Bagiku,
berani dewasa bukanlah urusan usia – meski usia memang memiliki kontribusinya –
tapi ini soal sikap. Soal keberanian memilih mana sesuatu yang terbaik dari
berbagai pilihan yang ditawarkan hidup. Berani menjadi dewasa adalah pilihan
hidup yang tidak sederhana. Sebab menjadi dewasa bukan semata karena usia yang
semakin bertambah, ia lebih kepada berani mengambil keputusan sikap, sudut
pandang, pola pikir, dan tindakan nyata yang didasarkan oleh kesadaran penuh.
Dan
saat ini, aku tengah belajar untuk memahami semua itu...
Hidup
sebagai seorang ‘single parent’, terlebih saat Tuhan belum mengirimkan seorang pendamping,
jelas merupakan sebuah beban
tersendiri untukku.
Di satu sisi aku harus memikirkan tentang tumbuh kembang Riski dengan segala
macam keperluannya termasuk pendidikan, gizi, dan kesehatannya, namun di sisi
yang berbeda, dalam waktu yang bersamaan aku juga harus tetap memikirkan
tentang hidupku. Hidup yang harus terus berjalan, tak peduli apakah aku masih
terengah-engah mengatur nafas, atau sedang beristirahat karena kelelahan, hidup
akan terus menuntutku untuk terus bergerak. Ya, bergerak. Berpindah dari satu
takdir ke takdir berikutnya. Begitu seterusnya, sampai mungkin kelelahan ini
akan merasa lelah mengejarku.
Aku
bukanlah wanita perkasa. Bukan juga wanita hebat yang bisa menyelesaikan segala
macam permasalahan hidup
dengan cepat. Aku hanya wanita biasa yang – alhamdulillah
– masih diberi kesempatan untuk
bisa lebih mendekatkan diri padaNya dengan cara merawat seorang anak piatu yang tak lain adalah adik
sepupuku sendiri, Riski namanya.
Lengkapnya, Muhammad Fariski. Ia menjadi piatu sejak usianya satu setengah
tahun. Ibunya, yang juga Tanteku, meninggal saat hendak melahirkan anak
keenamnya. Riski adalah anaknya yang kelima.
Kala
itu aku masih ingat betul. Saat di mana Tante meninggal, tepat saat aku hendak
membacakan surat Yasin di hadapannya. Aku sengaja pulang kantor lebih awal
karena Ibuku sudah mengabarkan sesuatu yang membuat dadaku sesak. Keadaan Tante,
yang sebelumnya sudah menunjukkan perkembangan yang bagus di ruang ICU, nyatanya saat itu
kondisinya semakin menurun. Kritis.
Sepanjang
perjalanan menuju rumah sakit aku menangis tiada henti. Bayangan dan kenangan
tentangnya terus berputar di memoriku. Jujur saja saat itu aku merasa tidak akan pernah
siap bila Tante harus pergi secepat itu meninggalkan aku, keluarga besar
kami, dan kelima anaknya.
Aku
sedih, sampai aku harus beberapa kali menghapus air mata yang berlinang
membasahi pipiku. Sesekali angin sepoi membasuhnya
hingga ia berhasil mengeringkan sebagian wajahku yang basah akibat air mata.
Bagiku,
ia lebih dari seorang Tante
buatku. Kami sudah bertahun-tahun tinggal bersama dalam satu atap yang sama.
Bersama Nenek, Kakek, Ibu,dan
beberapa keluarga kami lainnya,
termasuk anak-anak Tante yang lima orang itu. Maka dari itu, rasanya wajar bila aku
sudah menganggapnya sebagai ibu kedua buatku.
Dibanding Ibuku sendiri, Tante adalah seseorang yang sering
menjadi tempatku mencurahkan segala perasaan.
Meski terkadang ada riak-riak kecil dalam hubungan kekeluargaan kami, namun di
lubuk hatiku yang terdalam,
Tante
adalah sosok yang begitu kusayangi sepanjang hidupku. Ia adalah wanita yang kuat. Wanita tegar nan perkasa yang tak pernah
mengenal kata menyerah dan
putus asa untuk memenuhi segala
kebutuhan keluarganya.
Ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Kakekku hanya
seorang pensiunan PNS sementara Nenekku hanya seorang ibu rumah tangga. Tante
menikah dengan seorang laki-laki yang usianya jauh lebih tua darinya pada saat usianya belum genap dua puluh tahun. Sepanjang
perjalanan rumah tangganya, ia hidup dalam himpitan ekonomi yang tak
berkesudahan. Suami yang semakin hari semakin tua dan sakit-sakitan, sementara
anak-anak semakin besar dan membutuhkan banyak biaya, membuat Tante hanya bisa
menjerit dalam batinnya. Ia yang mengurus keluarga, ia juga yang harus mencari
nafkah.
Belasan tahun ia berjuang melewati getirnya hidup demi
mencari ridho Ilahi atas kesabarannya menanggung semua beban. Ia yang tak
pernah mengeluh meski lelah selalu menyambangi raga, ia yang tak pernah
bercerita apapun pada kami meski beras di rumahnya telah habis, ia yang tak
pernah terlihat bermuram durja meski ia sendiri bingung akan diberi makan apa
anak-anaknya esok hari. Yang ia lakukan hanya diam. Menahan segala beban
hidupnya sendiri dalam hati, sambil terus berusaha melakukan apapaun yang ia
mampu agar kebutuhan keluarganya terpenuhi.
Dari
hasil jerih payahnya, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya. Meski untuk makan
sehari-hari saja ia harus menyelesaikan jahitan demi jahitan dulu – karena ia adalah seorang
penjahit – tapi Tante menjalani hidupnya seolah tanpa beban. Lebih dari delapan
belas tahun ia
mengabdikan dirinya sebagai seorang istri yang penyabar. Selama itu pula ia
banting tulang menghidupi keluarganya, sampai ia mempunyai lima orang anak.
Namun
di penghujung hidupnya, Allah kembali menitipkan seorang buah hati lagi dalam rahimnya.
Seorang bayi mungil, yang sebenarnya sempat tak diharapkan oleh keluargaku. Bukan karena kami tidak menyayanginya, namun mungkin
karena kepicikan kamilah yang membuat kami merasa kasihan pada Tante jika harus
kembali menanggung beban hidup yang semakin berat. Ia yang sudah kepayahan
mengurus kelima anaknya seorang diri karena kenyataannya suami yang begitu ia
cintai tidak mampu memberikan mereka nafkah, mungkinkah harus terus berjuang
seorang sendiri membesarkan anak yang saat itu ada dalam kandungannya?
Dan aku tahu, bahkan sangat paham, bahwa selama
sembilan bulan mengandung buah hatinya itu, bukan hal yang mudah baginya saat
harus melewati ujian demi ujian yang menghampiri hidupnya. Keadaan ekonomi yang
semakin melemah, suami yang semakin tua dan sakit-sakitan, anak-anak yang
semakin besar dan membutuhkan banyak biaya, sementara kandungannya semakin
besar hingga membuat ia semakin kepayahan mengurus semua hal sendirian.
Hingga pada akhirnya Allah tahu betul, bahwa segala
ujian hidupnya selama ini, nyatanya telah melebihi kapasitas kemampuan yang ia
miliki. Ia menghembuskan nafas terakhirnya, tepat saat aku hendak membacakan
surat Yasin di hadapannya. Di sebuah ruangan yang sangat dingin, ditemani oleh
sanak keluarga, dokter, dan beberapa perawat. Bersama sejuta kenangan yang
tiba-tiba beterbangan di kepalaku, aku sadar bahwa mulai detik itu, aku sudah
tidak bisa lagi melihatnya tersenyum.
Ia… pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan kami,
anak-anaknya, dan sejuta impian yang belum sempat ia raih.
Dan sejak saat itulah perjuanganku dimulai….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar