5 Agustus 2011

Kado Kecil untuk Pak Sabar


“Pokoknya saya nggak mau tau, proyek ini harus berhasil seperti apa yang saya harapkan. Dalam waktu 2 X 24 jam, kalian semua sudah harus menyerahkan konsep proposal proyek ini pada saya.”

Semua karyawan yang mengikuti meeting siang itu hanya dapat diam sambil menyimpan segala unek-unek mereka di hati. Ya, unek-unek pada seorang bos yang diktator seperti Ferdy Darmawan.

“Ah...sial! Apa-apaan ini?!” Tiba-tiba semua mata tertuju pada seorang office girl yang tengah dihujani omelan pedas oleh sang bos, Ferdy yang diktator. Alasannya mungkin tak seberapa, office girl itu tanpa sengaja menumpahkan secangkir kopi pada lengan baju Ferdy.

“Kalo kerja yang becus dong, gimana sih kamu?” Ferdy terus saja menumpahkan amarahnya pada office girl yang hanya bisa mengucapkan kata “maaf” dari bibirnya yang terus bergetar itu. Semua karyawan yang ada di ruang rapat tampak berbisik-bisik satu sama lain, sementara sang office girl masih tetap berdiri di samping Ferdy sambil menunduk dan tubuh yang menggigil menahan rasa takutnya.

“Meeting hari ini selesai. Saya muak dengan semua kinerja kalian yang nggak becus itu!” Langkah kaki Ferdy kemudian menjadi hal paling akhir yang di dengar semua orang yang ada di ruang rapat. Semuanya menjadi ribut. Sikap Ferdy yang diktator itu menjadi topik utama yang diperbincangkan oleh hampir semua bawahannya.
* * *
“Mau pesan apa pak?” Tanya seorang perempuan muda belia pada Ferdy yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

“Hah? Hmm...soto betawi aja deh.” Jawab Ferdy yang terdengar tak sepenuhnya menginginkan makanan itu. Perempuan muda tadi langsung meluyur ke belakang, tempat mengolah berbagai makanan di rumah makan itu. Sementara Ferdy masih dengan pikirannya sendiri. Ia masih sibuk membersihkan lengan bajunya yang kotor terkena tumpahan kopi tadi, menggulungnya ke atas, lalu menarik sehelai tisu dari tempatnya dan mengelapkannya pada meja yang ada di hadapannya.

“Sendirian aja Nak?” Tanya seorang bapak tua berseragam coklat yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Ferdy. Yang ditanya pun hanya mengangguk lirih. Ia kembali mengelapkan tisu ke meja yang sudah agak bersih.

“Soto betawi disini enak loh. Terkenal dengan ayamnya yang empuk. Hehehe.” Bapak tua itu terkekeh pelan, menyertai kata-katanya yang basa basi tadi. Ferdy sendiri masih diam termangu, tak mengerti dengan sikap bapak tua itu yang tiba-tiba sok akrab dengannya. ia hanya menyunggingkan senyum yang dipaksakan.

Beberapa waktu lamanya bapak tua tadi asyik sendiri menyantap soto betawi miliknya. Tampaknya ia begitu nikmat menyantapnya. Dalam hati Ferdy bertanya, “Sebenarnya siapa bapak tua ini? Seperti nggak ada beban di bahunya. Semuanya begitu nikmat ia rasakan.”

“Soto betawinya pak.” Suara perempuan belia tadi kembali memenuhi rongga telinga Ferdy. Ia datang dengan semangkuk soto betawi, sepiring nasi hangat dengan bawang goreng di atasnya, dan segelas air putih hangat.

“Silahkan pak.” Perempuan belia itu segera mempersilahkan Ferdy untuk makan. Ferdy hanya mengangguk lirih. Tiba-tiba anggukan itu diiringi dengan suara berat bapak tua yang ada di sampingnya, “Makasih ya Nduk.” Perempuan belia yang memang seperti orang Jawa itu langsung mengangguk dan tersenyum. Bapak tua itu pun melemparkan senyumnya pada Ferdy saat ia tahu kalau Ferdy tengah memperhatikan dirinya.

“Ayo dimakan Nak.” Lanjut bapak tua itu, tak lupa dengan senyumnya. Beberapa menit berselang, mengisi kekosongan waktu yang semakin bergulir.

“Kerja di mana Nak?” Tanya bapak tua itu akhirnya mengawali perbincangannya dengan Ferdy. Sontak, Ferdy pun terkejut mendengarnya, “Hmm...di PT. Arsindo Building...” Jawab Ferdy, lirih. Entah mengapa, tiba-tiba ia ingin sekali melemparkan pertanyaan yang sama pada bapak tua itu.

