Hari Raya Idul
Fitri adalah hari yang mungkin sangat ditunggu-tunggu oleh semua umat muslim di
seluruh dunia. Pasalnya, hari besar Islam tersebut adalah momen yang dapat
dijadikan sebagai ajang bersilaturahim bagi sanak saudara, keluarga, dan
kerabat dekat. Di hari itu tak ada satu orang pun yang tak merayakannya dengan suka
cita. Hampir semua umat muslim tumpah ruah saling berkunjung satu sama lain
untuk saling memaafkan, membawakan makanan, dan berbagi rejeki. Tak jarang juga
mereka saling berbagi cerita satu sama lain. Yang pasti hari raya Idul Fitri
adalah momen yang tepat untuk mempererat tali silaturahim.
Yang namanya
bersilaturahim sudah pasti akan banyak cerita yang dibagi satu sama lain. Ada yang
bercerita tentang urusan keluarga, anak, tempat kerja, dan banyak lagi kisah
yang terurai di sana. Namun tak jarang juga kita dapati, ajang bersilaturahim
tersebut justru membawa ketidak nyamanan saat satu dua orang menyinggung atau
membahas hal-hal pribadi yang seharusnya tidak ditanyakan atau dibicarakan pada
momen itu.
Misalnya saja
dalam perkumpulan keluarga tersebut ada satu orang yang menanyakan pada
saudaranya, “Kapan nikah?” pada saudaranya yang belum juga menikah padahal
usianya sudah jauh dari kata cukup. Atau hal lainnya saat saudara yang lain
sudah lama menikah namun juga belum dikarunia keturunan, spontan mulut kita
bertanya, “Kok belum juga punya anak sih? Padahal nikahnya sudah lama.” Atau
ada juga yang suka membanding-bandingkan keadaan keluarga, anak, atau
pasangannya sendiri dengan keadaan saudaranya. Entah itu membanggakan diri dan
keluarganya sendiri, atau malah justru mengeluhkan keadaannya dan iri dengan
keadaan saudaranya yang lain yang mungkin hidupnya terlihat lebih baik dari
dirinya.
Apapun keadaan
dan kondisinya, ajang bersilaturahim seperti dalam perayaan hari Raya Idul
Fitri seharusnya bukan menjadi ajang menyakiti perasaan orang lain tanpa kita
sadari, atau sebagai ajang pamer apapun yang kita miliki pada orang lain yang
keadaannya mungkin jauh di bawah kita. Idul Fitri seharusnya dapat dimaknai
sebagai ajang saling meminta maaf, memaafkan kesalahan orang lain, dan memberi
kebahagiaan apapun bentuknya, termasuk dengan tidak menanyakan hal-hal yang
bersifat sensitif ataupun yang menyinggung perasaan orang lain.
Jika ada saudara
kita yang belum menikah, hal yang paling tepat dilakukan saat bertemu mereka
adalah mendoakan agar Allah segera mempertemukannya dengan jodoh terbaik, dan
bukan menanyakan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu jawabannya. Atau jika ada
saudara kita yang belum juga memiliki keturunan, hal yang paling bijak
dilakukan adalah mendoakannya supaya Allah segera memberi mereka amanah anak
yang shalih dan shalihah, sambil terus bersabar dan berdoa dengan penuh
kesungguhan. Dan kalaupun kita merasa kehidupan kita jauh lebih baik dibanding
kehidupan orang lain, tak perlulah kita membanggakan seberapa besar penghasilan
pasangan kita, seberapa tinggi jabatan suami kita, seberapa pintar anak kita di
sekolah, seberapa banyak perhiasan yang kita miliki, atau seberapa sering kita
pergi berlibur bersama keluarga, sebab hal itu hanya akan menimbulkan
kesenjangan antara sesama keluarga.
Pada akhirnya
silaturahim yang tadinya diniatkan sebagai ajang berbagi kebahagiaan, akan
berubah suasananya menjadi hambar dan tanpa makna sebab yang ada hanyalah rasa
sakit yang tak terlihat, atau rasa iri yang dirasakan orang lain tanpa
sepengetahuan kita. Ucapan maaf memaafkan yang awalnya terlontar indah, menjadi
semu kembali lantaran lisan kita yang tak terjaga.
Mari kita
jadikan momen Idul Fitri sebagai ajang untuk saling berkata baik, mendoakan hal
yang baik-baik, dan berbagi kebahagiaan dalam sebaik-baiknya bentuk.
“Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau
hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim,
no.47) (Sarah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar