29 Maret 2012

Narsis Rizky Eps. 2


Note:
- Usia Rizky saat ini sudah 2,5 tahun
- Sudah bisa bicara macam-macam kosakata dan sudah terbilang fasih di usianya sekarang
- Masih takut sama air
- BB nya sudah 14 kg
- Alhamdulillah sudah banyak makannya meskipun masih harus sering dibujuk dulu
- Kuat sekali minum susu
- Lagi keranjingan dengan permainan Angry Birds dan lagu Iwak Peyek versi Andre OVJ
- Selalu pakai sandal meskipun di dalam rumah
- Alhamdulillah sejak setengah tahun belakangan ini toilet training nya sudah berhasil, kalau mau buang air kecil selalu bilang, kecuali sedang tidur. Namun terkadang kalau tidur pun kerap kali dia tetap bangun dan membangunkan bundanya untuk diantar pipis
- Masih sering merengek minta ikut bila bunda pergi kerja
- Sudah mengenal dan bisa menyebutkan nama-nama hewan
- Melihat gayanya yang suka goyang dan nyanyi, sepertinya ada bakat untuk jadi anggata Child Band :D


22 Maret 2012

A Little Letter to Barzah

Assalamu’alaykum. Tante, apa kabar? Ah, rasanya retoris sekali yah kalau saat ini aku masih menanyakan kabarmu di sana. Karena aku yakin kau pasti selalu bahagia di tempatmu sekarang.

Tan, tiada terasa sudah satu tahun lamanya kau pergi meninggalkanku dan keluarga kita. Tanpamu di sisi kami, bilangan hari-hari kemarin rasanya masih sangat kelabu untuk kami jalani. Kalau boleh jujur, rasanya masih sangat tidak percaya kalau kini kau telah berpulang ke pangkuan-Nya. Namun karena kami berusaha beriman dengan segala takdir dan ketentuan-Nya, kami selalu mencoba untuk ikhlas melepas kepergianmu. Dan pada akhirnya kami mampu Tan. Meskipun ikhlas, bukan berarti kami lupa padamu. Bukan berarti kami lupa pada kakek dan Zaenab. Dan bukan berarti kami tak mengirimkan doa tulus untuk kalian bertiga. Sesungguhnya, di setiap hembusan nafasku selalu tercurah doa suci yang selalu kusampaikan pada Allah untuk kalian bertiga.

Ahhh.....Tante, setiap mengingatmu, entah mengapa rasanya aku selalu ingin menangis. Apalagi bila melihat Rizky, dan semua anak-anakmu. Tapi melihat anak-anakmu tumbuh besar dan ceria, ternyata mampu meghapuskan segala sedih dalam hatiku. Selama setahun kepergianmu, mereka tetap baik-baik saja Tan. Alhamdulillah Allah masih memberikan umur panjang dan kesehatan lahir batin padaku dan keluarga yang lain, khususnya Nenek. Aku selalu berharap agar Allah senantiasa memberikan kesehatan pada Nenek. Rasanya tak ada yang lebih berharga selain kesehatan Nenek. Sebab aku sangat membutuhkannya. Neneklah yang selalu ada untukku dalam merawat anak-anakmu. Aku sangat menyayanginya Tan..............
Ah......maafkan aku Tan. Aku tengah sibuk menyeka air mata yang entah mengapa tiba-tiba saja mengalir dari kedua mataku. Aku jadi begitu merindukanmu, hehehe. Oia Tan, aku ingin mengabarkan kalau saat ini, anak terkecilmu, Rizky, sudah semakin pintar. Ia kini semakin besar dan lucu. Sudah bisa bicara dengan fasih, bisa menyebutkan nama-nama binatang, buah-buahan, dan bernyanyi. Beratnya sudah 14 kg Tan. Sudah bisa berlari ke sana ke mari dan sudah bisa bermain bola bersama Azmi. Celoteh dan nyanyiannya setiap hari semakin membuatku bahagia. Rasanya tak ada yang lebih indah selain melihat tumbuh kembangnya dari hari ke hari. Ahh......Tante, andai kau bisa menyaksikan tumbuh kembangnya. Kini ia bahagia bersamaku Tan. Kau tak perlu cemas :-)

Tempo hari aku sudah mendaftarkan asuransi pendidikan untuknya di Takaful, namun ternyata aplikasiku ditolak karena ada kebijakan yang menidak bolehkan hubungan yang tidak sedarah untuk menjadi nasabah. Ah, aku jadi bingung Tan harus kemana lagi untuk mengasuransikan pendidikannya. Kepikiran juga untuk beli celengan, tapi hari gini pakai celengan???? Hehehe....

Biarlah hal itu kupikirkan nanti, sambil aku merajut asaku kembali. Menitikan jejakku langkah demi langkah, dan mengumpulkan kembali harapanku yang sempat hancur terhantam gelombang kekecewaan. Ah Tante, andai kau dapat melihat langsung perkembangan anak-anakmu, terutama Rizky, pasti kau tak kalah bahagianya denganku. Tapi aku yakin kau pun selalu mengamati mereka dari tempatmu sekarang.

Bahagialah selalu ya Tan. Kuharap doa yang kutitipkan pada Allah selalu sampai untukmu, kakek, dan Zaenab. Kusudahi dulu ya surat ini, karena Rizky sudah merengek minta ditemani tidur :-) Wassalamu’alaykum......

Nb: bersama surat ini, kutitipkan beberapa foto, semoga kau melihatnya.... :D








19 Maret 2012

"Angry Birds"

Begitu banyak permainan digital (digital game) yang kini marak digandrungi masyarakat. Salah satunya adalah “Angry Birds” yang belakangan ini menjadi salah satu icon yang menarik untuk dijadikan komoditi pasar. Karakter-karakter dalam permainan “Angry Birds” ini sudah banyak menghiasi pernak pernik sehari-hari seperti baju, tempat pensil, pulpen, sampai sandal. Angry Birds kini sudah memenuhi ruang pasar. Selain karena bentuk karakternya yang sangat unik, permainannya pun juga sangat menarik. Saya dan Rizky termasuk salah seorang yang menggandrungi permainan ini :D.

Setiap ada waktu luang, biasanya saya mencoba setiap level yang ada pada permainan Angry Birds ini, begitu juga dengan Rizky. Kami berdua sangat senang dengan karakter “Burung Bom” yang berwarna hitam.

Sejak menggandrunginya, saya sadari ternyata permainan ini banyak sekali memberikan saya pelajaran. Katakanlah, setiap kali memainkan permainan ini, saya dituntut untuk mengatur strategi dari setiap tantangan yang disuguhkan di setiap levelnya. Begitu juga dengan jumlah burung dan kemampuannya dalam menghancurkan kayu, besi, atau kaca yang melindungi musuh-musuhnya. Begitu juga dengan hidup ini.

Dalam setiap langkah dan pilihan hidup ini, kita pasti juga dituntut untuk mengatur strategi dengan cermat agar setiap kesempatan yang diberikan Allah tidak terbuang dengan sia-sia dan agar setiap tantangan yang kita hadapi bisa kita selesaikan dengan baik dan benar. Setiap tantangan di setiap level kehidupan kita pun juga tergantung dengan kadar kemampuan yang kita miliki.

Angry Birds secara tidak langsung telah mengajarkan saya agar tidak cepat putus asa dan pantang menyerah dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan dalam setiap langkah dan pilihan hidup yang telah saya pilih dan Allah pilihkan. Bagi teman-teman yang juga keranjingan memainkan permainan ini, coba kalian amati dengan seksama, di setiap levelnya pasti permainan ini memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Begitu juga dengan setiap solusinya (macam-macam burungnya), pasti juga disesuaikan dengan setiap tantangan yang disuguhkan. Demikian pula dengan hidup.

Mustahil kalau kita tidak memiliki masalah atau ujian dalam hidup ini. Pasti tingkat kesulitan cobaan hidup pun juga berbeda-beda di setiap fasenya. Dan Allah pun pasti sudah tahu lebih dulu seberapa kita mampu dan sanggup untuk menyelesaikan masalah itu. Jangan pernah lupa juga bahwa di setiap cobaan yang kita hadapi, Allah pasti juga memberikan satu paket dengan solusi sesuai dengan kadar kemampuan kita.

