itu tanpa sengaja menumpahkan secangkir kopi pada lengan baju Ferdy.

“Kalo kerja yang becus dong, gimana sih kamu?” Ferdy terus saja menumpahkan amarahnya pada office girl yang hanya bisa mengucapkan kata “maaf” dari bibirnya yang terus bergetar itu. Semua karyawan yang ada di ruang rapat tampak berbisik-bisik satu sama lain, sementara sang office girl masih tetap berdiri di samping Ferdy sambil menunduk dan tubuh yang menggigil menahan rasa takutnya.

“Meeting hari ini selesai. Saya muak dengan semua kinerja kalian yang nggak becus itu!” Langkah kaki Ferdy kemudian menjadi hal paling akhir yang di dengar semua orang yang ada di ruang rapat. Semuanya menjadi ribut. Sikap Ferdy yang diktator itu menjadi topik utama yang diperbincangkan oleh hampir semua bawahannya.
* * *
“Mau pesan apa pak?” Tanya seorang perempuan muda belia pada Ferdy yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

“Hah? Hmm...soto betawi aja deh.” Jawab Ferdy yang terdengar tak sepenuhnya menginginkan makanan itu. Perempuan muda tadi langsung meluyur ke belakang, tempat mengolah berbagai makanan di rumah makan itu. Sementara Ferdy masih dengan pikirannya sendiri. Ia masih sibuk membersihkan lengan bajunya yang kotor terkena tumpahan kopi tadi, menggulungnya ke atas, lalu menarik sehelai tisu dari tempatnya dan mengelapkannya pada meja yang ada di hadapannya.

“Sendirian aja Nak?” Tanya seorang bapak tua berseragam coklat yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Ferdy. Yang ditanya pun hanya mengangguk lirih. Ia kembali mengelapkan tisu ke meja yang sudah agak bersih.

“Soto betawi disini enak loh. Terkenal dengan ayamnya yang empuk. Hehehe.” Bapak tua itu terkekeh pelan, menyertai kata-katanya yang basa basi tadi. Ferdy sendiri masih diam termangu, tak mengerti dengan sikap bapak tua itu yang tiba-tiba sok akrab dengannya. ia hanya menyunggingkan senyum yang dipaksakan.

Beberapa waktu lamanya bapak tua tadi asyik sendiri menyantap soto betawi miliknya. Tampaknya ia begitu nikmat menyantapnya. Dalam hati Ferdy bertanya, “Sebenarnya siapa bapak tua ini? Seperti nggak ada beban di bahunya. Semuanya begitu nikmat ia rasakan.”

“Soto betawinya pak.” Suara perempuan belia tadi kembali memenuhi rongga telinga Ferdy. Ia datang dengan semangkuk soto betawi, sepiring nasi hangat dengan bawang goreng di atasnya, dan segelas air putih hangat.

“Silahkan pak.” Perempuan belia itu segera mempersilahkan Ferdy untuk makan. Ferdy hanya mengangguk lirih. Tiba-tiba anggukan itu diiringi dengan suara berat bapak tua yang ada di sampingnya, “Makasih ya Nduk.” Perempuan belia yang memang seperti orang Jawa itu langsung mengangguk dan tersenyum. Bapak tua itu pun melemparkan senyumnya pada Ferdy saat ia tahu kalau Ferdy tengah memperhatikan dirinya.

“Ayo dimakan Nak.” Lanjut bapak tua itu, tak lupa dengan senyumnya. Beberapa menit berselang, mengisi kekosongan waktu yang semakin bergulir.

“Kerja di mana Nak?” Tanya bapak tua itu akhirnya mengawali perbincangannya dengan Ferdy. Sontak, Ferdy pun terkejut mendengarnya, “Hmm...di PT. Arsindo Building...” Jawab Ferdy, lirih. Entah mengapa, tiba-tiba ia ingin sekali melemparkan pertanyaan yang sama pada bapak tua itu.

