17 April 2009

Izinkan Aku Cuti dari Da'wah ini



Jalanan ibukota masih saja ramai hingga larut malam ini, dengan kendaraan yang terus berlalu lalang, juga dengan kehidupan manusia-manusia malam yang seakan tidak akan pernah mati. Namun kini hatiku tak seramai jalanan di kota ini. Sunyi…

Itulah yang sedang kurasakan. Bergelut dengan aktifitas dakwah yang menyita banyak perhatian, baik tenaga, harta, waktu dan sebagainya, seakan menempa diriku untuk terus belajar menjadi mujahid tangguh.

Tapi kini, hatiku sedang dirundung kegalauan. Galau akan saudara-saudaraku dalam barisan dakwah yang katanya amanah, komitmen, bersungguh-sungguh namun seakan semua itu hanyalah teori-teori dalam pertemuan mingguan. Hanya dibahas, ditanya-jawabkan untuk kemudian disimpan dalam catatan kecil atau buku agenda yang sudah lusuh hingga pekan depan mempertemukan mereka lagi, tanpa ada amal perbaikan yang lebih baik. Ya… mungkin itu yang ada dibenakku saat ini tentang su’udzhan-ku terhadap mereka, setelah seribu satu alasan untuk berhusnudzhan.


Kini kutermenung kembali akan hakikat dakwah ini... Sebenarnya apa yang kita cari dari dakwah? Dimanakah yang dinamakan konsep amal jama’i yang sering diceritakan indah? Apakah itu hanya pemanis cerita tentang dakwah belaka?

Apakah ini yang disebut ukhuwah? Sering terlontarkannya kata-kata “afwan akh, ana gak bisa bantu banyak…” atau sms yang berbunyi “afwan akh, ana gak bisa datang untuk syuro malam ini…” atau kata-kata berawalan “afwan akh…” lainnya dengan seribu satu alasan yang membuat seorang akh tidak bisa hadir untuk sekedar merencanakan strategi-strategi dakwah kedepannya.

Kalau memang seperti itu hakikat dakwah maka cukup sudah “Izinkan aku untuk cuti dari dakwah ini”, mungkin untuk seminggu, sebulan, setahun atau bahkan selamanya. Lebih baik aku konsenstrasi dengan studiku yang kini sedang berantakan, atau dengan impian-impianku yang belum terpenuhi, atau… dengan lebih memperhatikan ayah dan ibuku yang sudah semakin tua, toh tanpa aku pun dakwah tetap berjalan, bukan???

Sahabat-sahabatku… . Memang dalam dunia dakwah yang sedang kita geluti seperti sekarang ini, tidak jarang kita mengalami konflik atau permasalahan- permasalahan. Dari sekian permasalahan tersebut terkadang ada konflik-konflik yang timbul di kalangan internal aktivis dakwah sendiri.

Pernah suatu ketika dalam aktivitas sebuah barisan dakwah, ada seorang ikhwan yang mengutarakan sakit hatinya terhadap saudaranya yang tidak amanah dengan tugas dan tanggungjawab dakwahnya. Di lain waktu di sebuah lembaga dakwah kampus, seorang akhwat “minta cuti” lantaran sakit hatinya terhadap akhwat lain yang sering kali dengan seenaknya berlagak layaknya seorang bos dalam berdakwah.

Pernah pula suatu waktu seorang kawan bercerita tentang seorang ikhwan yang terdzalimi oleh saudara-saudaranya sesama aktifis dakwah. Sebuah kisah nyata yang tak pantas untuk terulang namun penuh hikmah untuk diceritakan agar menjadi pelajaran bagi kita. Ceritanya, di akhir masa kuliahnya sebut saja si X (ikhwan yang terdzalimi) hanya mampu menyelesaikan studinya dalam waktu yang terlalu lama, enam tahun. Sedangkan di lain sisi, teman-temannya sesama (yang katanya) aktifis dakwah lulus dalam waktu empat tahun.

Singkat cerita, ketika si X ditanya mengapa ia hanya mampu lulus dalam waktu enam tahun sedangkan teman-temannya lulus dalam waktu empat tahun? Apa yang ia jawab? Ia menjawab “Aku lulus dalam waktu enam tahun karena aku harus bolos kuliah untuk mengerjakan tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan oleh saudara-saudaraku yang lulus dalam waktu empat tahun.”


Subhanallah… di satu sisi kita merasa bangga dengan si X, dengan militansinya yang tinggi beliau rela untuk bolos dan mengulang mata kuliah demi terlaksananya roda dakwah agar terus berputar dengan mengakumulasikan tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan teman-temannya. Namun di sisi lain kita pun merasa sedih… sedih dengan kader-kader dakwah (saudara-saudaranya Si X) yang dengan berbagai macam alasan duniawi rela meninggalkan tugas-tugas dakwah yang seharusnya mereka kerjakan.

Sahabat…. Semoga kisah tersebut tidak terulang kembali di masa kita dan masa setelah kita, cukuplah menjadi sebuah pelajaran berharga…. Semoga kisah tersebut membuat kita sadar, bahwa setiap aktifitas yang di dalamnya terdapat interaksi antar manusia, termasuk dakwah, kita tiada akan bisa mengelakkan diri dari komunikasi hati.

Ya, setiap aktifis dakwah adalah manusia-manusia yang memiliki hati yang tentu saja berbeda-beda. Ada aktifis yang hatinya kuat dengan berbagai macam tingkah laku aktifis lain yang dihadapkan kepadanya.

Tapi jangan pula kita lupa bahwa tidak sedikit aktifis-aktifis yang tiada memiliki ketahanan tinggi dalam menghadapi tingkah polah aktifis dakwah lain yang kadang memang sarat dengan kekecewaan-kekecewa an yang sering kali berbuah pada timbulnya sakit hati. Dan kesemuanya itu adalah sebuah kewajaran sekaligus realita yang harus kita pahami dan kita terima.

Namun apakah engkau tahu wahai sahabat-sahabatku? Tahukah engkau bahwa seringkali kita melupakan hal itu? Seringkali kita memukul rata perlakuan kita kepada sahabat-sahabat kita sesama aktifis dakwah, dengan diri kita sebagai parameternya. Begitu mudahnya kita melontarkan kata-kata “afwan”, “maaf” atau kata-kata manis lainnya atas kelalaian-kelalaian yang kita lakukan, tanpa dibarengi dengan kesadaran bahwa sangat mungkin kelalaian yang kita lakukan itu ternyata menyakiti hati saudara kita.


Dan bahkan sebagai pembenaran kita tambahkan alasan bahwa kita hanyalah manusia biasa yang juga dapat melakukan kekeliruan. Banyak orang bilang bahwa kata-kata “afwan”, “maaf” dan sebagainya akan sangat tak ada artinya dan akan sia-sia jika kita terus-menerus mengulangi kesalahan yang sama.

Wahai sahabat-sahabatku… memang benar bahwasanya aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, bukan malaikat, sehingga tidak luput dari kelalaian, kesalahan dan lupa. Tapi di saat yang sama sadarkah kita bahwa kita sedang menghadapi sosok yang juga manusia biasa? bukan superman, bukan pula malaikat yang bisa menerima perlakuan seenaknya. Sepertinya adalah sikap yang naif ketika kesadaran bahwa aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, hanya ditempelkan pada diri kita sendiri.

Seharusnya kesadaran bahwa aktifis dakwah adalah manusia biasa itu kita tujukan juga pada saudara kita sesama aktivis dakwah, bukan cuma kepada kita sendiri. Dengan begitu kita tidak bisa dengan seenaknya berbuat sesuatu yang dapat mengecewakan, membuat sakit hati, yang bisa jadi merupakan sebuah kezhaliman kepada saudara-saudara kita.

