25 Mei 2018

JANGAN JADIKAN IDUL FITRI SEBAGAI AJANG MENYAKITI ATAU MEMBANGGAKAN DIRI

Hari Raya Idul Fitri adalah hari yang mungkin sangat ditunggu-tunggu oleh semua umat muslim di seluruh dunia. Pasalnya, hari besar Islam tersebut adalah momen yang dapat dijadikan sebagai ajang bersilaturahim bagi sanak saudara, keluarga, dan kerabat dekat. Di hari itu tak ada satu orang pun yang tak merayakannya dengan suka cita. Hampir semua umat muslim tumpah ruah saling berkunjung satu sama lain untuk saling memaafkan, membawakan makanan, dan berbagi rejeki. Tak jarang juga mereka saling berbagi cerita satu sama lain. Yang pasti hari raya Idul Fitri adalah momen yang tepat untuk mempererat tali silaturahim.
Yang namanya bersilaturahim sudah pasti akan banyak cerita yang dibagi satu sama lain. Ada yang bercerita tentang urusan keluarga, anak, tempat kerja, dan banyak lagi kisah yang terurai di sana. Namun tak jarang juga kita dapati, ajang bersilaturahim tersebut justru membawa ketidak nyamanan saat satu dua orang menyinggung atau membahas hal-hal pribadi yang seharusnya tidak ditanyakan atau dibicarakan pada momen itu.
Misalnya saja dalam perkumpulan keluarga tersebut ada satu orang yang menanyakan pada saudaranya, “Kapan nikah?” pada saudaranya yang belum juga menikah padahal usianya sudah jauh dari kata cukup. Atau hal lainnya saat saudara yang lain sudah lama menikah namun juga belum dikarunia keturunan, spontan mulut kita bertanya, “Kok belum juga punya anak sih? Padahal nikahnya sudah lama.” Atau ada juga yang suka membanding-bandingkan keadaan keluarga, anak, atau pasangannya sendiri dengan keadaan saudaranya. Entah itu membanggakan diri dan keluarganya sendiri, atau malah justru mengeluhkan keadaannya dan iri dengan keadaan saudaranya yang lain yang mungkin hidupnya terlihat lebih baik dari dirinya.
Apapun keadaan dan kondisinya, ajang bersilaturahim seperti dalam perayaan hari Raya Idul Fitri seharusnya bukan menjadi ajang menyakiti perasaan orang lain tanpa kita sadari, atau sebagai ajang pamer apapun yang kita miliki pada orang lain yang keadaannya mungkin jauh di bawah kita. Idul Fitri seharusnya dapat dimaknai sebagai ajang saling meminta maaf, memaafkan kesalahan orang lain, dan memberi kebahagiaan apapun bentuknya, termasuk dengan tidak menanyakan hal-hal yang bersifat sensitif ataupun yang menyinggung perasaan orang lain.
Jika ada saudara kita yang belum menikah, hal yang paling tepat dilakukan saat bertemu mereka adalah mendoakan agar Allah segera mempertemukannya dengan jodoh terbaik, dan bukan menanyakan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu jawabannya. Atau jika ada saudara kita yang belum juga memiliki keturunan, hal yang paling bijak dilakukan adalah mendoakannya supaya Allah segera memberi mereka amanah anak yang shalih dan shalihah, sambil terus bersabar dan berdoa dengan penuh kesungguhan. Dan kalaupun kita merasa kehidupan kita jauh lebih baik dibanding kehidupan orang lain, tak perlulah kita membanggakan seberapa besar penghasilan pasangan kita, seberapa tinggi jabatan suami kita, seberapa pintar anak kita di sekolah, seberapa banyak perhiasan yang kita miliki, atau seberapa sering kita pergi berlibur bersama keluarga, sebab hal itu hanya akan menimbulkan kesenjangan antara sesama keluarga.
Pada akhirnya silaturahim yang tadinya diniatkan sebagai ajang berbagi kebahagiaan, akan berubah suasananya menjadi hambar dan tanpa makna sebab yang ada hanyalah rasa sakit yang tak terlihat, atau rasa iri yang dirasakan orang lain tanpa sepengetahuan kita. Ucapan maaf memaafkan yang awalnya terlontar indah, menjadi semu kembali lantaran lisan kita yang tak terjaga.
Mari kita jadikan momen Idul Fitri sebagai ajang untuk saling berkata baik, mendoakan hal yang baik-baik, dan berbagi kebahagiaan dalam sebaik-baiknya bentuk.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47) (Sarah)

Tidak ada komentar: