26 Januari 2012

Selamat Tinggal Ayah (Mengenang Almarhum Yusuf Sigit (2,5th), Korban Xenia Maut)

Ayah
terimakasih telah mengajakku ke Monas
aku belum pernah lihat Monas
senang sekali hatiku diajak ayah melihat Monas

Pagi itu aku digendong ibu
kita jalan bersama ayah, nenek dan bibi
pagi yang indah
cuaca pun cerah
kita berjalan bersama menuju Monas

Kita semua bahagia
jarang sekali kita bisa jalan-jalan seperti ini
ayah sibuk mencari nafkah
aku sudah lama rindu ayah

Ayah
tiba-tiba kita lihat mobil hitam itu
melayang dari depan
menggelinding menimpa kakak-kakak itu
lalu menimpa kita semua
aku pun terpental
terlepas dari pelukan ibu

Ayah
maafkan aku mendahuluimu
aku masih sangat ingin bersamamu
ingin bermain denganmu
ingin berlama-lama dalam pelukanmu
tapi Allah lebih menyayangiku
Allah menginginkanku pulang...

Ayah
terimakasih sudah berusaha keras menyelamatkanku
terimakasih sudah mencoba memberiku minum
terimakasih sudah memelukku dan menciumku
aku sayang ayah sampai kapanpun

Ayah
kita akan berjumpa kembali di alam yang jauh lebih baik daripada alam dunia

Sumber: http://www.populer.web.id/2012/01/selamat-tinggal-ayah-mengenang-almarhum.html

(Rizky, baik-baik di rumah ya sayang, jadi kangen :'( )

24 Januari 2012

Iri yang Memotivasi Diri

Iri, menurut saya tidak selamanya memiliki konotasi negatif. Karena menurut saya ada dua macam iri, yaitu iri yang melahirkan dengki, dan iri yang melahirkan motivasi. Iri yang melahirkan dengki adalah iri yang menunjukkan seseorang kalau ia memang tidak mampu melakukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh orang lain. Ia hanya bisa menggerutu melihat orang lain berbahagia dengan kesuksesan mereka. Mungkin sifat iri yang seperti inilah yang banyak melanda kebanyakan masyarakat kita, yang pada akhirnya berujung pada permusuhan, perkelahian, dsb.

Namun ada juga iri yang tidak melahirkan dengki, melainkan motivasi. Untuk saya pribadi, jujur iri yang seperti ini sangat saya butuhkan untuk dapat bergerak maju menjadi sosok yang lebih baik lagi dari hari ke hari.

Jika di postingan sebelumnya saya pernah membahas tentang Mas Boim yang menjadi pengisi acara di Studium Generale FLP Jakarta tanggal 15 Januari 2012 lalu, maka kali ini saya ingin sedikit bercerita kembali, namun kali ini bukan tentang sosok yang lain, melainkan tentang kekaguman saya dengan sosok tersebut. Ya, beliau adalah Mbak Asma Nadia, yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut. Ini adalah pengalaman pertama saya bertemu langsung dengan beliau. Kesan pertama yang saya tangkap dari pertemuan pertama kami adalah, beliau orang yang sangat tegas. Tercermin dari gaya bahasa dan cara bertutur yang beliau gunakan dalam acara tersebut.

Yang membuat saya kagum bukan hanya ketegasan beliau dalam menyampaikan materi tentang kepenulisan, tapi juga karena prestasi beliau yang menggunung. Sudah banyak karya yang beliau hasilkan, tidak hanya cerita-cerita fiksi melainkan merambah pula ke non fiksi. Puluhan buku sudah beliau telurkan dan yang paling mencengangkan, karena keputusannya memilih jalan menjadi seorang penulis itu, bisa mengantarkan beliau ke berbagai Negara. Jika tidak semua bisa dikatakan gratis, paling tidak kebanyakan dari perjalanan beliau itu gratis berkat karya-karya yang beliau hasilkan.

Berhenti sampai di sini, jika ingin membahas lebih banyak lagi tentang prestasi-prestasi beliau dari awal beliau merintis menjadi seorang penulis pemula sampai kini menjadi penulis idola, mungkin kita memiliki keterbatasan ruang dan waktu di media ini. Sekedar contoh saja, karya beliau dengan judul Emak Ingin Naik Haji dan Rumah Tanpa Jendela yang diangkat ke layar lebar sukses besar di pasaran. Rasanya tak perlu pembahasan lagi, sebab kenyataan sudah memberikan bukti siapa Mbak Asma Nadia itu.

