10 Desember 2010

Budaya Tertib Berkendara di Jalan Raya

Menaiki sebuah angkutan umum or kota atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan angkot, telah menjadi rutinitas harian saya setiap harinya. Berbagai jenis angkot dan tipe supirnya pun mungkin sudah hampir semua saya kenal, karena dalam satu hari bisa empat sampai lima kali saya naik angkot. Karena seringnya saya bercengkerama dengan yang namanya angkot, seolah telah menanamkan sebuah pemikiran dalam diri saya tentang budaya tertib mengendarai kendaraan.


Terakhir, sebelum saya memutuskan untuk menulis artikel ini, saya sempat menaiki angkot berwarna biru jurusan Pasar Minggu – Mekar Sari pada waktu malam. Ketika angkot berjalan perlahan, awalnya tak ada perasaan apapun, namun setelah beberapa lama roda angkot melaju, ada sebuah ketakutan tersendiri dalam hati, entah dengan penumpang yang lain.

Ketakutan itu bukan lantaran di dalam angkot ada seorang yang dicurigai sebagai copet or penjahat, melainkan karena si supir angkot membawa mobilnya secara ugal-ugalan. Hmm…sepanjang jalan saya hanya bisa berdzikir dalam hati semoga angkot yang saya tumpangi tidak mengalami apa-apa lantaran tidak mengindahkan budaya tertib di jalan raya.

Ditengah kondisi yang tegang itu, tiba-tiba saya kembali berfikir, selama ini setiap kali naik angkot, selalu saja hati saya ketar-ketir cemas lantaran kalau-kalau angkot yang saya tumpangi menyerempet mobil atau motor orang lain atau mungkin seorang manusia yang disenggolnya, karena saking cepat lajunya dan seolah tanpa perhitungan dalam menjalaninya.

Astaghfirullah….rasanya kok ya aneh, saya rasa hampir semua supir angkot bertipikal seperti itu. Buru-buru dan tidak sabaran. Padahal kalau boleh jujur dan ingin sekali saya sampaikan pada mereka, bahwa yang mereka bawa adalah sekelompok manusia dan bukan sekumpulan ikan teri. Kalau mereka tidak mengindahkan keselamatan dirinya dan orang lain, maka keselamatan seolah menjadi sebuah barang yang langka karena nyawa manusia lah yang menjadi taruhannya.

Dan semalam pun saya sempat mempunyai pikiran, bahwa kalau begini ceritanya, maka saya pun mungkin harus “menutup mata” jika ingin menaiki sebuah angkot. Yakin saja pada Allah bahwa saya dan penumpang yang lain akan baik-baik saja sampai tiba di tempat tujuan. Bukan apa-apa, tapi mungkin karena supir2 angkot merasa bahwa dirinya sudah handal dalam menyetir sehingga tidak perlu lagi memakai norma-norma budaya tertib dalam berkendara, maka saya pun perlahan sudah harus terbiasa dengan kondisi seperti itu. Pastinya tanpa terlepas dari berserah diri pada Allah bahwa hidup dan mati hanya hak prerogatif dari-Nya.

Artikel ini di ikutsertakan dalam kontes Aduk Pakde Cholik di Blogcamp

Pojok kamar, 22.12

8 Desember 2010

Sikap “Saling” akan Mengeratkan Sebuah Hubungan


Menjalin sebuah hubungan, entah itu hubungan persahabatan, persaudaraan, ataupun hubungan percintaan, sejatinya membutuhkan sikap saling mengerti dan saling memahami antara satu sama lain. Mengapa demikian?


Banyak orang mengatakan bahwa hubungan itu akan terjalin dengan baik jika satu sama lain yang menjalin hubungan itu saling terbuka, saling jujur, saling setia, saling cocok, dan bermacam-macam saling yang lainnya. Kesemuanya itu memang benar dan tidak ada salahnya. Bahkan dengan adanya rasa “saling” tersebut itu, bisa membuat suatu hubungan jadi lebih langgeng dan lebih awet.

Sikap “saling” dalam menjalin sebuah hubungan adalah point utama dalam kehidupan ini. Sebab sifat “saling” adalah memberikan satu sama lain, take and give, plug and play. Dimana jika yang satu sakit, maka yang lain menjenguk. Dimana jika yang satu terpuruk, maka yang lain menguatkan. Dan begitulah seterusnya hingga sebuah hubungan bisa berjalan dengan baik dan harmonis.



Sikap egois, ingin menang sendiri, pendendam, tidak mau mendengarkan masukan atau pendapat dari orang lain, teman, ataupun pasangan kita adalah sebuah sikap yang tidak baik dan bisa menyebabkan jalinan sebuah hubungan menjadi renggang.



Saling mengerti dan memahami adalah kunci dalam menjalin sebuah hubungan. Kedua sikap ini bisa diyakini dapat melahirkan beberapa sikap lainnya yang diperlukan dalam sebuah hubungan seperti saling setia, saling terbuka, saling mempercayai, saling jujur, saling menguatkan dan saling memaafkan jika yang satu merasa memiliki salah pada yang lain.

nurlailazahra