23 Maret 2011

Ketika Cobaan itu Menjadikanku "Naik Kelas"

Hari itu tepat empat hari tanteku dirawat diruang ICU Rumah Sakit Budhi Asih. Tepat di tanggal 17 Maret 2011, sekitar pukul 02.00 dini hari Rizky terbangun dari tidurnya. Biasa, memang agak rewel sejak ibunya dirawat dirumah sakit. Ketika kugendong tubuhnya, tiba-tiba aku merasakan sekujur tubuhnya panas. Ternyata suhu tubuhnya meningkat drastis. Langsung saja pagi itu nenek segera mencarikan obat sumeng pada saudaraku yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggalku. Rizky langsung kuminumkan obat tersebut. Tak lama setelah itu, suhu badannya agak turun dan kumpulan peluh menyelimuti sekujur tubuhnya. Awalnya hari itu aku berniat masuk ke kantor karena sehari sebelumnya aku sudah izin tidak masuk kerja. Namun karena keadaan yang memaksaku, akhirnya aku izin sehari lagi dari kantor.


Pagi harinya suhu badan Rizky sudah agak normal. Ia pun kutinggal mencuci pakaian, namun lagi-lagi ia maunya main air bersamaku. Awalnya sudah kularang namun ia menangis, alhasil kubiarkan saja ia main air, asalkan tidak membasahi tubuhnya, kupikir tak apalah. Toh ia hanya memasuk-masukkan tangannya saja ke dalam bak. Beberapa waktu berlalu, nenek dan Ulfa pamit padaku pergi kerumah sakit untuk menjenguk tanteku. Tinggal aku dirumah bersama dengan si Rizky dan ketiga sepupuku.

Sementara si Rizky tidur, ia kutinggal masak sebentar. Ketika aku sudah kelar memasak, tiba-tiba ada saudaraku yang silaturahim kerumah mengatakan kalau suhu tubuh Rizky naik lagi. Tubuhnya memang panas saat kutempelkan telapak tanganku di keningnya. Masya Allah. Aku mulai agak panik. Untungnya ibuku sudah pulang dari pasar dan membawa obat penurun panas dan obat batuk. Langsung saja kuminumkan obat penurun panas tersebut pada Rizky. Alhamdulillah panas tubuhnya sudah agak menurun, meski masih agak hangat bila disentuh tubuhnya. Keringatpun sudah mulai mengucur deras membasahi tubuhnya.

Keesokan harinya panas tubuhnya naik lagi. Aku dan keluarga kembali panik. Pagi sekitar pukul 05.00 WIB aku berniat membawa Rizky periksa darah ke Budhi Asih, tapi kata om ku pergi ke bidan saja yang buka praktek dirumah. Ya sudah, kuikuti saja sarannya. Setelah sarapan dan minum obat, panas tubuhnya kembali turun. Akhirnya aku bisa tenang berangkat ke kantor. Dikantor, aku selalu bertanya keadaan Rizky dirumah pada ibuku. Awalnya aku bisa cukup tenang mengetahui keadaan Rizky dirumah, akupun bisa kuliah dengan tenang di kampus. Namun ketika aku pulang dan mencari-cari Rizky, nenek bilang, ternyata Rizky dibawa periksa darah ke RS. Budhi Asih bersama dengan Om dan ibuku. Oh Rabb, langsung lemas rasanya diriku mendengar pernyataan nenek.

Dirumah, sungguh tak tenang rasanya aku melakukan apapun. Sampai pada akhirnya Om ku mengabarkan bahwa Rizky harus dirawat dirumah sakit karena ada infeksi dalam tubuhnya yang menyebabkan suhu panas tubuhnya turun naik. Lekosit tubuh normal yang seharusnya 10.000, tapi Rizky mencapai hingga 29.000. Oh, aku tak mengerti apa itu, tapi yang pasti aku langsung menyusul Rizky dirumah sakit naik motor dengan adik sepupuku.

Sesampainya di UGD, aku lihat ibuku tengah memegang tubuh Rizky yang hendak di tusukkan jarum infus. Ya Rabb, tak tega rasanya aku menghadapi hal itu. Namun aku harus kuat menghadapinya. Kubantu ibuku memegang tubuh Rizky sambil melihat dua orang perawat menusukkan jarum suntik ke lengan Rizky. Di lengan kiri tak ditemui urat nadinya, lalu pindah ke urat nadi lengan kanannya. Alhamdulillah ketemu. Tangisnya tak henti-henti sampai aku menggendong dan memeluknya. Yang paling menyayat hati, ia selalu memanggil-manggil ibunya, “mama…mama…”. Oh Rabb…

Tak berapa lama, sekitar pukul 22.00 Rizky akhirnya dapat kamar di lantai 5 ruang 510. Suhu badannya masih panas namun sudah agak sedikit tenang. Aku menjaganya malam itu bersama dengan kakak sepupuku. Malam itu Rizky sering sekali menangis sambil menyebut-nyebut “mama…mama…” Aku hanya bisa berdoa semoga Allah menyembuhkan tanteku.

Selama 3 hari 3 malam dirumah sakit, begitu banyak perasaan yang campur aduk dalam hatiku. Ada rasa lelah saat harus menghadapi Rizky yang tak henti-hentinya menangis kala ia ingat ibunya, ada rasa kantuk karena setiap malam aku tak pernah lelap tertidur hingga pagi menjelang, ada perasaan cemas karena khawatir sakitnya parah, ada perasaan sedih dan gelisah saat kurasakan ujian yang kualami begitu berat. Namun ada juga perasaan bahagia saat kulihat nafsu makan Rizky tak pernah menurun, malah cenderung meningkat. Dan mungkin hal itu yang menjadi salah satu faktor Rizky bisa cepat sembuh.

Senin pagi tanggal 21 Maret 2011 sekitar pukul 10.00 WIB, Rizky pulang dari rumah sakit. Aku senang sekali. Aku tak bisa menyaksikan kepulangannya kerumah karena saat itu aku masuk kerja. Aku hanya mengirimkan syukur pada Yang Kuasa karena Rizky sudah sembuh. Namun keesokannya, siang sekitar pukul 11.00 WIB, aku dapat kabar dari ibuku bahwa keadaan tanteku kritis. Langsung saja aku izin kembali dari kantor dan langsung meluncur kerumah sakit menggunakan angkot.

Sesampainya disana, kudapati beberapa keluargaku sudah datang. Aku langsung melihat keadaan tante diruang ICU. Ya Allah, sungguh tak tega rasanya melihat keadaannya kala itu. Kondisinya sudah tidak sadarkan diri. Nafasnya tersengal-sengal seperti kelelahan. Darah terus saja mengalir dari dalam mulutnya. Tubuhnya menjadi besar. Mungkin lantaran infusan yang tak henti-hentinya masuk dalam tubuhnya. Kulihat kakinya bengkak dan tubunya biru-biru seperti habis dipukuli. Aku hanya bisa beristighfar di depannya. Tak lama setelah itu aku keluar dan bergantian dengan saudaraku yang lain. Air mata tak henti-hentinya mengalir di pipiku.

Diruang tunggu, kuhidupkan murattal Surat Ar Rahman. Berharap agar hatiku bisa cukup tenang. Namun tak lama setelah itu, dokter menyuruhku dan keluarga untuk membacakan Qur’an dihadapannya. Oh Rabbi, apa maksudnya??? Beberapa keluarga masuk kedalam ruang ICU dan mendapati ruangan tanteku sudah ditutupi oleh tirai. Kakiku lemas. Namun kupaksakan untuk masuk kedalam. Disana kulihat nafas tanteku sudah tidak tersengal-sengal lagi. Keadaannya sudah lebih tenang. Namun apa arti dari ketenangannya itu? Aku dan suami tanteku tetap membacakan surat Al Qur’an dihadapannya, sampai tiba di pertengahan surat, dokter menyuruhku untuk minggir sebentar karena ia hendak memeriksa keadaan tante. Tapi sebuah pil pahit yang harus kutelan, tanteku ternyata telah tiada. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Aku dan kakak sepupu perempuanku langsung berpelukan cukup erat. Aku memeluknya dengan sangat erat karena sunguh-sungguh tak kuasa menerima kenyataan itu. Aku menangis sejadi-jadinya. Namun kakak menyadarkanku bahwa semua itu adalah kehendak Allah swt. Bahwa mungkin Allah lebih sayang pada tante. Dan kata-kata bijak lainnya yang berusaha ia ucapkan untuk tetap menguatkan aku dan dirinya.

Tak lama berselang, aku langsung keluar dan menunggu jenazah tante dikeluarkan dari ruang ICU. Lagi-lagi air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi wajahku. Begitu juga dengan semua keluargaku. Aku langsung mengabarkan ibuku dirumah bahwa tante telah tiada. Anak pertama tante yang memang tak ikut kerumah sakit, sudah pingsan duluan dirumah. Jenazah sudah dikeluarkan dari ruang ICU. Aku sempat membuka kain penutup wajahnya. Kutatapi wajahnya. Begitu tenang dan ikhlas. Seluruh tubuhnya bengkak. Kusentuh lengan kirinya, terasa amat keras. Aku sungguh tak tega melihatnya.

Setelah membacakan surat Yasin sebentar, lalu aku langsung pulang berdua dengan kakak sepupu perempuanku. Sepanjang jalan banyak yang kami kisahkan tentang masa lalu kami bersama tante. Jujur, aku tak pernah sanggup menahan laju air mataku.

Sesampainya dirumah, aku langsung memeluk nenekku. Aku berusaha menguatkan beliau dengan berbagai ucapan yang kumampu. Tak lama setelah itu, kuhampiri anak perempuan pertama tante, Ulfa, yang tadi sempat pingsan. Ia masih terkulai lemas diatas kasur sambil menangis. Kembali ia kupeluk dan kukuatkan dengan sugesti yang kubisa. Bahwa semua yang terjadi ini adalah ketetapan-Nya. Bahwa semua yang teah terlewati, mungkin ada sedikit andil kita sebagai makhluk yang tak pernah luput dari salah dan dosa. Bahwa mungkin, memang kita menyayangi tante, tapi yakinlah, bahwa Allah lebih sayang padanya. Ia kusuruh menangis bila dengan hal itu bisa membuatnya sedikit lega.

Aku mencari Rizky, ternyata tengah tertidur di kamar Om ku. Tak lama jenazah tante tiba dirumah duka. Jerit tangis senantiasa mewarnai suasana duka kala itu. Tak terkecuali aku. Tak lama setelah itu, Rizky bangun dari tidurnya. Ia langsung kugendong dan kutemukan ia dengan jenazah ibunya. Sesaat ia menatap wajah alm. Ibunya, tapi setelahnya ia menangis sejadi-jadinya. Segera saja ia kubawa keluar rumah untuk menenangkan diri.

Prosesi pemandian dan pengkafanan sudah selesai, aku yang tengah menyuapi Rizky, langsung dipanggil oleh ibuku. Dengan maksud untuk mencium jenazah tante untuk yang terakhhir kalinya. Awalnya aku ingin sekali menciumkan Rizky ke ibunya, tapi sebelum sempat ia kudekatkan ke ibunya, ia sudah keburu nangis duluan. Aku pun tak tega melihatnya. Setelah mencium alm. Tante, aku langsung membawa Rizky keluar rumah lagi.

Ba’da Maghrib, jenazah tante langsung dikebumikan di pemakaman Tanjung Barat. Aku dan Rizky mengiringi kepergian tante sampai setelah ia di sholatkan. Orang-orang menyuruh kami untuk melewati kolong keranda sebanyak tiga kali. Dengan maksud agar Rizky tidak selalu ingat dengan alm. Ibunya. Setelah itu, beberapa orang tersebut, siap membawa jenazah tante ke mobil ambulance. Aku dan Rizky menatap mereka membawa keranda dengan perasaan sedih. “Selamat jalan mama….” Kubahasakan hal itu pada Rizky. Kusuruh ia melambaikan tangannya sambil berucap, “Dadah mama…….”. Sesak dalam hati yang kurasa. Aku sengaja tak membawa Rizky ke pemakaman karena sudah malam. Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang tak menentu.

Malam hari Rizky kembali tidur bersamaku. Alhamdulilah tidurnya nyenyak. Hanya saja, ketika Rizky mendusin dari tidurnya sesaat dan kembali tidur, aku malah yang tak bisa tidur. Kulihat jam menunjukkan pukul 01.45. Aku baru menyadari, bahwa ternyata tante telah tiada dalam kehidupan kami. Kutatapi keempat anak tante yang memang sejak tante di ICU, mereka tidur denganku di ruang tengah. Mereka masih teramat kecil dan lugu untuk dipisahkan dengan ibu mereka. Aku tak habis pikir, bahwa ternyata mereka sudah tidak memiliki ibu. Masa depan mereka masih panjang, kehidupan yang harus mereka lalui masih penuh liku. Dan mereka harus melewati aral kehidupan, tanpa adanya sosok seorang ibu. Terlebih lagi Rizky, yang belum mengerti bahwa ternyata ibu yang selalu ia rindukan, ternyata sudah tidak bisa ia temui lagi untuk selamanya.

Banyak pelajaran yang bisa aku dan sekeluarga ambil. Begitu banyak hikmah yang bertaburan dibalik peristiwa ini. Kini, tak ada gunanya meratapi masa yang telah lalu, biarlah yang telah terjadi, menjadi sebuah pembelajaran bagi kami yang masih hidup. Kini tinggal menatap lurus kedepan untuk melanjutkan hidup yang ada. Masih ada 5 anak sebagai amanah tante pada kami sebagai keluarga yang masih hidup. Kami harus bahu membahu membesarkan mereka agr bisa tumbuh menjadi anak yang bisa membanggakan orang tua dan keluarga mereka.

Ada satu keinginanku saat ini, jika suatu saat aku menemukan jodohku, aku harap ia yang bersedia berbagi sisa hidup denganku, dengan senang hati juga mau menerima Rizky sebagai anaknya. Sebab aku berencana akan menjadikan Rizky sebagai anak asuhku. Itu azzamku sampai kapanpun.

“Selamat jalan tante, tenanglah kau disisi-Nya. Tak perlulah kau cemaskan anak-anakmu. Insya Allah mereka akan baik-baik saja bersama kami disini. Ikhlaskanlah mereka tan, agar mereka pun bisa ikhlas melepas kepergianmu, khususnya Rizky, yang selalu menyebut namamu…..”

Sekali lagi, selamat jalan tante…

16 Maret 2011

Ujian itu Berbuah Kesabaran yang Menguatkanku

Hari itu tanggal 14 Maret 2011. Kuingat, 3 hari lalu adalah tepat setahun kakek pergi meninggalkan aku dan keluarga besarku. Tak lupa pula doa tulus selalu kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa untuk ketenangan kakek disisi-Nya sana. Siang itu saat aku tengah berada di kantor, tiba-tiba ada pesan singkat dari ibuku yang memberitahukan Rizky (red-dede), tak henti-hentinya menangis lantaran ditinggal ibunya pergi kerumah sakit. Kupikir ibunya sedang melakukan proses persalinan karena memang ibunya itu tengah mengandung, namun ternyata ibunya itu sedang mengurus proses steril kandungan di Rumah Sakit Budhi Asih. Namun kabar terakhir yang aku dapat dari kakaknya dede (red-Ulfa) dan kakak sepupuku (red-abang Anam), ternyata ibunya dede memang benar-benar tengah melakukan proses persalinan. Sungguh saat itu aku benar-benar dilema, karena aku masih harus mengajar sepulang kerja lanjut kuliah dihari pertamaku masuk di semester 5.


Akhirnya kuhubungi ibuku dan minta pendapatnya apakah baiknya aku kuliah saja atau pulang saja karena si dede masih terus rewel. Akhirnya ibuku bilang bahwa baiknya aku libur kuliah saja pada saat itu. Ok, sepulang kerja aku tak langsung pulang kerumah, namun mengajar sebentar terlebih dahulu. Selesai mengajar aku langsung pulang. Tak lupa mampir ke warung untuk membeli susu dan beberapa makanan kecil kesukaan dede, kalau-kalau malam hari ia mau ngemil.

Sesampainya dirumah ternyata tangis dede sudah mereda. Aku pun agak sedikit tenang. Namun cerita lain kudengar dari saudaraku yang mengantar ibunya dede kerumah sakit. Ternyata ibunya dede mengalami pendarahan ketika ingin shalat Zuhur. Yang mana pendarahan itu terus saja terjadi sampai senja menjelang. Seiring berjalannya waktu, tiba-tiba Ulfa mengirimiku SMS dan mengatakan bahwa keadaan ibunya (red-tante) mulai melemah, begitu juga dengan bayi kecil yang ada dalam kandungannya. Hatiku sudah mulai cemas. Tiba-tiba sekitar pukul tujuh malam menjelang Isya, tiba-tiba Ulfa kembali mengabariku bahwa tanteku ternyata harus masuk keruang ICU karena kondisinya semakin melemah. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bergegas mengganti pakaian dan langsung berangkat ke Budhi Asih dengan abang Anam dan adik sepupuku (Ade), dan meninggalkan si dede dan beberapa kakaknya dengan ibuku dirumah.