Mengenal sosok beliau, apalagi sampai bisa berbincang dan berpoto langsung dengannya merupakan kebanggaan tersendiri buat saya. Saya mengenal Mbak Asma dulu sekali lewat serial Aisyah Putri-nya yang sampai sekarang laku keras. Namun porsi kekaguman saya terhadap beliau selalu fluktuatif, artinya kagum saya hanya sekedar angin lalu saja, atau bahasa kerennya”angin-anginan”:D

Namun setelah Allah memberikan kesempatan saya bertemu langsung dengan beliau, rasa kagum saya semakin memuncak, apalagi saat saya mengetahui seabreg prestasi yang telah beliau raih, sampai klimaksnya, saya merasa sangat iri terhadapnya. Sampai dalam hati saya membatin, “Kapan ya saya bisa sesukses Mbak Asma?” Rasa iri itu mulai menjalari setiap syaraf dalam tubuh saya. Sejak saat itu saya mulai bertekad, “Suatu saat saya pasti bisa seperti Mbak Asma.” Dan mulai merancang masa depan dengan segala potensi yang saya miliki.

Di sinilah iri itu mulai berperan. Saya mulai merindukan aktivitas “menulis” yang belakangan ini saya kesampingkan dulu demi menyelesaikan tugas akhir kampus. Entah mengapa rasa rindu itu semakin menjadi dan rasanya akan segera meledak jika tidak segera direalisasikan. Dan saya kembali teringat dengan rasa iri saya kepada sosok-sosok lain yang juga memotivasi saya untuk bergerak ke arah yang lebih baik.

Saya iri dengan Pakde Cholik yang bisa menjadi seleb di dunia perblogan, saya iri dengan Mbak Fanny yang mempunyai ide-ide kreatif demi menelurkan ratusan cerpen yang berkualitas, saya iri dengan Teh Orin yang juga memiliki ide-ide tema tulisan yang bagus, iri pula dengan Mbak Elsa yang berani memilih menjadi seorang entrepreneur dan juga pandai menjahit, dan ke-iri-iri-an lainnya yang semakin membuat saya tidak betah lama-lama berpangku tangan tanpa menghasilkan sesuatu yang bisa menjadi kebanggaan.

Namun motivasi saja rasanya tidak cukup jika tanpa disertai tindakan yang positif. Sambil menyusun rencana untuk ke depannya, ternyata waktu kembali membawa saya pada sebuah pemikiran, yang semoga saja pemikiran ini bisa selalu memotivasi saya untuk menjadi pribadi yang bisa membanggakan.

“Bukankah mereka semua yang saya iri-kan tidak lantas menjadi sosok yang seperti sekarang ini? Bukankah mereka juga melewati proses yang tidak sebentar dan tidak mudah? Mbak Asma sendiri menghasilkan buku pertamanya di usianya yang ke 27 tahun. Hingga sekarang beliau bisa sesukses ini – paling tidak itu penilaian pribadi saya – memerlukan waktu hampir sepuluh tahun untuk dapat berkarya dan terus berkarya dan menghasilkan tulisan dari yang biasa hingga luar biasa. Bukankah itu merupakan sebuah pencapaian yang tidak mudah? Dan dari situ saya mulai belajar untuk dapat selalu menikmati proses yang ada demi mencapai apa yang saya cita-citakan.

“Jika ingin menghibur diri dan mencari pembenaran – meskipun menurut saya ini adalah pembenaran yang salah :D – bukankah saya masih punya waktu untuk dapat mewujudkan cita-cita saya? Jika Mbak Asma saja mengeluarkan buku pertamanya di usianya 27 tahun, bukankah saya masih punya waktu kurang lebih 4 tahun untuk dapat menuju ke arah sana? Toh usia saya belum sepenuhnya genap 23 tahun :D Ya meski memang tidak ada yang tahu sampai kapan kita bisa bertahan di dunia ini, tapi paling tidak hal itu bisa menjadi sebuah target untuk saya pribadi.