“Nama kamu siapa Nak?” Tanya bapak tua itu lagi, menghentikan sejenak mulut Ferdy yang hendak bertanya hal serupa dengan pertanyaan bapak tua itu sebelumnya.
“Ferdy, Pak.” Kali ini suara Ferdy lebih bersahabat.
“Bapak sendiri, siapa?”
“Saya Sabar.”
“Dilihat dari pakaian yang bapak pakai, sepertinya bapak guru ya?”
Bapak tua yang dikenal dengan nama Pak Sabar itu hanya tersenyum. Senyumnya seolah menjawab pertanyaan Ferdy kalau dia memang seorang guru.
“Mengajar di sekolah mana Pak?”
“SDN 07 Rawamangun.”
Sejurus kemudian, obrolan dua insan beda generasi itu pun mengalir bagai air. Dari membicarakan secara umum kehidupan mereka masing-masing, sampai akhirnya Ferdy seolah merasakan siraman air segar dalam hidupnya.

“Udah berapa lama bapak berprofesi sebagai guru?” Pak Sabar hanya tersenyum simpul. Entah sudah keberapa kalinya pertanyaan ini dilontarkan oleh setiap orang yang diajaknya berbincang. “28 tahun.” Jawab Pak Sabar tiba-tiba terdengar agak serak. Seperti ada isak yang ia tahan di sana. Untuk selanjutnya, tanpa ditanya, Pak Sabar menuturkan setiap pengalamannya selama 28 tahun mengajar.

“Dari sebelum bapak menikah, bapak sudah menjadi guru. Pada saat itu statusnya masih honorer. Setahun setelah menikah, barulah bapak diangkat menjadi guru tetap di SD tempat bapak mengabdi hingga kini.”
“Kenapa memilih menjadi guru Pak?”

Hening sejenak. Pak Sabar mengalihkan pandangannya jauh ke depan. Ia mulai bersuara, “Bapak menjadi guru, sebenarnya bukan karena tak ada pilihan pekerjaan lain, tapi karena memang dari kecil, bapak ingin sekali menjadi guru. Karena jasa seorang guru, seorang presiden bisa memimpin rakyatnya, terlepas dari sifatnya yang baik atau buruk. Karena jasa seorang guru pula, seorang dokter bisa menyembuhkan pasiennya, tanpa terlepas dari takdir bahwa hidup dan mati seseorang adalah hak prerogatif dari Allah.

“Mengajar adalah sebuah kegiatan yang sangat mulia. Meskipun banyak orang yang memandang sebelah mata profesi seorang guru, tapi bapak tetap bangga dengan pekerjaan bapak. Mungkin Nak Ferdy bertanya-tanya, apakah profesi ini memiliki masa depan yang cerah atau tidak...”
Ferdy tersenyum di tengah keseriusannya mendengar penuturan Pak Sabar.

“Selama 28 tahun bapak ngajar, Alhamdulilah bapak masih bisa mencukupi kebutuhan hidup isteri dan dua anak bapak. Ya....meskipun selama ini hanya hidup pas-pasan yang bapak tawarkan kepada mereka, tapi bapak yakin mereka selalu ikhlas menerima semuanya. Sebenarnya asal kita ikhlas dalam melakukan segala hal, semuanya pasti akan terasa mudah.”

Pak Sabar diam sejenak, menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan. Ferdy pun hanya diam tanpa bergeming. Rupanya ia sudah mulai hanyut dalam cerita Pak Sabar.

“Selama bapak mengajar, sebetulnya bukan hanya para murid bapak saja yang belajar, tapi bapak pun juga demikian.”

Ferdy semakin serius mendengarkan. “Karena dengan mengajar, kita akan banyak belajar.” Ferdy langsung mengerutkan keningnya. “Dengan mengajar, bapak belajar mengelola emosi secara bijak, karena karakter murid yang bapak temui semuanya beda-beda. Dengan mengajar pula, bapak belajar cara menghadapi mereka sesuai dengan karakternya. Dengan mengajar, bapak mendapatkan apa yang dari dulu bapak cita-citakan. Bapak sangat senang ketika melihat murid yang bapak ajar dulu, kini sudah sukses dengan kehidupannya. Bukan masalah besar buat bapak saat mereka seolah melupakan bapak, asal melihat mereka sukses dan bahagia dalam hidupnya saja, itu sudah membuat bapak bangga.

“Uang bukan prioritas bagi bapak, meski memang tanpa hal itu, nasib para guru pasti tidak akan sejahtera. Tapi ada satu hal yang lebih penting dari itu, yaitu pahala. Orangtua bapak yang juga seorang guru, dulu pernah berkata pada bapak, ‘mengajar itu ibarat seorang petani. Pekerjaannya adalah yang berkaitan dengan sawah. Sesuatu yang pasti ia dapat adalah beras yang dihasilkan dari padi-padinya, tapi ketika ia menemui ikan atau belut saat ia tengah bersawah, maka itu adalah bonusnya’. Nak Ferdy mengerti apa maksudnya?”

Ferdy menggeleng pelan. Ia tak mengeluarkan suara sama sekali, seperti tersihir oleh kisah hidup Pak Sabar yang semakin lama seolah semakin seru saja.

“Maksudnya, ketika kita mengajar secara ikhlas, maka yang pasti kita dapatkan adalah pahala dari Allah, sama seperti petani yang pasti akan mendapatkan beras dari padi-padinya. Nah, gaji kita dari mengajar itu diibaratkan sebagai bonus, sama seperti ikan atau belut yang di dapat petani tadi. Bukan berarti kita ikhlas mengajar tanpa di bayar, karena secara profesionalitas, kita memang berhak menerima gaji dari setiap pekerjaan kita. Hanya saja, jika ditambah embel-embel ikhlas, maka semuanya akan menjadi berkah.”

Ferdy menyelinginya dengan pertanyaan, “Yang dimaksud dengan ikhlas itu sendiri apa Pak?”

“Ikhlas itu, kalau kita ridho dengan semua ketetapan yang sudah Allah gariskan untuk kita. Melaksanakan setiap tanggung jawab dengan sepenuh hati dan tanpa beban. Bukan semata-mata materi yang menjadi barometernya.”

Jawaban Pak Sabar seolah seperti pisau runcing yang tiba-tiba menelusuk ke dalam dada Ferdy. Ia benar-benar merasa amat kecil kala itu. Pak Sabar mulai menghentikan ceritanya. Ia menyeruput sisa teh yang sudah tak hangat lagi dalam gelasnya. Setelahnya, ia seperti menyeka sebuah butiran bening di ujung matanya.
“Bapak kenapa?” Tanya Ferdy ingin tahu. Pak Sabar hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Apa yang sedang bapak pikirkan?” Desak Ferdy seolah memaksa Pak Sabar untuk menjawabnya.
“Bulan depan, anak bapak di wisuda....”
“Bagus dong Pak kalau begitu, selamat ya. Tapi, kenapa bapak jadi murung begitu?”
“Bapak dan isteri bapak memang sangat senang Nak, tapi...” Pak Sabar memutus perkataannya.
“Tapi apa Pak?”
“Ah sudahlah Nak. Sudah menjelang sore, bapak harus segera pulang. Isteri bapak sudah menunggu di rumah.”

Ferdy seperti bingung dibuatnya. Ia sebenarnya sudah mulai menikmati obrolannya dengan Pak Sabar, lebih tepatnya, mendengarkan kisah Pak Sabar. Tanpa menunggu waktu lama, ia langsung merogoh saku celananya, mengambil dompetnya, dan menarik uang selembar lima puluh ribuan, saat ia melihat Pak Sabar mengeluarkan uang dua puluh ribuan lecek, diantara uang leceknya yang lain.

“Biar saya yang bayar pak, saya traktir.” Ucap Ferdy sambil melemparkan senyum.
“Eh...nggak usah Nak, biar bapak bayar sendiri saja. Oia, apa Nak Ferdy sudah menikah?” Ferdy mengangguk, bingung. Apa hubungannya antara membayarkan soto Pak sabar dengan status maritalnya.
“Kalau begitu, simpan saja uang itu untuk keperluan keluarga Nak Ferdy, mereka pasti lebih membutuhkannya. Insya Allah kalau untuk membayar soto betawi, bapak masih sanggup.” Pak Sabar tersenyum. Entah mengapa, kali ini senyum Pak Sabar begitu lain Ferdy rasakan. Tiba-tiba ia menjadi rindu pada kedua orangtuanya yang sudah lama sekali tak ia tengok di kampung halamannya, Medan.

Ia mengikuti langkah kaki Pak Sabar menuju tempat pembayaran. Ia ikuti setiap gerak geriknya dari menyerahkan uang pada si pemilik sampai menerima kembaliannya. Di depan warung makan itu, Pak Sabar langsung memberikan uang kembaliannya tadi pada seorang bocah perempuan dekil yang tengah mengemis di sekitar situ. “Pakai uangnya untuk hal-hal yang bermanfaat ya...” Ucapnya mengiringi uang yang ia serahkan pada bocah tadi. Bocah itu pun mengangguk, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih. Ia pun segera berlalu.

Saat Pak Sabar hendak melangkah lagi, Ferdy kembali melontarkan sebuah pertanyaan, “Bapak belum menjawab, kenapa tadi bapak murung sementara bulan depan anak bapak akan di wisuda?” Pak Sabar menghentikan langkahnya sejenak, menghela nafasnya perlahan, lalu melanjutkan langkahnya lagi menuju kendaraannya. Sambil bersiap-siap untuk pulang, ia menjawab, “Bapak nggak bisa menghadiri acara wisudanya...” Kalimat itu menggantung. Ia memasang helm di kepalanya lalu menstarter motornya.

“Kenapa nggak bisa?” Desak Ferdy sangat ingin tahu.
“Uang bapak masih belum cukup untuk datang kesana....” Lagi-lagi kalimat itu menggantung, membuat Ferdy semakin penasaran dibuatnya.
“Memang di mana anak bapak di wisuda, barangkali saya bisa bantu.” Ferdy terkejut. Dia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa bicara seperti itu padahal ia baru saja mengenal Pak Sabar. Yang di ajak bicara pun hanya tersenyum dan segera pamit, sebelum Ferdy mencegahnya untuk segera berlalu.

“Norwegia. Anak bapak mendapat beasiswa di Norwegian University of Science and Technology atau lebih dikenal dengan nama NTNU Trondheim.” Pak Sabar menyahuti pertanyaan Ferdy dengan perasaan yang sangat bangga pada anaknya. Ia segera pamit, mengucapkan terima kasih pada Ferdy, dan segera berlalu dengan vespa bututnya. Meninggalkan Ferdy sendiri di depan rumah makan tadi dengan segala pikiran yang memenuhi otaknya. Baru kali ini ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Kesabaran seorang Pak Sabar telah membuatnya merasa malu pada dirinya sendiri.Tautan
Ia langsung berlari memasuki mobilnya, menyalakan mesinnya, dan mengejar vespa butut Pak Sabar sambil membatin, “Pak Sabar, saya akan membantu bapak, karena bapak sudah banyak membuat anak Indonesia menjadi anak yang berguna bagi bangsanya. Saya rasa bapak pantas mendapatkan hadiah kecil ini karena kau adalah salah satu patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.....”

Roda mobil itu terus menggelinding mengikuti laju motor vespa Pak Sabar yang sudah lebih dari 20 tahun ini menemani langkahnya menjadi seorang pahlawan pemberantas kebodohan.

Ruang Tamu, Pasar Minggu
04.08.11, 23.45

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan oleh Trio Nia, Lidya, Abdul Cholik.
Sponsored By :



1 Agustus 2011

Review : Novel Galaksi Kinanthi

Misteri Bintang yang Hilang

“Galaksi Kinanthi...”

Dua kata di atas adalah sebuah judul novel garapan seorang laki-laki asal Gunung Kidul yang bagiku tidak terlalu tua jika kunilai dari parasnya, Tasaro GK. Mengisahkan tentang dua orang anak manusia bernama ‘Ajuj dan Kinanthi’. Tampaknya sulit jika aku harus menjabarkan isi dari novel tersebut, tapi intisari yang aku tangkap setelah melahap habis novel ini dalam waktu 13 hari, adalah sebuah perjuangan hidup dan cinta yang dilakukan Kinanthi dan Ajuj, demi meraih apa yang mereka harapkan.

Membaca karya Tasaro GK, seolah mengingatkan aku pada sebuah “bintang” yang telah lama hilang dari galaksi peredarannya. Meski mungkin lama yang aku rasakan tak selama apa yang dirasakan Kinanthi kala menanti Ajuj, tapi membaca buku ini sungguh membuatku kembali ke masa lalu yang rasanya ingin sekali aku lupakan. Selain karena kesamaan antara aku dan Kinanthi yang telah kehilangan “bintang” kami, gaya bahasa yang digunakan Tasaro GK pun juga sesekali mengingatkan aku pada “bintang” itu. Bintang, yang telah lama tak kujumpai keberadaannya.