Sahabat…adalah bijaksana bila kita selalu menempatkan diri kita pada diri orang lain dalam melakukan sesuatu, bukan sebaliknya. Sehingga semisal kita terlambat atau tidak bisa datang dalam sebuah aktivitas dakwah atau melakukan kelalaian yang lain, bukan hanya kata “afwan” yang terlontar dan pembenaran bahwa kita manusia biasa yang bisa terlambat atau lalai yang kita tujukan untuk saudara kita.

Tapi sebaliknya kita harus dapat merasakan bagaimana seandainya kita yang menunggu keterlambatan itu? Atau bagaimana rasanya berjuang sendirian tanpa ada bantuan dari saudara-saudara kita? Sehingga dikemudian hari kita tidak lagi menyakiti hati bahkan menzhalimi saudara-saudara kita. Sehingga kata-kata “Akhi… ukhti… Izinkan aku cuti dari dakwah ini” tidak terlontar dari mulut saudara-saudara kita sesama aktifis dakwah. Semoga…

~an Sri Handayani an Farizal Al Boncelli an milis Alumni ROHIS 49

[cara bacanya : dari seorang ADF bernama Sri Handayani (makasih teh atas kirimannya! :) yang ditulis oleh Farizal Al Boncelli yang didapat dari milis Alumni ROHIS 49]

14 April 2009

Perjalanan Hidup Manusia

Manusia hidup dengan jalan hidupnya masing-masing. Ada yang kuliah, ada yang kerja, bahkan ada pula yang pengangguran. Ada yang kaya, ada yang sederhana, bahkan tidak sedikit pula mereka yang miskin. Jalan hidup memang merupakan kapasitas dan kadar kemampuan dari seorang hamba yang telah Allah berikan untuknya. Orang kaya di uji dengan kekayaannya, dan orang miskin di uji dengan kemiskinannya. Dengan segala perbedaan ujian itu, dapat dipastikan bahwa kapasitas dan kadar kemampuan seorang hamba pun juga berbeda-beda.

Banyak yang mengira bahwa menjadi kaya itu pasti menyenangkan. Tapi tak sedikit pula orang yang hartanya berlimpah justru kecemasannya berlebih dari orang yang kurang mampu. Cemas akan hartanya yang takut kehilangan, cemas akan kenikmatan duniawi yang dapat membuatnya lalai akan adanya Allah, dan cemas apabila dia mati nanti, dia akan meninggalkan hartanya yang tidak sedikit jumlahnya. Kecemasan-kecemasan seperti itulah yang akhirnya membuat banyak orang kaya menjadi stress.

Banyak, atau mungkin hampir semua orang yang kurang mampu, berharap bisa menjadi orang kaya. Bisa kerja, kuliah, mempunyai hand phone terbaru, memiliki banyak uang, selalu punya sepatu dan baju baru, dan segala kenikmatan-kenikmatan duniawi yang sebenarnya semua itu hanyalah teman sesaat kita di kala hidup di dunia ini. Setelah itu, tak dapat lagi mereka menemani kita di kehidupan selanjutnya. Hanyalah sebuah kain kafan berwarna putih, pakaian agung dari yang teragung, yang akan kita gunakan untuk menghadap Allah swt.

Jangan mengira memiliki semua kemewahan itu bisa membuat kita bahagia. Biasanya kemewahan itu hanyalah modal utama dari rasa keserakahan kita untuk memonopoli diri kita sendiri. SADARLAH! Mungkin semua itu bukan yang terbaik untuk kita. Bisa saja kemewahan itu akan membuat kita lupa akan adanya Allah, akan adanya alam akhirat, akan adanya syurga dan neraka, sehingga kita lalai akan kewajiban-kewajiban kita sebagai umat Nabi Muhammad saw.

Jangan pernah mengutuk diri sendiri jika kita terlahir sebagai seorang yang tidak berada. Sebab bisa jadi, yang sedikit itu mungkin bisa membawa kita pada keberkahan, membawa kita pada kebaikan, dan membawa kita pada ketenangan. Bisa jadi yang sedikit itu adalah amal untuk kita sebagai hamba yang selalu berucap syukur pada Allah swt di setiap keadaan. Insya Allah.