“Bukankah Pakde Cholik bisa menjadi selebblog di usianya yang tidak lagi muda? Bukankah Mbak Asma bisa meraih semua kesuksesannya di usianya yang hampir menginjak kepala empat? Bukankah mereka sudah melewati beberapa generasi hingga sampai di generasi saat ini? Bukankah generasi saat ini adalah generasi - yang menurut mereka - merupakan generasi yang akan datang di masa mereka dulu? :D”

Imam Syahid Hasan Al Bana pernah mengatakan, “Mimpimu hari ini adalah kenyataan esok hari. Kenyataan hari ini adalah mimpimu hari kemarin.” Jadi, “Jika saya tidak bisa menjadi kebanggaan untuk generasi saat ini, paling tidak saya akan berusaha agar bisa menjadi kebanggaan untuk generasi yang akan datang.”

Mbak Asma saat berbicara di hadapan para calon anggota FLP angkatan ke 16

Saya dan Mbak Asma


Buku "Emak Ingin Naik Haji" merupakan kumpulan cerpen Mbak Asma

Tanda tangan Mbak Asma di buku "Emak Ingin Naik Haji" yang saya beli

Teman-teman baru saya di FLP Jakarta

18 Januari 2012

Sebuah Cerita di Akhir Pekan

Tampak depan bangunan itu masih sama seperti dua tahun lalu saya kesana. Ornament klasik dan kesan tua yang ditimbulkan oleh bangunan itu membuatku tak ingin berlama-lama tinggal di luar dan ingin segera memasukinya dengan langkah yang pasti. Bangunan yang diberi nama Museum Bank Mandiri itu adalah tempat sebuah acara yang saya hadiri tepat di akhir pekan kemarin dalam acara Studium Generale FLP Jakarta angkatan ke 16.

Dalam acara itu, saya sudah mengetahui bahwa akan hadir dua orang penulis terkenal yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat, terutama bagi mereka yang "doyan" baca. Mereka adalah Mas Boim Lebon dan Mbak Asma Nadia. Seiring waktu berlalu, saya yang pada kesempatan itu hanya datang sendirian saja, sudah mulai merasa nyaman berada di tengah-tengah komunitas baru. Bertemu dengan wajah-wajah baru dan berkenalan dengan teman-teman baru.

Sesi pertama diisi oleh Mas Taufan E. Prast selaku moderator dan Mas Boim Lebon sebagai pembicara. Oia, sedikit informasi, Mas Boim Lebon adalah penulis buku serial Lupus bersama temannya Hilman. Beliau mengawali perbincangan saat itu dengan memperkenalkan dirinya terlebih dahulu. Nama asli beliau adalah Sudiyanto bin Pandi bin Karyokromo. Entah karena apa sehingga teman-temannya memanggilnya dengan sebutan “Boim”. Menurut penuturan beliau kala itu, nama Boim merupakan singkatan yang artinya bocah imut. Hehehe…entah filosofi darimana sehingga beliau dijuluki si Bocah Imut. Namun “Imut” nya pun merupakan singkatan yaitu “Item Mutlak”. Hahaha….saat beliau berucap seperti itu, sontak semua peserta yang hadir kala itu tertawa berjamaah. Ya, kalau “Imut” nya memiliki singkatan seperti itu, saya mulai setuju dengan singkatan “Bocah Imut” untuk Mas Boim, karena itu bukan merupakan sebuah fitnah :D

Masih dengan kisah yang sama, Mas Boim menuturkan bahwa yang mempunyai ide membuat buku Lupus adalah Hilman, teman semasa SMA nya dulu. Mas Hilman selalu mengamati tingkah polah teman-temannya hingga akhirnya terbentuklah beberapa tokoh karakter dalam serial Lupus-nya yang memang beliau angkat dari karakter-karakter para sahabatnya. Yaitu Boim dan Gusur.

Mas Boim menjelaskan, bahwa kenapa tokoh Boim dalam kisah Lupus dibuat sedemikian rupa sehingga membuat karakter Boim sangat melegenda di kalangan para cewe-cewe pada masa itu, sebab menurut penjelasan Mas Boim, dulu beliau adalah seorang playboy cap Duren Tiga. Mengapa demikian? Begini menurut penjelasan beliau. Biasanya, seorang playboy itu identik dengan wajah yang tampan, tubuh yang tegap, intelektual yang tinggi, dsb. Namun kala itu, Mas Boim ingin menunjukkan bahwa seorang “Bocah Imut” seperti beliau pun bisa menjadi playboy. Dan ternyata terbukti bahwa beliau bisa!! Ya, bisa kena malu!! Karena setiap kali ‘nembak’ cewe selalu ditolak!! Hahaha…..sekali lagi kami tertawa mendengar Mas Boim bertutur seperti itu. Dan kenapa dikatakan playboy cap Duren Tiga?? Karena pada masa itu, Mas Boim selalu membawa korek api batangan yang bercap Duren Tiga :D

Meskipun demikian, Mas Boim tak pernah patah arang. Beliau selalu ingin menunjukkan bahwa dirinyapun bisa menjadi idaman para cewe-cewe di sekolahnya. Kemarinpun, Mas Boim mengaku bahwa dirinya memang selalu dikejar-kejar wanita. Pada saat itu kami belum bisa menebak mengapa beliau berkata seperti itu. Sampai akhirnya beliau melanjutkan ucapannya, bahwa beliau dikejar-kejar oleh wanita yang matanya somplak, yang agak-agak “miring”, dan tidak waras. Hahaha kami terus saja tertawa dibuatnya. Tidak sampai di situ, Mas Boim juga mengaku, dahulu kala pernah berusaha nembak cewek, tapi Mas Boim tidak pernah merasa aneh jika semua cewek yang ditembak selalu menolaknya. Beliau mencontohkan, "Hai Sinta, aku suka nih sama kamu. Kamu mau ga jadi pacarku?" Sinta menjawab, "Duh, maaf ya…..", "Oh, ga papa, saya udah tau kok jawabannya. Kamu nolak saya kan? Hal yang wajar kok buat saya. Kalo kamu terima saya tuh baru namanya gak wajar." Hahaha….Mas Boim….Mas Boim…

Udah gitu kata Mas Boim, setiap kali beliau berusaha nembak cewe, pasti yang nolak dua orang. Kenapa? Karena setiap kali dia baru mengutarakan keinginannya, pasti teman si cewek udah bilang gini, "Jangan mau sama dia…." Hehehe. Lalu setiap perempuan di sekolahnya yang pernah beliau 'tembak' ujung-ujungnya pasti menjadi wanita shalihah. Kenapa pulak? Karena setiap kali cewek itu di 'tembak' beliau, pasti teman si cewek bilang gini juga, "Makanya, elu sih jarang ngaji, jarang sholat, jadi banyak setan yang deketin tuh." Trus kata si cewek, "Iya deh, mulai besok gw bakal rajin sholat ama ngaji…" :D Mas Boim juga bilang, katanya kalo beliau lewat di depan cewek-cewek, pasti mereka pada berta'awudz dan beristighfar (Hahaha entah ini kisah nyata atau bukan ya? :D)

Jaman dulu, Mas Boim juga pernah buat geng loh, namanya Kabel. Ada singkatannya tuh, yaitu Geng Kelompok Anak Belakang. Senangnya duduk di belakang, karena setiap guru bertanya, yang ditanya adalah anak-anak yang ada di depan dan tengah, jarang si guru bertanya ke anak-anak yang ada di belakang. Baru mengacungkan jari, si anak depan udah jawab, baru mengacungkan jari, si Guru udah nyuruh anak depan menjawab. Selain itu, nama geng beliau adalah Arel Sodik. Maksudnya, Anak Rel Sonoan Dikit :D

Lanjut ke kisah Gusur. Pemuda bertubuh tambun ini sangat suka berpuitis. Kemarin, Mas Boim mencontohkan bagaimana kala si Gusur selalu menerapkan sifat puitisnya setiap saat, kapanpun dan dimanapun.