“Nama kamu siapa Nak?” Tanya bapak tua itu lagi, menghentikan sejenak mulut Ferdy yang hendak bertanya hal serupa dengan pertanyaan bapak tua itu sebelumnya.
“Ferdy, Pak.” Kali ini suara Ferdy lebih bersahabat.
“Bapak sendiri, siapa?”
“Saya Sabar.”
“Dilihat dari pakaian yang bapak pakai, sepertinya bapak guru ya?”
Bapak tua yang dikenal dengan nama Pak Sabar itu hanya tersenyum. Senyumnya seolah menjawab pertanyaan Ferdy kalau dia memang seorang guru.
“Mengajar di sekolah mana Pak?”
“SDN 07 Rawamangun.”
Sejurus kemudian, obrolan dua insan beda generasi itu pun mengalir bagai air. Dari membicarakan secara umum kehidupan mereka masing-masing, sampai akhirnya Ferdy seolah merasakan siraman air segar dalam hidupnya.

“Udah berapa lama bapak berprofesi sebagai guru?” Pak Sabar hanya tersenyum simpul. Entah sudah keberapa kalinya pertanyaan ini dilontarkan oleh setiap orang yang diajaknya berbincang. “28 tahun.” Jawab Pak Sabar tiba-tiba terdengar agak serak. Seperti ada isak yang ia tahan di sana. Untuk selanjutnya, tanpa ditanya, Pak Sabar menuturkan setiap pengalamannya selama 28 tahun mengajar.

“Dari sebelum bapak menikah, bapak sudah menjadi guru. Pada saat itu statusnya masih honorer. Setahun setelah menikah, barulah bapak diangkat menjadi guru tetap di SD tempat bapak mengabdi hingga kini.”
“Kenapa memilih menjadi guru Pak?”

Hening sejenak. Pak Sabar mengalihkan pandangannya jauh ke depan. Ia mulai bersuara, “Bapak menjadi guru, sebenarnya bukan karena tak ada pilihan pekerjaan lain, tapi karena memang dari kecil, bapak ingin sekali menjadi guru. Karena jasa seorang guru, seorang presiden bisa memimpin rakyatnya, terlepas dari sifatnya yang baik atau buruk. Karena jasa seorang guru pula, seorang dokter bisa menyembuhkan pasiennya, tanpa terlepas dari takdir bahwa hidup dan mati seseorang adalah hak prerogatif dari Allah.

“Mengajar adalah sebuah kegiatan yang sangat mulia. Meskipun banyak orang yang memandang sebelah mata profesi seorang guru, tapi bapak tetap bangga dengan pekerjaan bapak. Mungkin Nak Ferdy bertanya-tanya, apakah profesi ini memiliki masa depan yang cerah atau tidak...”
Ferdy tersenyum di tengah keseriusannya mendengar penuturan Pak Sabar.

“Selama 28 tahun bapak ngajar, Alhamdulilah bapak masih bisa mencukupi kebutuhan hidup isteri dan dua anak bapak. Ya....meskipun selama ini hanya hidup pas-pasan yang bapak tawarkan kepada mereka, tapi bapak yakin mereka selalu ikhlas menerima semuanya. Sebenarnya asal kita ikhlas dalam melakukan segala hal, semuanya pasti akan terasa mudah.”

Pak Sabar diam sejenak, menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan. Ferdy pun hanya diam tanpa bergeming. Rupanya ia sudah mulai hanyut dalam cerita Pak Sabar.

“Selama bapak mengajar, sebetulnya bukan hanya para murid bapak saja yang belajar, tapi bapak pun juga demikian.”

Ferdy semakin serius mendengarkan. “Karena dengan mengajar, kita akan banyak belajar.” Ferdy langsung mengerutkan keningnya. “Dengan mengajar, bapak belajar mengelola emosi secara bijak, karena karakter murid yang bapak temui semuanya beda-beda. Dengan mengajar pula, bapak belajar cara menghadapi mereka sesuai dengan karakternya. Dengan mengajar, bapak mendapatkan apa yang dari dulu bapak cita-citakan. Bapak sangat senang ketika melihat murid yang bapak ajar dulu, kini sudah sukses dengan kehidupannya. Bukan masalah besar buat bapak saat mereka seolah melupakan bapak, asal melihat mereka sukses dan bahagia dalam hidupnya saja, itu sudah membuat bapak bangga.

“Uang bukan prioritas bagi bapak, meski memang tanpa hal itu, nasib para guru pasti tidak akan sejahtera. Tapi ada satu hal yang lebih penting dari itu, yaitu pahala. Orangtua bapak yang juga seorang guru, dulu pernah berkata pada bapak, ‘mengajar itu ibarat seorang petani. Pekerjaannya adalah yang berkaitan dengan sawah. Sesuatu yang pasti ia dapat adalah beras yang dihasilkan dari padi-padinya, tapi ketika ia menemui ikan atau belut saat ia tengah bersawah, maka itu adalah bonusnya’. Nak Ferdy mengerti apa maksudnya?”

Ferdy menggeleng pelan. Ia tak mengeluarkan suara sama sekali, seperti tersihir oleh kisah hidup Pak Sabar yang semakin lama seolah semakin seru saja.

“Maksudnya, ketika kita mengajar secara ikhlas, maka yang pasti kita dapatkan adalah pahala dari Allah, sama seperti petani yang pasti akan mendapatkan beras dari padi-padinya. Nah, gaji kita dari mengajar itu diibaratkan sebagai bonus, sama seperti ikan atau belut yang di dapat petani tadi. Bukan berarti kita ikhlas mengajar tanpa di bayar, karena secara profesionalitas, kita memang berhak menerima gaji dari setiap pekerjaan kita. Hanya saja, jika ditambah embel-embel ikhlas, maka semuanya akan menjadi berkah.”

Ferdy menyelinginya dengan pertanyaan, “Yang dimaksud dengan ikhlas itu sendiri apa Pak?”

“Ikhlas itu, kalau kita ridho dengan semua ketetapan yang sudah Allah gariskan untuk kita. Melaksanakan setiap tanggung jawab dengan sepenuh hati dan tanpa beban. Bukan semata-mata materi yang menjadi barometernya.”

Jawaban Pak Sabar seolah seperti pisau runcing yang tiba-tiba menelusuk ke dalam dada Ferdy. Ia benar-benar merasa amat kecil kala itu. Pak Sabar mulai menghentikan ceritanya. Ia menyeruput sisa teh yang sudah tak hangat lagi dalam gelasnya. Setelahnya, ia seperti menyeka sebuah butiran bening di ujung matanya.
“Bapak kenapa?” Tanya Ferdy ingin tahu. Pak Sabar hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Apa yang sedang bapak pikirkan?” Desak Ferdy seolah memaksa Pak Sabar untuk menjawabnya.
“Bulan depan, anak bapak di wisuda....”
“Bagus dong Pak kalau begitu, selamat ya. Tapi, kenapa bapak jadi murung begitu?”
“Bapak dan isteri bapak memang sangat senang Nak, tapi...” Pak Sabar memutus perkataannya.
“Tapi apa Pak?”
“Ah sudahlah Nak. Sudah menjelang sore, bapak harus segera pulang. Isteri bapak sudah menunggu di rumah.”

Ferdy seperti bingung dibuatnya. Ia sebenarnya sudah mulai menikmati obrolannya dengan Pak Sabar, lebih tepatnya, mendengarkan kisah Pak Sabar. Tanpa menunggu waktu lama, ia langsung merogoh saku celananya, mengambil dompetnya, dan menarik uang selembar lima puluh ribuan, saat ia melihat Pak Sabar mengeluarkan uang dua puluh ribuan lecek, diantara uang leceknya yang lain.

“Biar saya yang bayar pak, saya traktir.” Ucap Ferdy sambil melemparkan senyum.
“Eh...nggak usah Nak, biar bapak bayar sendiri saja. Oia, apa Nak Ferdy sudah menikah?” Ferdy mengangguk, bingung. Apa hubungannya antara membayarkan soto Pak sabar dengan status maritalnya.
“Kalau begitu, simpan saja uang itu untuk keperluan keluarga Nak Ferdy, mereka pasti lebih membutuhkannya. Insya Allah kalau untuk membayar soto betawi, bapak masih sanggup.” Pak Sabar tersenyum. Entah mengapa, kali ini senyum Pak Sabar begitu lain Ferdy rasakan. Tiba-tiba ia menjadi rindu pada kedua orangtuanya yang sudah lama sekali tak ia tengok di kampung halamannya, Medan.

Ia mengikuti langkah kaki Pak Sabar menuju tempat pembayaran. Ia ikuti setiap gerak geriknya dari menyerahkan uang pada si pemilik sampai menerima kembaliannya. Di depan warung makan itu, Pak Sabar langsung memberikan uang kembaliannya tadi pada seorang bocah perempuan dekil yang tengah mengemis di sekitar situ. “Pakai uangnya untuk hal-hal yang bermanfaat ya...” Ucapnya mengiringi uang yang ia serahkan pada bocah tadi. Bocah itu pun mengangguk, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih. Ia pun segera berlalu.