Sesampainya di lantai 4 di Budhi Asih, kutemui Ulfa tengah menangis sembari ditemani temannya. Kamipun langsung menuju ke lantai satu untuk menemui bagian administrasi. Disana, mereka menjelaskan bagaimana prosedur untuk memindahkan tante keruang ICU, termasuk biaya-biayanya yang diperkirakan bisa sampai 5-6 juta perharinya. “Ya Allah, dari mana keluargaku bisa mendapatkan uang sebanyak itu??” Hatiku membatin.

Aku tak langsung mengambil keputusan untuk memindahkan tante keruang ICU. Aku hubungi beberapa keluargaku dan kumintai pendapat mereka tentang hal ini. Sampai pada akhirnya nenekku datang bersama pamanku dan diputuskan bahwa tanteku jadi dipindahkan keruang ICU. Masalah biaya itu bisa belakangan, yang terpenting nyawa tanteku bisa tertolong. Sementara itu Ulfa dan temannya pergi ke PMI untuk mencari darah karena tenteku benar-benar banyak kehilangan darah.

Aku dan beberapa keluargaku kembali ke lantai 4 untuk menunggu waktu pemindahan tante keruang ICU. Namun sebelum itu, aku, nenek, dan pamanku sempat menemui suster yang menangani tanteku. Ia memberitahukan sebuah kenyataan yang membuat hatiku bergetar hebat. Bayi dalam kandungan tanteku ternyata sudah tidak bernyawa sejak pukul setengah tujuh malam. Innalillahi wa innailaihi roji’un. Aku tak kuasa mendengarnya.

Kuputar saja murattal Surat Ar Rahman diruang tunggu kamar bersalin untuk menenangkan hatiku. Tak lama kemudian tanteku dipindahkan keruang ICU. Pada saat itu aku melihat kondisinya benar-benar lemah. Wajahnya sangat pucat. Ia tak henti-hentinya berzikir dan beristighfar. Sementara itu ia masih terus saja mengalami pendarahan. Sampai akhirnya tante masuk keruang ICU dan aku dan keluarga hanya boleh menunggunya diruang tunggu.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Mataku sudah benar-benar ngantuk. Akhirnya kuputuskan untuk pulang bersama nenek, abang Anam, dan Ade. Sementara itu aku dapat kabar dari Ulfa bahwa darah di PMI bisa di dapatkan nanti pukul 1 dini hari. Ketika aku dan yang lain sudah ada ditempat parkir motor, tiba-tiba ibuku mengirim SMS yang mengatakan bahwa si dede nangis dan tidak mau berhenti-berhenti.

Sesampainya dirumah, ternyata si dede sudah tidur, namun tak lama aku sampai dirumah, dede terbangun dari tidurnya dan menangis tak henti-henti. Alhasil aku terus menggendongnya sepanjang malam agar ia bisa tertidur pulas dalam gendonganku. Sesekali kuletakkan tubuh mungilnya di kasur, namun ia selalu menangis bila diletakkan dikasur. Akhirnya aku terus menggendongnya sepanjang malam, dan selama itu pula aku memejamkan mataku sambil berdiri. Ya Allah, lelahnya…..ditambah lagi, malam itu aku dapat kabar dari pamanku yang menjaga tante dirumah sakit bahwa ia harus menebus resep seharga 1,1 juta rupiah. Ya Rabb…..