Mengingat hal itu sebenarnya telah menghambat jalanku untuk terus melangkah maju. Sayang dia bukan Ajuj dan aku bukan Kinanthi, yang meskipun jarak dan waktu telah memisahkan mereka sebegitu lamanya - hampir dua puluh tahun - tapi hati mereka tetap terpaut satu sama lain. Bintangku senyatanya tak memiliki rasi yang jelas untuk mencapai ke arahku. Ia justru malah berbelok meninggalkan aku bersama segala rasa dan tanya yang masih utuh membekas di hatiku, hingga saat ini.

Membaca halaman awal dari novel ini rasanya tak cukup sekali saja, setelah itu lanjut ke halaman berikutnya. Meresapi apa yang dituliskan Tasaro GK di bagian itu merupakan kesenangan tersendiri bagiku kala membaca buku ini. Mungkin di situlah letak kenikmatan yang kebanyakan orang akan mengatakan, “Ini baru yang namanya sebuah Mahakarya.”

Selesai membaca novel ini, seolah membuatku tersadar bahwa aku harus kembali lagi ke kehidupan nyataku. Kembali dengan segala aktivitasku disini, dan melupakan semua yang pernah terlewati antara aku dan bintangku di masa itu. Masa lalu.

Aku tak pernah menyebut ini cinta. Bagiku, asal melihat ia ada, itu sudah membuat aku tenang dan aku merasa nyaman karenanya. Asal melihat ia baik-baik saja, aku percaya bahwa Tuhan tengah menjaga dirinya. Apakah ini layak disebut cinta? Aku memang sangat ingin bersamanya, tapi.....bukankah tak selamanya cinta harus memiliki? Bukankah cinta memiliki kekuatannya sendiri untuk bisa bertahan? Bukankah, dengan tetap menyimpan perasaan ini dalam diam, maka seharusnya aku bisa kuat meski tanpa ia disampingku? Bukankah aku masih memiliki cinta Tuhanku yang Maha Besar dibanding perasaanku terhadapnya?

Perjalanan cinta Ajuj dan Kinanthi kembali mengingatkan aku pada sepenggal episode kehidupan yang pernah aku alami. Jika seluruh dunia tidak rela Ajuj dan Kinanthi bersatu – bukan karena cinta mereka yang salah – melainkan karena orangtua, kemiskinan, nasib buruk, dan garis takdir, lalu.......apakah bagiku, mencintainya adalah suatu hal yang salah? Apakah aku memang benar-benar tak memiliki hati yang pantas untuk ia cintai?

Ah sudahlah. Toh sekali lagi, ia bukan Ajuj dan aku pun juga bukan Kinanthi. Ajuj dan Kinanthi memiliki jalan mereka masing-masing untuk mencapai tujuan akhir kehidupan mereka. Meskipun tidak bisa bersama, namun hati mereka akan selamanya bersatu di galaksi cinta. Aku pun juga demikian. Aku dan bintangku sama-sama memiliki jalan hidup masing-masing. Namun bedanya, jika Ajuj dan Kinanthi melangkah bersama menuju galaksi cinta mereka dengan jalan yang tidak bersamaan, aku dan bintangku benar-benar berbeda jalan dan tujuan. Kami memang tak pernah bersama, baik jiwa maupun raga.

Bintangku telah hilang, meski sebelumnya aku tak pernah merasa memilikinya. Biarlah begini adanya, karena takdir hidup telah menggariskannya seperti ini. Bertemu, bukan untuk bersatu. Berbincang, hanya untuk sekedarnya. Dan berpisah, hanya karena telah bertemu. Bertemu, merasakan, kehilangan. Hanya itu, dan tak lebih.

Aku enggan untuk kembali ke masa lalu. Kalaupun ingin, mungkin hanya untuk sekedar menghapus jejakku di sana. Bukan karena aku membencinya, tapi karena aku terlalu mencintainya.

Biarlah kepergian “bintang” itu menjadi sebuah misteri tersendiri buatku. Tak perlu ditanya mengapa, karena aku sendiri tak tahu mengapa.

Pojok Kamar, 23.10

* * *

Dorrr!!!!

Hehehe.....cerita diatas merupakan sebuah kisah yang terinspirasi setelah membaca Novel Galaksi Kinanthi yang diberikan oleh Mbak Fanny pada saat saya memenangkan lomba ini. Tak perlu berpanjang kata, langsung aja ya saya review ceritanya.

Novel ini mengisahkan tentang dua orang anak manusia, Ajuj dan Kinanthi. Semasa kecilnya, mereka adalah sepasang insan yang saling bersahabat. Ajuj merupakan anak dari seorang tokoh agama di dusunnya, sedangkan Kinanthi adalah anak perempuan dari seorang penjudi. Diketahui bahwa warga dusun memandang keluarga Kinanthi sebagai keluarga pembawa sial. Hal itu karena lantaran simboknya Kinanthi yang sudah empat kali berganti pasangan dan tiga dari suaminya itu meninggal dunia. Karena hal itu pula, akhirnya semua anak-anak di dusun enggan berteman dengan Kinanthi. Seorang bocah perempuan yang belum mengerti mengapa para warga sangat membenci keluarganya termasuk ayahnya Ajuj, tapi tidak dengan Ajuj nya.

Di tengah sikap para warga yang begitu membenci Kinanthi dan keluarganya, Ajuj malah justru hadir layaknya malaikat bagi Kinanthi. Hanya Ajuj lah yang mau berteman dan berbagi kisah dengannya. Bersama Ajuj, Kinanthi melewati hari-harinya dengan penuh ceria. Meskipun ia tak memiliki teman selain Ajuj, namun asal bersama Ajuj, ia seolah tak membutuhkan teman yang lain lagi. Ajuj selalu menemani dan melindungi Kinanthi, juga seorang bocah kecil bernama Hasto yang sering Kinanthi bawa-bawa dalam kebersamaannya bersama Ajuj. Kala warga tengah memperbincangkan kedekatan mereka, ada seorang nenek tua bernama Mbah Gogoh yang selalu membela dan memberikan mereka perlindungan saat mereka tengah terhimpit oleh keadaan.

Pada suatu malam, Ajuj pernah menunjukkan sebuah rasi bintang yang ada di langit, dan mengatakan pada Kinanthi bahwa di atas langit nun jauh di sana, ada sebuah galaksi yang tak pernah bisa dilihat dengan mata telanjang. Galaksi itu bernama galaksi cinta. Ajuj menamainya dengan nama itu. Galaksi itu hanya Ajuj dan Kinanthi yang tahu.

Seiring berjalannya waktu, pada saat Kinanthi lulus SD, orang tuanya dengan tega menjualnya dengan sepasang suami istri yang tinggal di Bandung. Mereka menukar dirinya hanya dengan 50 kg beras, dengan alasan kalau Kinanthi ikut dan tinggal bersama sepasang suami istri itu, maka kehidupannya akan lebih baik. Dalam janjinya, Kinanthi akan di sekolahkan di sana.

Awalnya Kinanthi menolak hal itu. Ia merasa dibuang oleh orangtua nya sendiri. Ia pun mencari perlindungan ke rumah Mbah Gogoh dan juga Ajuj. Disana ia meminta Ajuj untuk menolongnya agar ia tidak sampai dijual oleh orangtuanya sendiri. Namun Ajuj sendiri juga bingung apa yang bisa ia perbuat? Sedangkan ia juga anak-anak yang perkataannya mungkin tidak akan di dengar oleh orangtua Kinanthi. Sampai pada akhirnya, bapaknya Kinanthi membawa paksa anaknya itu untuk mau ikut bersama sepasang suami istri yang sudah “resmi” membelinya.