Teman A : Mau kemana lu Sur?
Gusur : Wahai kawanku, kala matahari sudah nampak di atas sana, sesungguhnya aku ingin ke kantin (hehehe)
Teman : #@%^**(%^%

Teman B : Eh Sur, mau kemana Lu?
Gusur : Wahai sahabatku, bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku ingin ke kantin (guling2 =)))

Mas Boim kembali mencontohkan bagaimana kalau Gusur berinteraksi dengan istrinya,

Gusur : Duhai istriku, apakah gerangan yang akan kau masak? Bisakah kau menyatukan hijau dedaunan itu dengan indahnya warna keemasan dari sinar matahari yang bersinar cerah? Yang bersatu dalam senada beningnya air kesejukan? (intinya mah minta bikinin sayur bayem campur jagung manis, dan kami tak bisa menahan tawa :D)
Istri : Ngomong apaan sih?? @%$^&

Pernah di satu kesempatan, Mas Boim dan Gusur pergi ke kantin bersama. Kala si Gusur menghampiri tukang somay, si tukang berkata, “Maaf, somay udah abis”. Dan kala ia menghampiri tukang mie ayam, si tukang berkata,”Maaf, saya udah mau tutup.” Hehehe para penjual itu hanya tidak ingin si Gusur memesan makanan mereka dengan gayanya yang puitis sebab itu akan memperlama kerjaan mereka :D

Hanya satu yang Mas Boim harap, Gusur tidak memakai sifat kepuitisannya pada saat terjadi bencana. Kemarin, Mas Boim mencontohkan bagaimana kalau misal Gusur berpuitisasi pada saat bencana. “Wahai kalian, ombak bergulung-gulung di lautan, gunung terguncang tidak karuan, petir menggelegar bak rayuan malam, cepatlah menghindar karena….." belum selesai cerita Mas Boim, tapi kami semua sudah dibuat ngakak tingkat nasional.

Kembali ke kehidupan Mas Boim yang tidak tahu kenapa, akhirnya kini beliau menemukan potensinya pada dunia tulis menulis. Dulu, jauh sebelum mengenal potensi kepenulisannya, beliau sempat mencari-cari di mana potensinya hilang. Mungkinkah digondol kucing garong? Atau dibawa lari tikus got? Atau dimakan tokek belang? Atau disembunyikan oleh kadal buntung? Beliau berusaha mencari ke pantai, hutan, dan lautan, tetap tidak beliau temukan. (lebay :D)

Awal mula beliau mencari potensi dirinya, beliau menuturkan kalau beliau pernah mengikuti ekskul bola basket. Hanya saja hal itu tidak berlangsung lama, dalam penjelasannya, kata beliau, setiap kali beliau bermain basket, "Nggak pernah dapet bola!!" hahaha ya jelas aja, orang yang lain tinggi-tinggi, sedangkan Mas Boim?? Ups… :D "Akhirnya…." Lanjut beliau, "Pada saat bola datang, saya cuekin aja." Dia bilang, "Tadi pas gue kejar-kejar lu gak mau nyamperin, sekarang giliran gue diem, lu kejar-kejar…" Tawa itu lepas kembali dari sangkarnya……

Merasa tidak menemukan potensinya di bidang olahraga, Mas Boim banting setir menjadi anggota pecinta alam. Kebiasaan mereka adalah "Naik Gunung". Namun sayang, belum juga sampai ke puncak, Mas Boim sudah kehabisan nafas dan pada akhirnya gugur di tengah jalan. Kalaupun naik gunung, kata beliau pernah, yaitu Gunung Sahari, hahaha. Kami tak hentinya tertawa.

Setelah merasa buntu menggeluti bidang olahraga dan pecinta alam, akhirnya Mas Boim pindah jalur. Kali ini lebih ekstrim, mencoba peruntungan menjadi model!! Wuisss…..beliaupun akhirnya mengirimkan biodata serta pas foto tampak depan, belakang, dan samping kanan kiri. Setelah menunggu sehari, sepekan, dan beberapa waktu lamanya, akhirnya pihak agen menghubungi Mas Boim. Yang beliau tahu, bagi mereka yang biodatanya tidak diterima, maka pihak agen tidak akan menghubungi, tapi jika diterima, maka pihak agen akan menghubungi. Nah, berhubung Mas Boim dihubungi oleh pihak agen, maka beliau senang bukan main. Itu artinya beliau diterima. Begitu menurutnya.