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah bersabda kepada kami, sedang beliau adalah orang jujur dan terpercaya, “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah (sperma) kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama waktu itu juga kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama waktu itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh kepadanya dan mencatat empat perkara yang telah ditentukan yaitu rizki, ajal, amal perbuatan, dan sengsara atau bahagianya.

Maka demi Allah yang tiada Tuhan selainNya, sesungguhnya ada seseorang diantara kalian beramal dengan amalan penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka. Ada seseorang diantara kalian beramal dengan amalan penghuni neraka, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan penghuni surga, maka ia pun masuk surga” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yakinlah pada diri sendiri. Rizki, jodoh, dan kematian sudah ditentukan oleh Allah. Kita sebagai hambaNya hanya tinggal menjalani tanpa terlepas dari ikhtiar, do’a, dan tawakkal padaNya, sesuai dengan jalan hidup kita masing-masing.

nurlailazahra

Boleh Nggak sih Jatuh Cinta?

Mungkin pertanyaan itu kini tengah mengusik hati ikhwan dan akhwat sekalian. Lantaran seringnya bertemu dalam kinerja da'wah yang membutuhkan komunikasi dan interaksi antar dua insan yang berbeda jenis tersebut. Seorang akhwat pernah bertanya pada temannya, "Boleh ga sih jatuh cinta?" Sang teman menjawab, "Boleh". Lalu si akhwat bertanya lagi, "Lalu penyikapan yang baik yang seperti apa yang harus dilakukan oleh seorang akhwat yang sedang jatuh cinta?" Sang teman menjawabnya lagi, "Kalau memang kamu sedang jatuh cinta, maka pendamlah cinta itu dalam-dalam di lubuk hatimu. Kalau memang jodoh, pasti ga akan kemana". Lantas si akhwat kurang puas dengan jawaban temannya itu dan berpendapat begini: "Ok. Katamu penyikapan yang baik bagi seorang akhwat yang tengah jatuh cinta adalah memendamnya dalam hati. Bukankah memendam cinta itu sama artinya dengan menaruh bayang-bayang seseorang selain Allah di hati kita? dan bukankah itu dosa?". Sang teman berpikir sejenak lalu menyahut, "Ya berarti si akhwat itu harus membuang jauh-jauh sosok si ikhwan itu dari hatinya. Karena khawatir hatinya itu akan terkotori oleh cinta kepada selain Allah". "Kalau akhwat itu harus membuang sosok ikhwan yang dia cintai, itu artinya seorang akhwat ga boleh jatuh cinta?" Sang teman hanya diam seribu bahasa tanpa bisa berkata apa-apa lagi. Dia pun juga tengah berpikir, "Apa iya akhwat tidak boleh jatuh cinta?"

Pertanyaan tersebut sudah sejak lama bersemayam dalam diri saya. Namun beberapa hari ini, saya telah menemukan jawabannya. Namun sebelum kita mengetahui jawaban itu, ada baiknya kita mengulas sedikit tentang jatuh cinta itu sendiri. jatuh cinta antara ikhwan dan akhwat kerap terjadi karena interaksi mereka yang cukup sering. Dimana ada ikhwan, disitu pasti ada akhwat. Sebab tidak mungkin di suatu acara, ikhwan yang memandu acara, ikhwan pula yang menyiapkan makan siangnya. Dan tidak mungkin pula akhwat yang menyiapkan konsumsinya, akhwat pula yang memasang tenda dan spanduk disana-sini. Kalaupun ada, mungkin acara itu hanya untuk kalangan ikhwan saja atau akhwat saja.

Yang awalnya tujuan berda'wah adalah untuk Allah, perlahan-lahan tujuan itu mulai bergeser. Datang ke acara Rohis yang awalnya ingin membantu ikhwah-ikhwah yang lainnya dan ingin berkontribusi disana, kini tujuannya ditambah, jadi sekalian ketemu dengan "si dia" yang kini bersemayam dihati. Yang awalnya masuk Lembaga Da'wah Kampus karena ingin menjadikan LDK sebagai wasilah da'wah kini tujuannya ditambah karena "si dia" juga masuk LDK. Dan mungkin masih banyak lagi tujuan-tujuan lain yang awalnya karena Allah, kini jadi ada penambahan karena "si dia".

Nah, jatuh cinta itu beragam penyebabnya. Ada yang jatuh cinta karena zahirnya, hartanya, keshalihannya, kebaikannya, atau mungkin karena suaranya yang ketika membaca Al Qur'an amat sangat merdu. Padahal mengenal orangnya secara dekat saja juga belum, hanya namanya saja. Hal-hal seperti itu yang tanpa kita sadari bisa membangun harapan dalam diri kita untuk bisa menjadikan "si dia" partner kita, baik dalam da'wah maupun dalam kehidupan. Alasannya sih mudah saja, "Karena 'dia' itu seorang aktivis da'wah, dia juga shalih, baik hati, jaga pandangan, baca qur'annya juga bagus. Jadi bisa dikatakan kalau aku itu jatuh cinta padanya karena Allah". Nah lho! Kalau sudah bawa-bawa nama Allah, bisa berabe nih urusannya. Asal tahu saja ya, jatuh cinta karena Allah itu bukan hanya karena "si dia" itu aktivis da'wah, dia shalih, dia baik, dan seratus dia-dia lainnya yang menimbulkan statement kalau kita jatuh cinta padanya karena Allah. Jatuh cinta karena Allah itu adalah jatuh cinta yang bisa membuat diri kita itu menjadi lebih baik dan lebih mencintai Allah. Kalau hanya karena keshalihannya semata tapi dia tidak bisa membuat diri kita menjadi shalih, maka bukan jatuh cinta karena Allah, tapi jatuh cinta (hanya) karena dia shalih (titik).

Nah sekarang, terkait pertanyaan diatas tadi, "boleh ga sih jatuh cinta?". Jawabannya, "Sekarang jatuh cintanya itu karena siapa dan karena apa?" (nah lho, bingung kan. Dikasih pertanyaan malah balik nanya). Seorang akhwat pernah menjawab, "Ya karena saya mencintai ikhwan itu. Ga ada alasan lain. Jatuh cinta ya jatuh cinta". Masya Allah!! Cinta seperti itu yang dinamakan cinta buta. Cinta yang tidak tahu asal usulnya darimana dan kemana tujuannya. jadi, kalau kita merasa tengah jatuh cinta pada seseorang, kita harus tanyakan dulu pada hati kita, "kenapa saya mencintai dia? Karena siapa dan karena apa?". Kalau jawabannya adalah karena Allah, patut kita pertanyakan lagi, "Apakah benar cinta itu karena Allah? Apa hanya karena dia itu seorang yang shalih dan alim, lantas kita menamai cinta kita itu karena Allah?". "Apa karena dia itu seorang ikhwan, atau akhwat berjilbab lebar?". Patutlah kita bertanya pada diri kita masing-masing. Kalau jawaban yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah karena "keduniawian", maka jawabannya adalah "TIDAK BOLEH JATUH CINTA". Karena apa? Seseorang yang tengah jatuh cinta pasti akan melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh mereka yang tidak sedang jatuh cinta. Meskipun para aktivis da'wah tahu betul bagaimana menjaga sikap dan pergaulan, tapi dari jatuh cinta dan memendam "si dia" dalam hati, itu akan membuat hati jadi terkotori dan ternodai. Seperti mencuri-curi pandang, membayangkan "si dia" kalau seandainya bisa menikah dengannya, mengkhayalkannya, membuat pusi-puisi indah untuknya yang tak ada satu orangpun yang tahu karena disimpan didalam buku harian, dan masih banyak lagi hal-hal yang sebenanrnya kecil dan sepele, tapi karena kita tanam rasa itu, lalu kita siram dan kita beri pupuk, maka semakin lama rasa itu terus tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya akan membuat zina di hati kita. Dan tanpa disadari, kita menjadikan Allah yang kedua di hati kita. (Na'udzubillah).

Kalau sudah seperti itu keadaannya, maka pantaskah kita jatuh cinta? Masih bolehkah kita jatuh hati pada seseorang? Jawabannya adalah, Hanya diri kita yang bisa menjawab pertanyaan itu. Tapi sekali lagi, mengutip perbincangan dua orang sahabat yang memperincangkan soal jatuh cinta tadi, maka bisa ditarik kesimpulannya. Jawabannya ada dua, penyikapan yang baik yang harus dilakukan oleh seorang akhwat yang tengah jatuh cinta adalah Pertama: mengatakan pada si ikhwan, kalau dia mau menjadi istrinya, atau yang Kedua: Melupakan si ikhwan tanpa memendamnya dalam hati karena khawatir takut mengotori hati. Tinggal dipilih yang mana. Dan jawaban atas pertanyaan, "Boleh ga sih jatuh cinta?" Jawabannya adalah, Boleh (ketika sudah menikah).

Wallahu 'Alam.

Nurlaila Zahra

Beda antara Cinta, Suka, dan Sayang

Dihadapan orang yang kau cintai,
musim dingin berubah menjadi musim semi yang indah
Dihadapan orang yang kau sukai,
musim dingin tetap saja musim dingin hanya
suasananya lebih indah sedikit
Dihadapan orang yang kau cintai,
jantungmu tiba tiba berdebar lebih cepat
Dihadapan orang yang kau sukai,
kau hanya merasa senang dan gembira saja
Apabila engkau melihat kepada mata orang yang
kau cintai, matamu berkaca-kaca
Apabila engkau melihat kepada mata orang yang
kau sukai, engkau hanya tersenyum saja
Dihadapan orang yang kau cintai,
kata kata yang keluar berasal dari perasaan yang terdalam
Dihadapan orang yang kau sukai,
kata kata hanya keluar dari pikiran saja
Jika orang yang kau cintai menangis,
engkaupun akan ikut menangis disisinya
Jika orang yang kau sukai menangis,
engkau hanya menghibur saja
Perasaan cinta itu dimulai dari mata, sedangkan
rasa suka dimulai dari telinga
Jadi jika kau mau berhenti menyukai seseorang,
cukup dengan menutup telinga.
Tapi apabila kau mencoba menutup matamu dari
orang yang kau cintai, cinta itu berubah menjadi
tetesan air mata dan terus tinggal dihatimu dalam
jarak waktu yang cukup lama.
"Tetapi selain rasa suka dan rasa cinta... ada
perasaan yang lebih mendalam.
Yaitu rasa sayang.... rasa yang tidak hilang
secepat rasa cinta. Rasa yang tidak mudah berubah.
Perasaan yang dapat membuat mu berkorban untuk orang yang kamu sayangi.
Mau menderita demi kebahagiaan orang yang kamu sayangi.
Cinta ingin memiliki. Tetapi Sayang hanya ingin
melihat orang yang disayanginya bahagia..
walaupun harus kehilangan."

12 April 2009

Malam yang resah......

Malam,
Ku yakin kamu tak tahu gelapmu membawa resah ..
Tidurku tak lagi lelap di dalam pekatmu.
Ada silhoute bermain dalam sisa lelahku
Kerap kali ..ketika harusnya mata ini terpejam..
Ketika tubuh ini sesaat meminta waktunya

Selalu ...

Ku coba mengabaikan ..
Menelantarkan nya
Hingga hatiku sendiri yang meminta ..
Untuk kembali mengembara didunia maya yg tak tergapai

Haruskah ..
Seperti ini adanya ...?
Ahh ....

Entahlah ......
Kau tak pernah menjawab resahku, malam...
Menjawab setiap galau hati yang tak terjamah

Esok mentari masih terus setia menanti
Mengucapkan selamat pagi
Akan kutanyakan ... padanya tentang diri
Haruskah tetap seperti ini ??

11 April 2009

Izinkan Aku Menciummu.....



Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Bayu Gautama, Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia, Kafemuslimah.com)