Saat Pak Sabar hendak melangkah lagi, Ferdy kembali melontarkan sebuah pertanyaan, “Bapak belum menjawab, kenapa tadi bapak murung sementara bulan depan anak bapak akan di wisuda?” Pak Sabar menghentikan langkahnya sejenak, menghela nafasnya perlahan, lalu melanjutkan langkahnya lagi menuju kendaraannya. Sambil bersiap-siap untuk pulang, ia menjawab, “Bapak nggak bisa menghadiri acara wisudanya...” Kalimat itu menggantung. Ia memasang helm di kepalanya lalu menstarter motornya.

“Kenapa nggak bisa?” Desak Ferdy sangat ingin tahu.
“Uang bapak masih belum cukup untuk datang kesana....” Lagi-lagi kalimat itu menggantung, membuat Ferdy semakin penasaran dibuatnya.
“Memang di mana anak bapak di wisuda, barangkali saya bisa bantu.” Ferdy terkejut. Dia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa bicara seperti itu padahal ia baru saja mengenal Pak Sabar. Yang di ajak bicara pun hanya tersenyum dan segera pamit, sebelum Ferdy mencegahnya untuk segera berlalu.

“Norwegia. Anak bapak mendapat beasiswa di Norwegian University of Science and Technology atau lebih dikenal dengan nama NTNU Trondheim.” Pak Sabar menyahuti pertanyaan Ferdy dengan perasaan yang sangat bangga pada anaknya. Ia segera pamit, mengucapkan terima kasih pada Ferdy, dan segera berlalu dengan vespa bututnya. Meninggalkan Ferdy sendiri di depan rumah makan tadi dengan segala pikiran yang memenuhi otaknya. Baru kali ini ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Kesabaran seorang Pak Sabar telah membuatnya merasa malu pada dirinya sendiri.Tautan
Ia langsung berlari memasuki mobilnya, menyalakan mesinnya, dan mengejar vespa butut Pak Sabar sambil membatin, “Pak Sabar, saya akan membantu bapak, karena bapak sudah banyak membuat anak Indonesia menjadi anak yang berguna bagi bangsanya. Saya rasa bapak pantas mendapatkan hadiah kecil ini karena kau adalah salah satu patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.....”

Roda mobil itu terus menggelinding mengikuti laju motor vespa Pak Sabar yang sudah lebih dari 20 tahun ini menemani langkahnya menjadi seorang pahlawan pemberantas kebodohan.

Ruang Tamu, Pasar Minggu
04.08.11, 23.45

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan oleh Trio Nia, Lidya, Abdul Cholik.
Sponsored By :



11 komentar:

Lidya mengatakan...

Terima Kasih sudah berpartisipasi,segera dicatat

Lidya mengatakan...

Terima kasih sudah berpartisipasi, akan segera dicatat

Unknown mengatakan...

mantap deh, moga berhasil ya

Nia mengatakan...

Terimakasih atas partisipasi sahabat dalam kontes CBBP
Artikel sudah lengkap.....
Siap untuk dinilai oleh tim Juri....
Salam hangat dari Jakarta.....

Orin mengatakan...

Kado yg indah :)
Sukses ngontesnya ya mba ;)

Corat - Coret [Ria Nugroho] mengatakan...

keren tokoh Pak Sabar memang patriot banget ^^
Good Luck ya

Diah Alsa mengatakan...

Thumbs UP, kereeennn...

setujuuu banget ma Pak Sabar, "karena mengajar itu kita akan jadi banyak belajar"aiittsss nendang bangettt deh kata2nya...
jadi kangen mengajar, karena sebelum megajaar kita akan belajar dulu, setelah itu pun kita akan belajar dan terus belajar.

good luck yaa tuk GA nya, mantappp niih ;)

Unknown mengatakan...

met siang sis...baca2 lagi deh artikelmu yg ini

Rachmawati ww mengatakan...

Amazing, my sis'ta.. i really like it...
my blog have a trobel... hixhixhi.. but now, it's ok... alhamdulillah..

Elsa mengatakan...

besok ya pengumumannya
semoga menang deh

pesertanya banyaaaaaaaaaaak banget

Sarah mengatakan...

@Elsa : wah mbak Elsa telat, pengumumannya hari ini, coba di cek deh di dasbor nya, sayang aku gak menang, hiks :)