Namun sayang, siapakah yang bisa menebak takdir?? Ternyata oh ternyata, sesampainya di sana, Mas Boim malah dinasehati untuk tidak melakukan kesalahan di lain hari. Bahkan pihak agen memanggilkan ustadz agar Mas Boim cepat taubat. (hahaha…..kami mulai tertawa kembali. Entah ini kisah nyata beliau atau hanya sekedar kisah lucu yang beliau karang, namun kami hanya bisa tertawa mendengar penuturan beliau). Tidak berhenti sampai di situ, "Sebelum pulang dengan perasaan kecewa, eh pulangnya dikasih kaca." Lanjut Mas Boim sambil mengulum senyumnya. Kamipun ikut tertawa. Kali ini lebih keras :D

Ahhh…jadi pemain basket nggak, pecinta alam juga bukan, apalagi model yang jelas-jelas malah disuruh tobat. Cappek dehhh…..akhirnya pada saat sekolah Mas Boim mengadakan sebuah teater, di sinilah Mas Boim menemukan potensi aslinya. Ternyata naskah drama yang beliau ajukan ke pihak sekolah dan diikutsertakan dalam lomba, akhirnya terpilih menjadi juara 3. Jreng…jreng….jreng….Boim muda akhirnya menemukan jati dirinya yang hilang. Yaitu sebagai seorang penulis dan jurnalis.

Ah, mungkin karena rasa humornya yang selalu meremaja, sehingga Mas Boim tak habis-habisnya memiliki gagasan untuk selalu membuat tulisan-tulisan yang meremaja pula, meski usia semakin termakan senja. Rasanya tak puas jika mengenal Mas Boim hanya sebentar. Semoga di pertemuan yang akan datang, masih banyak cerita dan pengalaman yang akan beliau bagikan pada saya dan anggota FLP Jakarta lainnya.

Bagi yang belum tahu seperti apa Mas Boim Lebon, ini dia:

saat jadi pembicara pada acara Studium Generale FLP Jakarta 15/01/12


“Nurlaila Zahra a.k.a Sarah berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi-Jeng Nia, disponsori oleh Jeng Anggie, Desa Boneka, dan Kios108

16 Januari 2012

Melapangkan Hati dengan Berpikir Positif

(Mencoba mengambil banyak hikmah dari kemacetan)

Sekali lagi perempuan paruh baya itu membasuh peluhnya yang mengalir dari pelipis kanannya. Namun peluhnya kali ini bukanlah peluh yang tak memiliki arti. Ia membasuh peluhnya itu dengan penuh rasa senang di hati. Bukan lain karena hari ini hasil penjualan minuman dinginnya di pertigaan lampu merah melebihi pemasukannya beberapa hari terakhir. Ia cukup bersyukur karena orang-orang yang terjebak macet di jalan banyak yang membeli minuman dingin padanya untuk melepas dahaga di tengah penatnya kemacetan.


* * *

Di dalam mobil Avanza berwarna hitam itulah sepasang suami isteri itu akhirnya memutuskan untuk menghilangkan ego masing-masing yang membuat rumah tangga mereka hampir saja kandas di tengah jalan. Tangisan anak mereka yang memecah di tengah kemacetan telah membuat mereka menyadari bahwa mempertahankan ego itu bukanlah hal yang benar, malah justru akan membuat hidup mereka hancur, terutama mengorbankan kebahagiaan anak mereka.

* * *

Kulit kerutnya memang tidak bisa membohongi kenyataan kalau ia sudah sangat tua. Seorang perempuan muda yang tengah menaiki motor matic di hadapannya ternyata telah terjebak kemacetan selama beberapa menit. Dan ternyata hal itu menggerakan hatinya untuk memberikan sesuatu pada pengemis yang ada di hadapannya. Jelas hal itu sungguh membuat kerut di wajah sang pengemis itu mengembang cukup lebar. Bagaimana tidak, sepagian ia duduk di pinggir jalan, namun baru sore ini ia mendapatkan lembaran rupiah yang ia harapkan sejak mentari terbit. Dan ia bersyukur akan hal itu.