Keesokan harinya aku tetap berangkat ke kantor karena akan ada rapat. Namun aku berangkat agak siangan karena dede masih saja rewel sambil memanggil-manggil ibunya “mama….mama”. Oh Rabb, hatiku benar-benar tersayat mendengar tangisannya itu. Dikantorpun, aku tak pernah bisa konsentrasi. Aku terus saja menanyakan keadaan tante dirumah sakit dan keadaan dede dirumah yang kutinggal bersama ibuku dirumah. Dikantor, tiba-tiba abang Anam mengabarkanku bahwa tanteku harus segera dioperasi untuk mengeluarkan bayi yang ada dalam kandungannya. Namun tak berapa lama, tiba-tiba abang mengirimiku SMS yang mangatakan bahwa bayi tante sudah keluar secara normal. Alhamdulillah. Namun satu kabar lagi yang mengejutkanku bahwa dokter mendiagnosa tanteku juga terkena DBD. Astaghfirullah.

Hari itu tidak ada jadwal mengajar, jadi sepulang kerja aku bisa langsung pulang kerumah. Ternyata dirumah sudah ada beberapa saudaraku yang datang dari Citayam dan Kali Sari. Mereka mengikuti prosesi pemakaman dede kecil yang diberi nama Zainab. Aku tak sempat melihat jasad bayi mungil itu. Namun doaku selalu menyertainya, dan berpikir positif saja, “Jika memang Allah tidak mengizinkan dede kecil Zainab itu untuk tetap hidup bersama kami, mungkin karena memang Allah lebih menyayanginya….”. Ketika aku sampai dirumah, kudapati dede tertidur pulas. Sampai ketika aku ingin shalat Maghrib, dede bangun. Aku kesulitan untuk mencuri waktu darinya karena ia maunya hanya denganku. Akhirnya dengan sedikit paksaan, nenek mengambilnya dariku agar aku bisa shalat Maghrib. Setelah shalat Maghrib, dede bersamaku lagi. Kuajak ia main keluar rumah. Disana ada beberapa temannya sehingga ia bisa sedikit melupakan rasa rindunya pada ibunya. Ia berlari kesana kemari seolah tak pernah ada beban dalam hidupnya. Aku begitu senang melihatnya tertawa dan bercanda riang dengan temannya meskipun kalau boleh jujur, aku sangat lelah. Karena tidurku semalam hanya sebatas memejamkan mata, tidak sampai terlelap.

Waktu terus berjalan, akhirnya dede pun mau tertidur. Ketika ia tidur, aku sempatkan untuk shalat Isya dan bebersih diri. Malam sudah cukup larut, aku pun berusaha untuk tidur disamping dede. Namun sesekali, disepanjang malam, dede sering terbangun sambil memanggil-manggil ibunya, “mama, mama…”. Hatiku benar-benar sedih dan pilu. Sambil menggendong tubuh mungilnya dengan mata yang sayup-sayup menahan kantuk, aku terus berdoa dalam hati pada Allah Sang Maha Pemberi, semoga Ia cepat menyembuhkan tanteku.

Alhamdulillah tidurku semalam agak cukup meskipun memang lebih sering bangunnya ketimbang terlelapnya. Namun tak apalah, aku pun senang. Keesokan harinya aku izin tidak masuk kantor, sebab aku harus menjaga dede dan kakaknya dirumah. Nenek dan abang Anam harus kerumah sakit mengantikan pamanku yang sudah semalaman menginap dirumah sakit. Pagi inipun pamanku tak langsung istirahat dirumah. Ia langsung berangkat ke Suku Dinas untuk mengurus SKTM untuk perawatan tante dirumah sakit. Bayangkan saja, kalau SKTM tidak diurus, bisa jadi biaya dirumah sakit semakin membengkak. Semalam saja, sebelumnya pamanku harus menebus obat rumah sakit sebesar 1,5 juta rupiah, namun tak lama setelah itu, ia mengabarkan lagi kerumah bahwa dokter menyuruhnya lagi untuk menebus obat sebesar 3,7 juta. Masya Allah, benarkah demikian adanya, atau memang hal itu hanya permainan pihak rumah sakit yang memang hanya ingin mengambil keuntungan dari rakyat kecil seperti kami? Astaghfirullah, bukan bermaksud untuk su’udzan, tapi memang hal itu benar-benar tak masuk di akal. Belum lama menebus obat yang jumlahnya tidak sedikit, eh sudah disuruh untuk menebus lagi. Bahkan tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Benar-benar mencekik. Akhirnya obat itu tidak langsung ditebus, namun menunggu esok hari ketika SKTM sudah jadi.