Kinanthi dipaksa masuk ke dalam sebuah mobil. Pada saat yang bersamaan, datanglah Ajuj sambil terengah-engah menghampiri rumah Kinanthi, namun sayang, mobil yang membawa Kinanthi, sudah hendak menjauh dari tempatnya berdiri. Sekuat tenaga ia berlari mengejar mobil itu namun sayang, laju mobil itu terlalu cepat untuk dikejarnya. Sebelum mobil itu menghilang. Ajuj dan Kinanthi sempat beradu pandang dan saling melambaikan tangan, bermaksud agar siapapun orangnya, mereka berharap jangan pernah memisahkan mereka. Mereka juga saling berteriak memanggil nama masing-masing. Namun takdir berkata lain. Pagi itu, adalah pagi terakhir Ajuj melihat Kinanthi, begitu pun sebaliknya, sebelum hampir dua puluh tahun kemudian, takdir kembali mempertemukan mereka dalam suasana yang berbeda.

Kisah Ajuj berhenti sejenak di situ. Sementara nasib hidup Kinanthi, terus berlanjut bak roda yang sengaja diputar di atas pecahan-pecahan beling yang mematikan. Selama bertahun-tahun sejak orangtuanya “menjualnya”, hidup Kinanthi tak pernah sebaik yang diharapkan orang tuanya. Awal “perjalanannya”, ia bermukim di Bandung bersama dengan sepasang suami istri yang tempo hari “membelinya”. Ia sempat disekolahkan disana dan sebagai gantinya, ia harus menjadi pembantu rumah tangga di rumah itu. Dalam waktu yang tak singkat itu, Kinanthi terus saja mengirimi Ajuj surat namun satu pun tak ada yang dibalasnya. Dua tahun berlalu hampir tiga tahun, hanya karena sebuah perkara yang tak pernah dilakukannya, Kinanthi akhirnya memulai hidupnya yang sangat “pahit”.

Ia harus mengalami siksaan demi siksaan yang dilakukan oleh majikannya. Ia pun tak sempat menyelesaikan SMP nya. Majikannya membawanya pergi ke Jakarta untuk disalurkan menjadi TKW di Arab Saudi. Di situlah kepahitan itu bermula. Sampai di Arab, Kinanthi selalu menemukan majikan yang ringan tangan. Memukulnya adalah sebuah hal yang sangat kecil yang dilakukan majikan-majikannya pada dirinya. Ia jadi terbiasa di cakar, di tempeleng, di caci maki, bahkan majikan laki-lakinya hampir semuanya pernah memperkosa dirinya. Ia sempat hamil namun keguguran. Pengembaraannya sudah menempuh Riyadh, Kuwait, dan terakhir adalah Amerika. Tempat yang mengubah dirinya 360 derajat.

Siksaan Kinanthi belum selesai sampai di situ. Awalnya, pada saat ia keluar masuk KBRI lantaran para majikan yang ringan tangan, tiba-tiba ada seorang majikan asal Arab yang hendak bermukim di Amerika dan mencari seorang pembantu. Pihak penampungan di KBRI menawarkan hal itu pada Kinanthi, ia pun langsung menyetujuinya. Meskipun hal itu sama artinya dengan membuat dirinya semakin jauh dengan laki-laki masa kecilnya, Ajuj.

Di Amerika, Kinanthi kembali memulai segalanya. Apa yang diharapkannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya. Keluarga yang ia ikuti sampai ke Amerika ternyata masih kerabat dari majikannya yang dulu pernah ia pukul kepalanya. Ia kembali mendapat siksaan lebih berat. Sampai akhirnya ia bisa kabur dari rumah majikannya dan bertemu dengan keluarga Arab yang tinggal di Amerika. Bersama keluarga itu, Kinanthi memulai hidup barunya. Kehidupannya mulai dicarikan keadilan. Sampai akhirnya ia menemukan titik terang dari perjalanan hidupnya yang selama bertahun-tahun terombang ambing itu. Pengadilan Amerika memutuskan untuk memberinya beasiswa untuk menuntut ilmu di sana, memberinya jaminan kesehatan seumur hidup, dan diberikan hak untuk tinggal dan bermukim disana.

Tiga belas tahun berlalu sejak saat itu. Meskipun kini ia telah benar-benar menemukan kebaikan dalam hidupnya, bayangan akan sosok Ajuj tak pernah lekang dari ingatannya. Meskipun kini ia telah berhasil menjadi profesor dan seorang penulis terkenal di New York, namun ingatan masa kecilnya selalu ia bawa kemanapun, khususnya Ajuj. Yang telah bersemayam dalam hatinya selama hampir dua puluh tahun.