* * *

Ahhh….musim liburan yang belum lama ini berakhir ternyata berdampak kemacetan bagi sebagian jalan-jalan utama di Jakarta, tak terkecuali akses jalan yang melintasi kantor saya yang berujung di Kebun Binatang Ragunan. Alhasil ketika pulang kerja, kemacetan itu sukses membuat saya dan teman saya berjalan kaki sekitar 1 km dalam beberapa hari terakhir liburan untuk menghindari kemacetan dan mendapatkan angkot yang tidak melulu penuh. Ternyata hal itu tidak terlalu menyebalkan untuk saya dan teman. Karena dalam “jalan-jalan sore” itu kami dapat menceritakan banyak hal dan tertawa bersama sambil menikmati udara sore yang jarang kami rasakan secara "utuh" jika kami langsung naik angkot dari depan kantor.

Selain itu, “jalan-jalan sore” itu juga banyak memberikan kami pelajaran, terutama tentang kesabaran dan keikhlasan. Sabar menanti angkot yang kosong, sabar menikmati kemacetan yang tak kunjung hilang, dan ikhlas jika beberapa hari itu kami harus jalan sepulang kerja. Dan ternyata, kemacetan beberapa hari itu telah mengajarkan pada saya, sang teman, dan mungkin kepada kita semua bahwa kemacetan tidak selamanya merugikan semua orang. Kita bisa lihat ketiga contoh di atas yang telah dipaparkan. Dan sebagian contoh itu mungkin saja pernah menghiasi kondisi macet yang kita alami. Sebagian kita mungkin menganggap bahwa macet merugikan banyak pihak. Namun jika kita mau berpikir positif, ternyata kemacetan juga bisa membawa “keuntungan” bagi sebagian yang lain. Namun lain halnya jika yang membuat kemacetan adalah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti supir-supir kopaja atau metromini yang seenaknya mengambil jalur kendaraan lain. Mungkin masing-masing kita punya caranya sendiri untuk membuat hal itu terminimalisir.

Hal di atas, mungkin sama halnya ketika tahun baru tiba yang belum lama ini kita lalui. Sebagian kita mungkin menganggap bahwa perayaan tahu baru itu tidak penting bahkan sampai ada yang anti dengannya. Mau dirayakan atau tidak, tetap saja tahun akan memasuki usianya yang baru. Sebagian kita mungkin akan merasa terganggu dengan bising dan berisiknya suasana yang diciptakan oleh kemeriahan tahun baru, termasuk juga timbulnya kemacetan di mana-mana. Namun pernahkah kita berpikir bahwa dibalik perasaan terganggu kita itu, ternyata ada sebagian lain yang merasakan keberkahan di tahun baru? Ya, mereka adalah para penjaja kembang api, penjual makanan dan minuman siap saji, penjual arang, penjual jagung, dsb. Mungkin saja momen-momen seperti itulah yang selalu mereka tunggu-tunggu untuk bisa pulang dengan membawa uang yang lebih untuk keluarga mereka.

Sekali lagi, berpikir positif ternyata tidak terlalu membuat kita susah. Tapi malah justru kembali menimbulkan rasa syukur yang terdalam kita karena di tengah ketidaksukaan kita terhadap sesuatu, ternyata hal itu justru memberikan sebuah keberkahan bagi sebagian yang lain. Dan bersyukurlah, karena kita masih bisa menikmati semua itu, meskipun tidak dengan porsi yang sesuai dengan keinginan kita. Yang penting masih bisa menikmati. Itu intinya :) Karena berpikir positif akan melahirkan sebuah kelapangan hati yang tiada terkira.

4 Januari 2012

Cintailah Apa Adanya

Dikutip dari kisah sebuah buku berjudul "Ya Allah, Aku Jatuh Cinta"

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian. ”Mengapa?” dia bertanya dengan terkejut. ”Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan.”

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya. ”Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?”

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, ”Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya: seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?” Dia termenung dan akhirnya berkata, ”Saya akan memberikan jawabannya besok.”

Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan...

”Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

”Kamu bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC nya dan akhirnya menangis di depan monitor, saya harus memberikan jari-jari saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya.”

”Kamu sering lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.” ”Kamu suka jalan-jalan keluar kota, tapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk mengarahkanmu.”

”Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ’teman baikmu’ datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.” ”Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu khawatir kamu akan menjadi ’aneh’. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.” ”Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu.”

”Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.”

”Tapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku”

”Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu.”

”Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tapi saya tetap berusaha untuk membaca, ”Dan sekarang, sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawabanmu.”

”Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia.”

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.