Sampai
saat ini Bhirawa tidak mengerti dengan hati kecilnya. Bagaimana mungkin seorang
kapten sepertinya bisa memendam sebuah perasaan sampai sebegitu dalamnya? Ia sungguh-sungguh
tak menyangka. Waktu sembilan tahun ternyata tak mampu mengusir kenangan masa
lalunya saat SMA. Surat cinta yang terbingkai rapi dan terpajang di dinding kamarnya
- setelah dulu pernah dikembalikan oleh seseorang yang namanya tertulis di sana
– ternyata tak pernah mampu untuk merontokkan sisa-sisa cintanya.
Dan hari
ini, ia harus bertemu dengan sosok yang namanya selalu ia tanam di taman
hatinya, dalam sebuah acara reuni sekolahnya - SMA 1 Surabaya - yang tak pernah
ia datangi sejak sembilan tahun silam. Mulutnya kelu dan jantungnya berdegup
kencang seperti tabuhan genderang. Sementara di hadapannya kini ada Kinanthi,
seorang wanita yang namanya pernah terukir dalam surat cinta yang dulu dikembalikan
olehnya, mungkin – menurut Bhirawa – karena ia lebih memilih laki-laki lain
yang kini telah beruntung menjadi suaminya. Bagi Bhirawa, Kinanthi adalah
wanita yang sederhana. Tak peduli waktu telah memangkas usianya, namun
kesederhanaan itu yang membuat Bhirawa masih setia hidup melajang sampai
sekarang. Kesederhanaan yang tak dimiliki oleh wanita manapun selain Kinanthi.