
Terakhir, sebelum saya memutuskan untuk menulis artikel ini, saya sempat menaiki angkot berwarna biru jurusan Pasar Minggu – Mekar Sari pada waktu malam. Ketika angkot berjalan perlahan, awalnya tak ada perasaan apapun, namun setelah beberapa lama roda angkot melaju, ada sebuah ketakutan tersendiri dalam hati, entah dengan penumpang yang lain.
Ketakutan itu bukan lantaran di dalam angkot ada seorang yang dicurigai sebagai copet or penjahat, melainkan karena si supir angkot membawa mobilnya secara ugal-ugalan. Hmm…sepanjang jalan saya hanya bisa berdzikir dalam hati semoga angkot yang saya tumpangi tidak mengalami apa-apa lantaran tidak mengindahkan budaya tertib di jalan raya.
Ditengah kondisi yang tegang itu, tiba-tiba saya kembali berfikir, selama ini setiap kali naik angkot, selalu saja hati saya ketar-ketir cemas lantaran kalau-kalau angkot yang saya tumpangi menyerempet mobil atau motor orang lain atau mungkin seorang manusia yang disenggolnya, karena saking cepat lajunya dan seolah tanpa perhitungan dalam menjalaninya.
Astaghfirullah….rasanya kok ya aneh, saya rasa hampir semua supir angkot bertipikal seperti itu. Buru-buru dan tidak sabaran. Padahal kalau boleh jujur dan ingin sekali saya sampaikan pada mereka, bahwa yang mereka bawa adalah sekelompok manusia dan bukan sekumpulan ikan teri. Kalau mereka tidak mengindahkan keselamatan dirinya dan orang lain, maka keselamatan seolah menjadi sebuah barang yang langka karena nyawa manusia lah yang menjadi taruhannya.
Dan semalam pun saya sempat mempunyai pikiran, bahwa kalau begini ceritanya, maka saya pun mungkin harus “menutup mata” jika ingin menaiki sebuah angkot. Yakin saja pada Allah bahwa saya dan penumpang yang lain akan baik-baik saja sampai tiba di tempat tujuan. Bukan apa-apa, tapi mungkin karena supir2 angkot merasa bahwa dirinya sudah handal dalam menyetir sehingga tidak perlu lagi memakai norma-norma budaya tertib dalam berkendara, maka saya pun perlahan sudah harus terbiasa dengan kondisi seperti itu. Pastinya tanpa terlepas dari berserah diri pada Allah bahwa hidup dan mati hanya hak prerogatif dari-Nya.
Artikel ini di ikutsertakan dalam kontes Aduk Pakde Cholik di Blogcamp
Artikel ini di ikutsertakan dalam kontes Aduk Pakde Cholik di Blogcamp
Pojok kamar, 22.12