Hari ini aku tidak masuk kantor. Tugasku hari ini menjaga dede dan menunggu kabar dirumah. Pagi hari mandi (karena semalam banyak kena ompol dede, hehehe), lalu setelah itu menyuapi dede sarapan di depan rumah, sekalian ngumpul dengan beberapa tetangga disana. Nenek sudah berangkat kerumah sakit bersama abang Anam, siangnya Ade yang menyusul kerumah sakit. Kebetulan hari ini ibuku dagang dipasar. Jadi dirumah hanya ada aku, Ulfa, dan dede, dan anak tante yg keempat, Azmi. Sementara anak tante yang kedua dan ketiga (Tiara dan Intan) sudah berangkat ke sekolah sejak pagi tadi. Ulfa mencuci pakaian sedangkan aku mengajak main dede di depan rumah sembari menyuapinya.

Hari ini benar-benar hari yang special buatku. Hari ini aku seharian bersama dede. Mengajaknya bermain, memandikannya, menyuapinya, bahkan membersihkan kotorannya saat ia tengah buang air. Ah….indahnya bisa merasakan menjadi seorang ibu. Kala si dede tengah bermain dengan tetanggaku yang masih kecil, aku sempatkan berbenah rumah dan mencuci piring. Setelah itu aku ambil kembali dedenya. Ibuku pulang dari pasar. Ia pun segera bergegas untuk pergi juga kerumah sakit. Sebelumnya abang Anam dan Ulfa harus pergi ke PMI untuk kembali mengambil darah. Namun tak lama setelah mereka pergi, tiba-tiba Ulfa meneleponku dan mengatakan bahwa ia dan abang terserempet metromini. Masya Allah, Allah benar-benar tengah menguji keluargaku. Tapi Alhamdulillah mereka tak apa-apa dan bisa terus melanjutkan perjalanan mereka kerumah sakit. Sementara itu Dede nggak mau tetap diam dirumah. Akhirnya dia bermain dengan Azmi dan sepupuku yang lain, Alif, yang rumahnya tak jauh dari rumah nenek. Tak lama setelah itu aku pun berhasil menidurkan dede.

Sekitar pukul dua siang ibuku pulang dari rumah sakit. Alhamdulillah ia mengatakan bahwa keadaan tante sudah membaik. Ia sudah mulai sadar dan sudah tidak terlalu pucat seperti kemarin. Aku lega sekali mendengarnya. Mudah-mudahan saja besok tante sudah bisa dipindahkan keruang rawat inap. Sementara itu jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Sudah waktunya aku pergi mengajar lanjut kuliah. Untungnya nenek dan beberapa keluarga yang lain sudah pulang ketika si dede terbangun dari tidurnya. Jadi aku bisa meninggalkannya dengan tenang bersama mereka dirumah.

Sepulang kuliah, kutemui dede sedang asyik bermain dengan anggota keluarga yang lain. Aku senang melihatnya. Namun lagi-lagi, ketika aku hendak shalat Maghrib, dede kembali menangis dan maunya digendong sama aku. Kugendong sebentar lalu kuserahkan pada Ulfa. Selepas shalat Maghrib, Ade dan Tiara pergi kerumah sakit. Sementara itu si dede masih asyik bercengkerama dengan nenek dan Ulfa sehingga aku masih bisa membuka laptop dan menuliskan artikel ini, hehehe. Tapi selepas Isya, lagi-lagi aku harus menidurkan dede dulu baru bisa kembali bercengkerama dengan laptop :D.

Ini hari ketiga tante berada diruang ICU. Aku selalu berharap agar Allah memudahkan segala urusan keluargaku dan cepat memberi kesembuhan pada tante. “Tante, cepat sembuh ya. Beberapa hari saja tak ada tante dirumah, suasana rumah begitu sepi. Anak-anak tante pasti begitu merindukan hadirmu. Terlebih lagi dede Rizky. Meskipun ia amat dekat denganku, tapi tetap saja, aku tak akan pernah bisa menggantikan posisimu dihatinya. Cepat sembuh tante, dan cepat kembali bersama kami disini. Kami merindukanmu. Doa kami selalu menyertai kesembuhanmu. Amiin.”

Sekarang dede dah tidur. Mudah2an bisa lelap sampai pagi. Bagi para pembaca, mohon doanya ya biar kesehatan tanteku kembali lagi seperti sedia kala. Amiin. Makasih banyak :)



Gambar: Dede Rizky