Dalam menghadapi persoalan hidup pun, kita harus pandai-pandai mencari celah dan peluang, agar setiap langkah yang kita pijakkan tidak bernilai sia-sia. Harus selalu ada hasil yang dicapai agar hari ini bisa lebih baik dari hari kemarin.

Namun ada satu perbedaan Angry Birds dengan kehidupan ini yang akhirnya saya sadari kembali, bahwa jika di permainan Angry Birds kita bisa mengulangi permainan jika kita mengalami kegagalan di masa sebelumnya, di permainan kehidupan nyata kita hanya bisa memperbaiki setiap kegagalan yang kita alami dan menjadikan kegagalan di masa lalu sebagai pelajaran berharga yang tidak boleh kita ulangi di masa depan. Juga sebagai pengalaman hidup bahwa setiap liku kehidupan ini pasti bisa kita atasi asalkan kita bisa mempelajari setiap medannya, siapkan strategi untuk menghadapinya, pergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya, cari peluang agar setiap langkah tidak bernilai sia-sia, agar apa yang kita lakukan bisa mendapatkan hasil yang maksimal dan bisa “naik” ke level berikutnya untuk menyelesaikan tantangan selanjutnya :)

12 Maret 2012

Cerpen : Dialog Asa

Asa masih membisu. Langkahnya yang semakin pelan, berbanding terbalik dengan pikirannya yang dipaksa untuk berpikir cermat. Menurutnya, pernikahan bukanlah hal yang mudah unttuk dibicarakan. Sebab bicara tentang menikah, bukan hanya bicara tentang personality saja, tapi juga tentang perasaan dan keadaan dua insan manusia. Baginya, menikah bukanlah seperti membeli permen di warung. Tidak semudah merogoh uang di kantong dan tidak semudah memakannya. Maka dari itu tidak mudah pula menjawab sebuah pertanyaan “Kapan menikah?” yang membuat hari-harinya semakin kelabu. Jika boleh jujur, wanita mana sih yang tidak ingin segera menikah? Mungkin hanya orang-orang bodoh yang tidak menginginkan pernikahan dalam hidupnya.

“Jadi, bagaimana kalau nanti kamu menikah?”

Kali ini pertanyaannya lain. Hanna yang melontarkan pertanyaan itu padanya. Di kesempatan yang jarang sekali mereka lewatkan bersama ini, Hanna sedang berusaha mengorek informasi dari Asa demi menjalankan sebuah misi rahasianya.

Asa tersenyum dalam langkahnya yang terhenti di depan sebuah rak buku-buku novel. Berusaha mengingat-ingat senyuman bocah mungilnya di rumah. “Pertama, sampai saat ini belum ketahuan siapa jodohku,” Ucap Asa tanpa mengarahkan pandangannya pada Hanna, “Kedua, karena aku tidak mau masalah ini terlalu dibawa pusing. Aku tidak mau menjadikan Kania sebagai beban.” Lanjutnya mengambang. Suaranya sedikit pelan namun seperti ada isak di ujung kalimatnya. Sementara di telinga Hanna, kalimat itu terdengar seperti sebuah harapan kalau suatu saat akan ada seorang laki-laki yang bersedia menerima dirinya dan Kania.

Asa hanya seorang wanita muda yang banyak memiliki cita-cita dan harapan. Sama seperti namanya, ia hanya ingin mewujudkan semua harapan-harapannya demi kebahagiaan diri dan keluarganya. Namun satu cobaan berat ternyata dihadiahi Allah padanya setahun yang lalu, saat kakak dan kakak iparnya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan dan meninggalkan seorang putri mungil yang kini berusia dua tahun. Dialah Kania, yang kini sudah menganggap Asa seperti ibu kandungnya sendiri.

