26 Juni 2012

Makna Senyum dalam Ketegasan

Kita hidup tidak harus selamanya tersenyum dan menghadapi segala sesuatunya dengan senyuman. Ada kalanya kita harus bersikap tegas. Berani berkata ‘ya’ atau ‘tidak’, serta ada saat-saat tertentu di mana kita harus memvonis. Ada saatnya kita harus menentukan pilihan yang serba sulit yang mengundang resiko yaitu mengorbankan alternatif yang lain, dan terkadang sampai mengorbankan perasaan kita sendiri. Mungkin saja selama ini kita selalu terbiasa memberikan kesempatan akan suatu hal untuk dapat selalu memahami, mengerti, dan memaafkan atas apa-apa yang tidak sejalan dengan nurani kita.

Sikap tegas bukan berarti marah. Sebab tegas dan marah tidaklah sama. Dalam ketegasan tidak diperkenankan adanya pihak yang merasa tertekan atau tersakiti. Melakukannya pun tidak dengan wajah yang geram. Harus selalu ada unsur keteduhan dalam pandangan ketegasan. Harus bisa, dan bahkan harus terselip makna senyum dalam sikap tegas itu. Makna senyum, dan bukan senyuman.

Ketegasan bukan berarti berkata kasar dan kotor. Seorang muslim tetaplah seorang yang harus bisa menjaga lidahnya. “Seorang mukmin itu tidak biasa mencela, bersumpah serapah, berkata kotor, dan berkata kasar.” (HR. Tirmidzi)

Sikap memvonis sangatlah perlu kita miliki dalam diri ini sebagaimana yang pernah diteladani Rasulullah saat menjewer Anas bin Malik. Ketika beliau menjumpai Anas yang tengah bermain dengan anak-anak seusianya padahal ia tengah disuruh ke pasar oleh Rasulullah, Rasul pun segera mendekatinya dan menjewer telinganya. Anas pun tidak menangis karena ia tahu hal itu bukanlah kebiasaan Rasul. Dan begitulah keteladanan yang telah diajarkan Rasul saat beliau merasa perlu untuk berbuat tegas.

Kadang kita tidak terbiasa bersikap tegas dengan dalih tidak ingin menyakiti perasaan orang lain atau karena merasa tidak enak. Padahal pemaknaan yang salah akan menyebabkan sikap yang salah pula.

Untuk mempunyai sikap tegas, berani berkata atau melakukan sesuatu demi kebaikan bersama, serta tega untuk memvonis pada saat yang tepat diperlukan sebuah latihan. Perasaan yang tertekan di awal latihan adalah hal biasa. Latihan menata kata agar tidak menyakiti, bahkan bisa mengalirkan ketentraman. Agar orang tidak menjauh sekedar mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut dan tulisan kita. Latihan menyampaikan kebenaran dengan cara dan niat yang benar. Sejak awal niat kita adalah menyampaikan kebenaran dan bukan untuk menyiksa perasaan, mengalahkan orang lain, menyebarkan aib, apalagi mengunggulkan diri sendiri.

Sikap tegas harus dilandasi ilmu dan dalil yang kuat dan akurat. Sebab hal ini adalah masalah yang riskan terhadap perpecahan. Sekali lagi ketegasan ini perlu dilatih terus hingga mencapai puncaknya seiring dengan senyum. Karena memang hidup ini tidak semuanya bisa selesai dengan senyum. Walau senyum juga adalah sedekah. Ada sisi kehidupan yang mau tidak mau harus diselesaikan dengan sikap tegas, tentunya dengan makna senyum dan kedamaian yang terselip di dalamnya.