Kisah hidupnya ia tulis dalam sebuah novel yang ia beri judul “Galaksi Cinta”. Tak lupa ia menyelipikan sosok Ajuj yang ia ubah namanya menjadi Jati dalam novelnya itu. Selama hampir dua puluh tahun meninggalkan Indonesia, keinginannya untuk bertemu dengan Ajuj mendorongnya untuk pulang ke Tanah Air. Ia ingin menyelesaikan kisahnya bersama Ajuj. Ia masih belum tahu apakah kisahnya itu akan berakhir pada suatu yang indah atau tidak.

Suatu hari ia pulang ke tanah air, tepatnya Gunung Kidul. Setelah perjalanan yang panjang, ia temui orangtuanya yang sudah sangat sepuh, adiknya yang sudah besar, para warga dusun yang dulu selalu mengejeknya dan kini terkagum-kagum melihat keadaan Kinanthi bak ratu sejagad, juga....Ajuj.

Pertemuan mereka pada saat itu bisa dikatakan sangat singkat. Ajuj yang menyampaikan wasiat Mbah Gogoh untuk Kinanthi sebelum ia meninggal, penuturan Hasto tentang Ajuj pada Kinanthi yang selalu mengajarkannya banyak hal, tentang kesalahpahaman Kinanthi terhadap Ajuj soal surat-surat yang dikirim olehnya selama puluhan tahun yang tak pernah dibalas oleh Ajuj, dan tak lupa tentang Galaksi Cinta itu.

Sampai puncaknya, saat Kinanthi hendak menutup kisahnya itu bersama Ajuj, dan balik lagi ke New York, sebuah gempa menghantam Yogyakarta. Semua kawasan rusak parah. Ajuj yang pada saat itu tengah berada di Gunung Gamping pun menjadi salah satu korban. Ia mengalami luka yang cukup parah menurut dokter. Pada waktu yang bersamaan, entah mengapa seolah Kinanthi tak ingin ia kehilangan Ajuj untuk yang kedua kalinya. Ia sangat ingin melihat Ajuj tetap hidup dan mengurungkan niatnya pulang ke New York.

Berbulan-bulan Ajuj koma. Semua biaya rumah sakit, Kinanthi yang menanggung. Sampai pada akhirnya ia memutuskan, untuk kembali ke New York karena ia tak mungkin terus-terusan menunggui Ajuj yang entah sampai kapan akan seperti itu. Namun semua pengobatan masih terus di usahakan olehnya.

Setahun sudah berlalu, namun Ajuj masih tetap koma. Tadinya orang tua Ajuj sudah pasrah dan menyuruh pihak rumah sakit untuk mencabut semua alat yang menempel ditubuh Ajuj. Mereka dan warga dusun juga menganggapnya sudah mati. Namun Hasto dan Kinanthi tetap kukuh bahwa Ajuj masih hidup dan masih harus tetap dirawat. Kinanthi berjanji akan secepatnya pulang ke Yogya jika launching novel Galaksi Cinta nya sudah selesai di New York.

Pada suatu malam, pada saat launching novel itu berlangsung, pada saat yang bersamaan pula seorang laki-laki asal Tibet yang sudah hampir lima tahun menjadi partner Kinanthi dalam bekerja, menyodorkan sebuah cincin padanya. Maksud hal itu adalah, agar Kinanthi mau menerima kenyataan bahwa mengharapkan Ajuj untuk kembali seperti sedia kala itu sangat tidak mungkin, dan agar ia mau mengganti sosok Ajuj dengan dirinya. Namun Kinanthi masih belum bisa menjawab apapun, sampai akhirnya ia mendapat kabar dari Hasto kalau Ajuj sadar dari komanya dan yang pertama dicari adalah dirinya, Kinanthi Hope, nama Amerikanya.

Seketika tubuhnya lunglai dan ia sudah tak dapat berkata-kata lagi. Ia langsung mencari sebuah rasi bintang di langit dan mencari dimana galaksi itu. Galaksi cintanya bersama Ajuj. Ia tersenyum, karena ia dapati Ajuj berada di sana. Wajah Ajuj benar-benar ada di galaksi cinta itu.

* * *
to be continue........