28 Januari 2010

Munajat “Cahaya Bunga Malam”


Malam ini….
Diiringi suara kehidupan yang nyaris sunyi, hanya terdengar sesekali binatang kecil bernyanyi merdu ditemani tingkah polah semilir angin sang bayu malam. Dinginnya menggigit, sepinya mencabik. Hati yang kering dan jiwa yang gersang telah meronta menemani tangisku malam ini. Entah, masih bergunakah air mata yang kukeluarkan kali ini, yang senantiasa mengiringi pergantian usiaku. Setahun, dua tahun, ah… entah mulai tahun keberapa sejak bertambahnya usia, aku menangis.

Namun di usiaku kali ini, pecah tangisku bukanlah tanpa arti. Aku menangisi perjalanan usiaku yang kurasakan hampa tanpa jejak yang berarti. Banyak nikmat-Nya yang tak kusyukuri adanya. Mungkin aku yang saat ini, telah membuat diriku hidup berbalut kesombongan yang tak berkesudahan dan sering tak mengindahkan perintah-Nya. Hatiku kering akan cinta-Nya dan jiwaku gersang akan kasih-Nya.

Waktu berlalu, anginpun kembali berhembus. Menyapa lembut wajahku, dan menembus hingga ke pori-pori sampai ke tulang sum-sumku. Jiwaku kian menggigil dan menggetarkan hatiku yang semakin lama semakin hampa kurasakan bulat-bulat. Kusadari, nafasku masih berhembus, nadiku masih berdenyut, panca inderaku masih berfungsi dengan normal. Dan semua itu, adalah karena kemurahan-Nya. Disetiap helaan nafasku, disetiap detak jantungku, dan disetiap pijakan kaki yang kulangkahkan, sesungguhnya hal itu adalah atas karunia-Nya semata.

Rabb, sungguh hanya Engkau tempat kubergantung, sebaik-baik tempat mengadu dikala gundah dan gelisah, tempat kumencurahkan segala apa yang kurasakan. Basuhlah hatiku dengan keimanan yang mendalam dan balutlah jiwaku dengan kasih sayang-Mu yang terdalam dan tak berkesudahan.

Siang berlalu, sore bergulir
Malam berganti...
Pagi pun menjelang....
Begitulah kehidupan
Dari satu hari menjadi seribu musim
Dari satu nafas menjadi seribu nyawa
Semua tercatat, semua tak lepas dari kitab-Nya
Bagai sebuah lukisan yang penuh liku dan warna
Itulah kehidupan...

Aku terjaga dalam malam
Dalam sepi yang membuatku menepi
Satu lagi usiaku bertambah
Dan mengurangi jatah kehidupanku di dunia fana ini
Aku menangis dalam senyuman
Menangisi kehidupanku yang telah berlalu
Berganti kisah demi kisah
Yang membuatku semakin gelisah
Adakah hari ini lebih baik dari hari kemarin?
Adakah hari esok dapat lebih baik dari hari ini?
Atau bahkan....
Adakah esok masih milikku?
Semua masih misteri...
Masih tersimpan dalam megaserver lauwmahfudz-Nya
Aku yang sering alfa dalam ibadah
Yang sering lalai dalam menunaikan kewajiban
Tak pantas rasanya jika meminta lebih dari-Nya

Aku tersenyum dalam tangis
Mensyukuri setiap bilangan detik yang kulalui
Karena dihari bertambahnya usiaku
Nafas ini masih berhembus
Jantung ini masih berdetak
Nadi ini masih berdenyut
Dan nikmat-Nya masih mengalir dalam darahku

Alhamdulillah wa syukurilah Ya Rabb...
Aku hamba-Mu yang penuh noda dan dosa
Masih Kau perkenankan untuk melihat terbitnya sang fajar
Yang membawa janji kehidupan
Bagi mereka yang beriman
Masukkanlah aku dalam barisan itu Ya Allah...

Dalam liku perjalanan usiaku
Bantulah aku untuk selalu kuat
Menghadapi segala cobaan dari-Mu
Bantulah aku memperbaiki diri ini
Agar kudapat menjadi Bidadari terbaik bagi keluarga kecilku kelak
Mudahkanlah aku dalam belajar...
Untuk dapat menjadi isteri yang bijaksana
Menjadi ibu yang patut dicontoh oleh anak-anakku
Dan berikanlah kemampuan dan kesempatan
Agar ku dapat menjadikan keluarga kecilku kelak
Menjadi keluarga ahli surga...

Ditengah jatuh bangunnya keimananku
Berikanlah tempat terbaik di sisi-Mu bagi ayahandaku
Berikanlah aku jalan untuk selalu berbakti pada ibunda, ibunda, dan... ibundaku
Apalah jadinya aku...
Jika tanpa doa mereka
Kasih sayang mereka
Untaian cinta dan rajutan asa
Untuk setiap tetesan keringat dan darah
Dan tak hentinya rintihan zikir
Yang selalu mengalun dan menyertai
Untuk setiap jalan hidupku di bumi ini
Jadikanlah aku jembatan bagi mereka untuk mendapatkan ruang di Surga-Mu

Rabbi...
Diatas sajadah yang sekian lama terlipat
Disela waktu yang sering membuatku lalai dalam bermunajat
Kubersimpuh...
Sentilan nikmat-Mu, telah membuatku tertunduk dalam malu
Hingga aku tersungkur dalam sujud
Di bawah kaki-Mu
Di bawah naungan Arsy-Mu
Tengoklah aku
Rengkuhlah aku dalam kasih-Mu
Janganlah Kau tinggalkan aku
Dengan kekuatan...
Untuk menjadi insan-Mu
Yang berhiaskan ketaqwaan

Ya Allah...
Di usiaku kali ini
Izinkanlah aku bersedekah dalam doa
Untuk mereka...
Keluarga, sahabat, kerabat,
Dan orang-orang yang kusayangi, dan menyayangiku
Dimanapun mereka berada...
Perkenankanlah kebaikan-Mu
Juga selalu menyertai mereka


Amin Allahumma Amin...
(Tertatih, dalam 21 tahun menapaki perjalanan usia)



Jakarta, Pojok Kamar,
280110, 02.41 WIB

15 Januari 2010

Bukan Karena Pintar, Melainkan Yakin

Akhir-akhir ini, sering sekali mendapati banyak teman yang mengeluh karena kemonotonan rutinitasnya. Umumnya seperti ini:


Ditambah lagi apabila mereka mengambil kuliah malam, pasti akan bertambah banyak kewajiban yang harus mereka selesaikan. Dari tugas membuat makalah sampai belajar untuk ujian. Apakah harus selalu dieluhkan jika kita merasa rutinitas yang kita lakukan sehari-hari hanya itu-itu saja? Tentu saja tidak jawabannya. Sebab apa yang kita jalani setiap harinya adalah sebuah konsekuensi yang harus kita hadapi dari sebuah pilihan hidup. Mengapa seperti itu? Ya karena memang seperti itulah seharusnya.

Mungkin banyak dari kita, ketika tengah menghadapi berbagai macam persoalan dan masalah, yang kita lakukan adalah mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Padahal tanpa mengeluh, ternyata hidup bisa lebih nikmat loh.

Logikanya seperti ini: Masalah dalam hidup ini tidak akan habis sampai kita menutup mata (meninggal). Itu artinya, selama kita masih hidup, maka masalah itu akan terus mengikuti kehidupan kita. Jadi apa yang harus dilakukan? Rubahlah pardigmanya. Yang harus dilakukan adalah merubah paradigma. Jika memang sudah seperti itu sunnatullahnya, bahwa masalah akan selalu ada dalam kehidupan kita, maka rubahlah paradigma kita, pola pikir, sudut pandang, atau apapun namanya. Dari negatif ke positif.

Bagaimana? Jika setiap kali kita menghadapi masalah selalu mengeluh, maka rubahlah hal itu. Jika dengan mengeluh tetap tidak akan membuat masalah menjadi selesai, maka untuk apa dieluhkan? Toh tidak ada gunanya juga. Rubahlah paradigmanya. Ketika kita dalam masalah, nikmati hal itu, sebab hal itupun akan menjadi masa lalu pada akhirnya. Dan nyatanya, dengan menikmati masalah yang ada, hidup akan terasa lebih mudah.

Loh kok bisa? Ya, kenapa tidak? Analisanya seperti ini: Masalah yang kita hadapi, sejatinya tidak mudah untuk kita selesaikan. Untuk menyelesaikannya, membutuhkan kerja keras dan perjuangan yang tidak sebentar. Ada proses dan waktunya. Dan semua hal itu pasti akan menyita banyak energi dan waktu kita. Lelah? Sudah pasti. Nah, karena masalah itu sudah cukup menyita segala yang ada pada diri kita, maka seimbangkanlah hal tersebut dengan membuatnya menjadi nyaman, ringan, dan mudah. Sebab begini, masalah itu adalah suatu hal yang berat, jika kita tambah menyikapinya dengan berkesah dan mengeluh, maka masalah itu seolah akan menjadi palu besar yang siap menghantam, menghancurkan, dan meluluh lantakan diri kita. Maka, sikapilah dengan tenang. Sehingga masalah itu akan terasa mudah kita hadapi.

Selain hal itu, yakin bahwa kita mampu melewati dan menyelesaikan masalah adalah sangat penting adanya. Sebab keyakinan yang ditanamkan dalam diri dan pikiran, otomatis akan menjadi sebuah motivator terbesar dalam diri kita. Kenapa? Karena keyakinan untuk bisa menyelesaikan masalah dengan baik, akan membuat kita tetap bersemangat untuk terus berusaha. Tentunya dengan cara yang ahsan (baik) serta tidak melupakan sebuah ketetapan, bahwa Allah itu adalah menurut prasangka hamba-Nya.

Pada akhirnya, “keyakinan bahwa kita mampu” akan menemukan titik klimaksnya. Yaitu sebuah hasil yang sungguh menyenangkan. Boleh jadi hasilnya adalah sesuai dengan apa yang kita harapkan. Atau bisa mungkin hasilnya adalah sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Semua kemungkinan itu bisa saja terjadi, sebab usaha yang kita lakukan pun sejatinya juga berbeda-beda dan juga bergantung pada apa yang telah Allah takdirkan atas usaha yang telah kita lakukan.

Orang yang bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik, bukanlah orang yang pintar menyelesaikan masalah. Tetapi ia, yang yakin bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya lalu keyakinan itu akan menjadi sebuah motivator terbesar dalam dirinya, sehingga semangatnya untuk berusaha terus berkobar dan sanggup membuat dirinya mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik tanpa mengeluh. Dan pastinya, usahanya dalam berusaha itu selalu diiringi dengan doa dan tawakal kepada Allah swt. Dan tercerminlah dalam dirinya bahwa ia sosok pribadi yang pintar menyelesaikan masalah. Padahal kalau mau disadari, semuanya berawal dari keyakinannya, yang membuat dirinya mampu keluar dari masalah yang mungkin menurut sebagian orang sangat sulit, tapi tidak bagi dia yang merasa yakin bahwa masalah itu akan bisa ia selesaikan.

Alurnya seperti ini:


Pikiran kita bekerja menurut prinsip GIGO (Garbage In Garbage Out). Apabila yang kita masukkan dalam pikiran kita adalah hal-hal yang negatif maka bawah sadar kita pun secara perlahan kita program sedemikian rupa sehingga hasil keluarannya juga adalah negatif. Sebaliknya, berpikir positif merupakan langkah awal yang baik dalam menjalani kehidupan. Dengan berpikir positif kita menghidupkan antusiasme dalam diri kita sehingga kita menjadi lebih semangat dan lebih yakin atas apa yang kita jalani.

Mengutip sedikit ulasan dari www.menjung.com, bahwa David J. Schwartz dalam bukunya ”The Magic of Thinking Big” menguraikan banyak hal mengenai kekuatan berpikir positif. Berpikir positif akan dapat menumbuhkan kepercayaan dalam diri kita. Menurutnya sewaktu kita berhadapan dengan keadaan yang sulit, berpikirlah saya akan menang, bukan saya akan kalah atau ketika peluang muncul di depan kita, berpikirlah saya mampu melakukannya bukan saya tidak yakin mampu melakukannya. Anda termasuk yang mana?

(nuza)

13 Januari 2010

Kepompong, Lilin, apapun perumpamaannya….



“Ditengah silang sengkurat waktu, jangan beri aku pernyataan dulu pagi ini. Aku hanya ingin diam dan merenungi perjalanan usiaku dalam menapaki arti persahabatan.”

Berharap.
Mungkin hal itu yang kini tengah kita rasakan pada sebagian orang diluar sana. Ada kalanya harapan yang kita miliki pada seseorang terwujud dalam aplikasi nyata dari sebuah keinginan diri. Namun terkadang, kenyataannya tak sedikit pula harapan yang kita miliki berujung pada sebuah kekecewaaan. Berharap disini memiliki arti luas. Tak hanya sekedar berharap atas sebuah perasaan dari lawan jenis, tapi juga sebuah balasan sikap dari seseorang bernama kawan atau teman.


Mungkin banyak dari kita yang sering salah paham dan pada akhirnya menimbulkan jarak pada temannya sendiri dikarenakan apa yang diharapkan padanya tak terbalasakan. Misal, disaat teman kita sedang dalam kesusahan, kita datang padanya bak seorang pahlawan yang hendak menawarkan bantuan padanya. Namun sebaliknya, disaat kita sedang dalam posisi yang sangat rapuh, kita berharap ada teman yang mau menawarkan bahunya untuk dapat kita jadikan sandaran untuk menangis. Dan pada akhirnya, harapan hanya tinggal harapan. Sampai pada klimaksnya, tak ada satu teman pun yang berempati untuk mengerti atas kondisi yang kita alami, sekalipun ia yang dulu pernah kita bantu dalam kerapuhan dan kelemahannya.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Sabar. Itulah kuncinya. Meskipun terkadang tak bisa dipungkiri juga rasa kecewa itu pasti ada, namun bersabarlah. Sebab pernah kujumpai dalam sebuah syair seorang penulis:

Jikalah luka kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya
Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa
Sedang ketabahan dan kesabaran adalah lebih utama

Dan untuk lebih menguatkan hati dan jiwa yang kita miliki, tanamkanlah dalam diri kita sebuah kalimat, “Ketika kita berniat untuk membantu teman kita yang tengah dalam kerapuhan, tak ada perjanjian hitam diatas putih bahwa ketika kita dalam kesusahan kelak, dia juga wajib memberikan bantuannya pada kita”. Ikhlaskanlah semuanya karena Allah. Karena saling tolong menolong dengan sesama umat manusia adalah wajib hukumnya. Terlepas dari apakah seseorang yang kita bantu, kelak akan balik membantu kita atau tidak. Sebab seorang sahabat tak pernah mengenal kata pamrih atau balasan. Ia tersenyum dan bahagia ketika melihat temannya bahagia, dan akan tetap tersenyum meski teman yang ada seolah acuh terhadap keadaannya.

Ya, itu hanya segelintir kisah dalam perjalanan panjang usiaku setelah sekian lama menapaki arti persahabatan. Kesimpulannya, ketika kita berharap pada manusia, maka hanya kekecewaan yang akan kita dapatkan. Sebab manusia itu gudangnya ketidak sempurnaan. Berharaplah hanya pada Sang Pemilik hati, pada Sang Pencipta aku dan kamu. Sehingga harapan itu takkan pernah berujung pada kekecewaan, sebab Dia akan selalu ada dimanapun kita butuhkan.

Sahabat, mungkin bisa diartikan sebagai sebatang lilin. Dia dapat menerangi jika diperlukan, dan akan padam tatkala ada yang meniupnya. Jika bisa bicara, lilin itu mungkin akan mengatakan kalau ia tak mau hanya dipakai jika diperlukan saja. Tapi sejatinya ia tak bisa melakukan hal itu. Ia hanya bisa melaksanakan tugasnya sebagai sebuah lilin, yaitu berpijar dan menerangi sekelilingnya, dengan konsekuensi tubuhnya yang habis terbakar. Mungkin arti sahabat tak mesti harus seperti itu, mengorbankan apa yang kita punya untuk kebahagiaan orang lain. Tapi paling tidak, cara kerja lilin itu bisa kita jadikan contoh, bahwa seorang sahabat adalah ia yang bisa memberikan kekuatan pada temannya yang dalam kerapuhan, bisa menawarkan bantuan disaat yang lain membutuhkan, dan satu yang perlu diingat, sahabat tak pernah mengharapkan balasan disaat yang lain menjauhkan.

Dan kini, aku menemukan arti baru. Bahwa arti dari seorang sahabat sejati adalah:
Menguatkan disaat yang lain rapuh
Menawarkan disaat yang lain butuh
Dan tak berharap balasan disaat yang lain menjauh


Love you all guys…. :-)
Dan tak lupa juga,
Karena Allah….