Ratusan buku novel yang kini berjejer di rak-rak buku di hadapannya sedikit menyita perhatian Asa untuk melihat satu per satu isinya. Pikirannya sempat mengangkasa, kalau saja buku karyanya suatu saat nanti bisa menjadi salah satu buku best seller yang juga di pajang bersama buku-buku best seller lainnya, ah itu adalah salah satu impiannya. Masih sambil menggenggam dan membaca sinopsis salah satu novel terjemahan karya Beth Hoffman, ternyata hal itu membuat Hanna mencari cara lagi untuk kembali mengorek berbagai informasi tentang Asa. Sebelum pada akhirnya…..

“Aku tidak ingin menjadikan Kania sebagai kendala dalam hal ini.” Ucap Asa tiba-tiba seolah bisa mengeja pikiran Hanna barusan. “Sebab Kania adalah anugerah terindah almarhumah ibunya yang dititipkan Allah padaku. Kalaupun Allah memberikan izin untukku bertemu jodoh, pasti Allah akan memberiku yang terbaik. Aku hanya ingin memberikan kasih sayang yang utuh kepada Kania. Aku tidak tega jika melihat anak-anak lain mempunyai sosok yang bisa dipanggil ayah dan ibu, sedangkan Kania tidak. Bagi Kania, mungkin hanya aku yang bisa ia anggap sebagai seorang ibu. Hanya aku yang bisa ia cari saat ia bangun tidur, atau saat ia ingin mengadukan hal baru apapun yang ia lihat dalam kesehariannya.”

Asa kembali melangkahkan kakinya menyusuri rak-rak buku sambil jemari tangannya meraba beberapa cover buku lalu sesekali menariknya keluar rak dan membaca sinopsisnya. Hanna masih setia mengikuti aktivitas Asa di rak buku lainnya. Ada sesuatu yang dipikirkannya.

Setelah beberapa buku dibayar Asa di kasir, ia dan Hanna pun langsung menuju ke sebuah rumah makan khas Sunda yang ada di lantai yang sama dengan toko buku yang baru saja mereka tinggalkan. Setelah menemukan posisi yang nyaman mereka pun segera memesan makanan dan minuman. Salah satu buku yang tadi dibeli Asa agak merebut perhatiannya sehingga ia segera membuka plastik yang membungkus buku tersebut dan langsung membolak balikkan lembar demi lembar halamannya.

“Aku mengerti posisi dan keadaanmu Sa….” Ucap Hanna mencoba memberikan empati pada sahabatnya,”Tapi kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri….”

Asa langsung melepas pandangannya dari buku yang dibacanya dan melirik Hanna. Tajam. Hanna pun langsung salah tingkah dibuatnya. “Maaf Sa, bukan maksudku menyinggung atau….”

Asa tersenyum dan mengangguk, ”Aku rasa kamu belum benar-benar mengerti keadaanku Han….”

“….”

“Awalnya, Kania mungkin memang menjadi sebuah ‘ganjalan’ untukku memikirkan masa depan. Namun seiring berjalannya waktu, kurasa Kania bukanlah sebuah kendala yang harus aku carikan solusinya. Karena jika memikirkan jodoh, insya Allah jodoh yang kelak dihadirkan Allah adalah jodoh yang terbaik untukku. Jika kelak aku bertemu dengannya namun ia keberatan dengan hadirnya Kania dalam kehidupan kami nantinya, mungkin aku akan lebih memilih untuk tidak melanjutkan lagi hubungan itu. Paling tidak sampai Kania bisa benar-benar mengerti dengan hal apapun yang dapat aku jelaskan padanya. Tapi untuk saat ini, Kanialah yang menjadi prioritas utamaku.

“Kurasa sama halnya seperti perasaanmu terhadap kedua anakmu. Meskipun Kania bukanlah darah dagingku, tapi aku menyayanginya layaknya kamu menyayangi anak-anakmu. Meski mungkin porsinya tidak sebesar yang kamu punya untuk anak-anakmu.”

Hanna kembali terdiam. Tampaknya dia sudah kehabisan kata-kata dan sedang kembali menyusun rangkaian kata berikutya. Sambil berpikir, mungkinkah memang dia tidak bisa mengerti posisi yang dialami Asa saat ini. Sehingga ia sampai melupakan bahwa kondisi Asa pun sama seperti kondisi ia sebagai seorang ibu. Sama-sama ingin memberikan kasih sayang moral dan akhlak yang tulus pada buah hati mereka masing-masing.


“Bukan bermaksud untuk mengesampingkan pentingnya sebuah pernikahan,” Lanjut Asa menutup buku yang dibacanya tadi. “Tapi karena sebelum jodoh datangpun, Kania telah lebih dulu mengisi seluruh ruang hatiku. Dialah yang bisa membuat aku tersenyum setiap waktunya, dialah yang bisa mencintaiku dengan sebegitu tulusnya, dan kami saling mencintai dalam konteks yang berbeda. Sebagai ibu dan anak.

“Menyayangi Kania layaknya anak sendiri memang tidak memberikan keuntungan materi apa-apa padaku, tapi hal itu menimbulkan sebuah rasa bahagia tersendiri di dalam hatiku. Jika aku selalu prihatin dengan kondisi anak-anak yatim piatu di luar sana, bagaimana mungkin aku tidak merasa prihatin dengan keadaan Kania? Terlebih lagi dia adalah keponakanku sendiri. Setidaknya hatiku terpanggil untuk melakukan hal yang lebih dari sekedar prihatin. Yaitu memberikannya kasih sayang yang tidak sepenuhnya diberikan ibunya dulu.”

Mata Asa mengembun. Hanna melihat seperti ada butiran-butiran kristal halus yang membentuk gumpalan. Tangannya langsung menyodorkan sehelai tisu padanya.

“Aku tidak mengajukan banyak syarat pada ‘ia’ yang kelak akan datang sebagai jodoh untukku,” Lirih Asa sambil mengusapkan tisu tadi ke matanya yang sudah mengembun. “Jika kebanyakan tetangga berkata,’Wah tinggal cari bapaknya aja nih.’ padaku saat mengajak Kania bermain keluar rumah, aku tidak akan membuat ‘ia’ benar-benar menjadi ayah untuk Kania. Aku pun hanya ‘bunda-bundaan’ untuknya. Yang aku minta hanya, ‘ia’ bersedia menyayangi Kania layaknya ‘ia’ menaruh rasa prihatin pada anak-anak yatim piatu pada umumnya. Hanya itu. Kalaupun ‘ia’ tidak bisa menyayangi Kania layaknya anak sendiri, tidak masalah buatku. Asalkan ‘ia’ tetap mengizinkan aku membantu almarhumah Mbak Sanny untuk menjaga dan merawat Kania. Mengizinkan aku membantu beliau mengantarkan Kania sekolah, membantunya membesarkan Kania, paling tidak sampai Kania benar-benar mengerti kalau aku hanyalah tantenya. Aku tidak akan banyak menuntut apapun padanya atas Kania. Sebab Kania adalah tanggung jawabku dan keluargaku.”

Hanna mendengarkan Asa dengan seksama. Pikirannya semakin berkelana entah kemana. Kata demi kata pun sudah sangat baik dirangkainya di kepala untuk sekedar menguatkan dan menyemangati Asa, namun entah kenapa yang terlontar dari mulutnya bukanlah kata-kata yang dirangkainya tadi melainkan, “Lalu bagaimana jika kamu menikah dan punya anak? Bagaimana dengan Kania?”

Asa terdiam sambil melemparkan pandangannya ke luar. Sebelum sempat ia menjawab, seorang pelayan perempuan keburu datang membawakan pesanan mereka. Asa menjawab setelah pelayan itu pergi.

“Hah…” Asa menyandarkan tubuhnya, seolah hal itu dapat melepaskan sedikit kecemasan yang dirasakannya saat ini. “Itu adalah masalah yang tidak harus aku pusingkan sekarang Han. Toh jodoh pun belum aku temukan. Toh aku pun belum ada rencana menikah, meskipun keinginan itu ada. Tapi, jika aku pusingkan hal itu sekarang, bukankah hanya akan membuang-buang waktuku jika ternyata aku belum ditakdirkan menikah pada usia Kania yang baru menginjak 2,5 tahun? Hal itu bisa dipikirkan nanti saat waktunya memang sudah benar-benar tiba. Dan untuk saat ini, biarkan aku tetap fokus pada Kania dan segala macam kegiatan rutinitasku.”

Kembali Hanna hanya bisa terdiam. Selain mencermati setiap kalimat yang dijelaskan Asa, juga menyesali kebodohannya karena telah melontarkan pertanyaan itu pada Asa. Dan demi mencari pembenaran atas tindakannya itu, mungkin juga karena ia diburu-burui oleh misi yang saat ini tengah ia jalankan.

“Tapi pernyataan di atas kembali membuat aku mempunyai sebuah pemikiran Han...” Sambung Asa sambil mengaduk-aduk sedotan dalam gelas ice lemon tea nya, “Karena ternyata, logika kita dengan logika Allah itu sangat jauh berbeda. Perhitungan Allah dengan perhitungan kita itu berbeda. Kalaupun memang benar aku menikah dalam waktu dekat, dan timbul pertanyaan di atas, maka aku yakin hal itu bukanlah menjadi sebuah kendala yang besar. Sebab jika menurut logika manusia hal itu akan menjadi sebuah kendala yang besar, maka tidak bagi Allah. Sebab Allah memberikan kita masalah dan ujian pun pasti sudah melalui tahap perhitungan dan pertimbangan yang sangat matang. Karena sekali lagi, perhitungan Allah dengan perhitungan kita itu tidak sama. Jika Allah sudah memutuskan kita untuk menerima sebuah ujian, pasti Allah juga memberikannya satu paket dengan solusinya.

“Maka sekali lagi, aku tidak mau dipusingkan dengan hal-hal yang belum jelas kapan terjadinya. Karena hal itu hanya akan menghambatku untuk maju. Kalau aku dipusingkan dengan pertanyaan di atas, maka yang timbul adalah sebuah kasih sayang yang tidak tulus kepada Kania karena kekhawatiranku di masa depan. Padahal kapan terjadinya pun aku belum tahu.”

Asa menyelipkan sebuah senyuman di akhir ceritanya. Ia meminum sedikit ice lemon tea nya lalu menyantap makanan yang ada di hadapannya. Sambil menyantap juga makanannya, Hanna berpikir, apakah ia tidak salah memilih Asa? Apakah Asa adalah pilihannya yang tepat untuk Mirza? Adik iparnya yang pernah mendaulatnya untuk mencarikannya pasangan hidup. Seorang laki-laki dewasa yang sudah mapan, yang pernah berkata padanya, “Kalau aku menikah nanti, Insya Allah penghasilanku cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku Mbak.”

Hanna kembali berpikir, andai saja waktu itu Mirza mengatakan, “Kalau aku menikah nanti, Insya Allah penghasilanku cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku dan bantu-bantu sedikit keluarga istri Mbak.” Mungkin ia tidak akan seragu ini. Masalahnya bukan pada Asa, tapi apakah Mirza bisa menjadi sosok yang tadi dikatakan Asa? Tapi ia semakin yakin pada keteguhan Mirza mencari seorang istri. Dan semakin yakin kalau Asa adalah orang yang tepat untuk Mirza. Setiap rizki manusia itu sudah ditetapkan oleh Allah. Dan bukankah pernikahan merupakan sebuah jalan pembuka pintu-pintu rizki yang masih tertutup? Ah, semua itu bisa ia bicarakan nanti dengan Mirza.

Hanna masih memikirkan bagaimana caranya mengutarakan keinginannya itu pada Asa. Memperkenalkan Asa dengan Mirza, dan membuat mereka bisa mewujudkan dan menyatukan impian mereka masing-masing dalam bingkai sebuah pernikahan.

“Ah, jodoh itu misterius. Andai saja pernikahan itu layaknya membeli permen di warung. Semudah merogoh uang di kantong dan semudah memakannya, pasti akan mudah juga menjawabnya, ‘Kapan nikah?’”

Pasar Minggu, 2012, 10.44 PM

Silahkan download versi e-book nya di Dialog Asa