12 Maret 2010

Kenangan Bersamamu . . .


Lelaki tua itu menatap nanar perempuan yang ada di hadapannya. Ia tak lain adalah kakekku yang kemarin telah dipanggil oleh-Nya berpulang ke rahmatullah. Perempuan yang ditatapnya pun tak lain adalah nenekku yang ketika menghadapi ujian kehidupannya kemarin, ia sangat tabah dan tegar terlihat. Ia telah lama merelakan dan mengikhlaskan bila suatu waktu Allah mengambil suami tercintanya yang sudah 21 tahun menderita berbagai macam penyakit.

Sakit kakekku memang sudah cukup lama. Bahkan sudah menyamai usiaku kini. Tapi memasuki kategori parahnya baru beberapa hari belakangan ini. Yang aku tahu dari cerita tanteku, ia mengidap penyakit komplikasi jantung, paru-paru, liver, ginjal, darah tinggi, dan juga syaraf. Aku sendiri pun bisa membayangkan betapa menderitanya keadaan kakekku saat itu.

Namun selama bertahun-tahun mengidap berbagai penyakit itu, kakekku tak pernah mengeluh dan merasa kesakitan dengan sakit yang di deritanya. Ia tetap sabar, tabah, dan menerima kondisi yang dialaminya dengan penuh keyakinan di hati bahwa penyakit ini pasti akan sembuh. Maka dari itu ia usahakan penyakitnya supaya sembuh dengan terus melakukan berobat jalan selama bertahun-tahun di rumah sakit Fatmawati.

Selama bertahun-tahun meminum obat dokter, lama kelamaan ia pun mulai jenuh juga. Setiap hari harus menelan berbutir-butir obat yang tidak sedikit jumlahnya. Aku sendiri yang melihatnya setiap hari seperti itu, merasa mual dibuatnya. Aku pun mulai membayangkan bagaimana jika harus aku yang meminum obat itu selama bertahun-tahun. Pasti rasanya sudah jenuh dan mungkin aku tak setabah kakekku itu.

Karena merasa jenuh dengan sakitnya, beliau pun akhirnya pergi ke pengobatan alternatif. Dan sudah beberapa bulan sebelum beliau wafat, beliau sempat menghabiskan waktunya berobat di pengobatan alternatif di bilangan Cijantung.

Namun takdir berkata lain. Penyakitnya semakin memburuk, bahkan yang sebelumnya tak pernah aku dan keluargaku ketahui, beliau punya penyakit liver dan ginjal, ketika dua hari sebelum beliau wafat, dokter memberitahu bahwa kakekku mengidap dua penyakit yang tadi kusebutkan. Aku hanya bisa pasrah kepada-Nya. Aku hanya dapat berharap bahwa Allah senantiasa memberikan beliau yang terbaik.

Sebelum beliau masuk rumah sakit dan akhirnya wafat dua hari setelahnya, kakekku sempat hanya bisa terbaring lemas di tempat tidur, kira-kira selama hampir sepuluh hari. Sebelum hari-hari itu, beliau masih sempat bangun dari tempat tidur untuk mandi, wudhu, dan sholat, meskipun dengan kondisi yang terhuyung-huyung. Namun hal itu tidak berlangsung lama sebab penyakitnya semakin menggerogoti tubuh ringkih dan rapuhnya yang semakin hari semakin kurus.

Pada akhirnya, nenekku lah yang dengan setia merawatnya. Merawat dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan dihatinya. Nenekku sudah terbilang cukup tua di usianya yang hampir mengawali usia 70 tahun. Namun kondisi tubuh dan keadaan dirinya tidak pernah terlihat berbanding lurus ketimbang usianya kini. Ia masih gagah layaknya seorang perempuan tua yang baru berusia 50 tahunan, meski perawakannya terlihat kecil dan kurus, namun ia sangat gesit dan cekatan dalam beraktivitas.

Ya, perempuan tua yang kusebut nenek lah, yang selama beberapa terakhir ini merawat kakekku dengan setia dan penuh ketulusan. Ia selalu menemani kakek di sisa usianya, menyuapi makannya, membersihkan kotorannya, dan selalu bersikap sabar tatkala ia tak dapat tidur akibat kakekku yang sering membangunkannya untuk bertanya ini dan itu perihal keluarganya, ketika nenekku berusaha untuk istirahat sekedar memejamkan matanya yang terasa berat dirasa. Dan kuharap, nenekku bisa mendapatkan surganya atas kesetiaan dirinya menemani kakekku sampai akhir hayatnya.

Di akhir usianya, kakek dan nenekku tak sempat bertemu. Kakek wafat pada saat di rumah sakit yang hanya ditemani oleh menantunya. Sementara nenek sedang berada dirumah karena seharian telah menjaga kakek di rumah sakit sebelumnya.

Saat itu aku tengah tertidur lelap saat ponselku berbunyi menandakan ada panggilan masuk pada pukul 03.30 dini hari. No yang tidak kukenal. Aku pun tak mempunyai firasat apa-apa sebelumnya. Sebelum pada akhirnya aku mendengar suara dari seberang sana. Om ku !! Ia yang kemarin tengah menjaga kakekku di rumah sakit. Kujawab namun ia menanyakan om ku yang lain. Kebetulan saat itu, ada satu om ku yang tengah tertidur lelap juga. Mereka berdua pun akhirnya berbincang melalui ponselku. Entah apa yang mereka perbincangkan, tiba-tiba om ku yang ada di rumah segera bergegas merapikan dirinya hendak berangkat kerumah sakit menggunakan motornya. Ia tak banyak bicara namun suasana pada saat itu berkata lain. Ada hawa yang tak enak yang dirasakan oleh nenekku yang tidur di sebelah kamarku, yang tiba-tiba saja terbangun seperti ada kontak batin dengan almarhum kakek. Ia pun langsung cemas dengan keadaan kakek.

Tiba-tiba ponselku kembali berbunyi. Kembali satu panggilan masuk, namun kali ini nomornya berbeda dan aku tak mengenalnya. Kuangkat. Kali ini yang berbicara seorang perempuan, yang mengatakan bahwa keadaan kakekku di rumah sakit sudah kritis dan semua keluarganya disuruh kesana. Spontan seperti ada sebuah benda besar yang menghantam jantungku. Suaraku langsung bergetar hebat dan pikiranku berkecamuk entah kemana.

Aku langsung mengatakan hal itu pada nenekku. Ia pun segera bangun dari tidurnya dan segera bergegas merapikan dirinya. Aku pun segera menghubungi om ku yang lain yang tinggalnya tak jauh dari tempat kami tinggal untuk segera datang kerumah dan membawa nenek kerumah sakit sebab keadaan kakek sudah kritis. Setelah itu akupun membangunkan tanteku yang tinggal satu atap denganku. Setelah kuberitahu kabar itu, ia pun segera bangun dari tidurnya, merapikan dirinya, dan bergegas ikut dengan om ku yang tadi ada dirumah. Mereka segera berangkat.

Lalu aku menghubungi ibuku yang tengah berdagang di pasar. Setelah kuberitahu hal itu, ia pun segera menutup dagangannya. Aku segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat tahajud plus witir. Setelah itu aku segera merapikan diri untuk berniat pergi kerumah sakit juga.

Dirumah masih ada om ku yang satu lagi. Ia keluar dari kamarnya dan segera memeluk nenekku sambil menangis. Mereka berdua menangis. Sedang adikku juga ikut terbangun dan hanya bisa terduduk lemas di ruang tamu sambil meneteskan air matanya.

Setelah om ku yang tadi kuhubungi datang, nenekku segera meluncur bersamanya ke rumah sakit. Tak lama setelah itu ibuku pulang. Kami berdua pun segera bergegas untuk berangkat juga kesana. Rencana awal memakai kendaraan umum dan aku mengajak adikku namun ia tidak mau. Mungkin karena ia tak sanggup melihat keadaan kakekku disana.

Untunglah aku memiliki tetangga yang juga masih saudara, yang memiliki motor. Ada dua orang jadi pas untuk aku dan ibuku membonceng pada mereka. Sembari menunggu mereka merapikan diri, tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Dari nomor yang sama seperti yang sebelumnya. Kali ini suara om ku terdengar. Mengatakan bahwa kalau bisa semua keluarganya berkumpul saat ini dirumah sakit. Hatiku semakin sakit. Kali ini bukan hanya sebuah benda besar yang menghantam dadaku, tapi seperti ada jarum yang menusuknya kemudian menyayat-nyayatnya. Aku kembali bergetar, namun aku harus mengabarkan hal ini pada semua saudara-saudaraku yang lain.

Aku kembali kerumah untuk mengabarkan pada om ku dan adikku yang masih ada dirumah bahwa om ku yang dirumah sakit sudah mengabarkan hal tadi. Aku pun segera menyuruh mereka berdua untuk juga pergi kerumah sakit. Mereka akhirnya mau.

Kami pun pergi berenam dengan tiga motor. Jalanan masih sangat lengang sehingga kami bisa lebih cepat sampai ke rumah sakit, namun angin yang berhembus saat itu amat sangat membuat tubuhku terasa menggigil. Anginnya seolah masuk ke pori-poriku lalu menembus hingga ke tulangku. Yang aku lakukan saat itu hanya menangis sambil terus berdzikir melafadzkan asma Allah sepanjang jalan. Kilasan masa-masaku bersama kakek pun seolah tereview kembali. Air mataku semakin deras.

Kami tiba dirumah sakit. Aku, ibu, dan adikku segera menyusuri lorong yang bisa menghantarkanku bertemu dengan kakekku yang dirawat di sebuah gedung di rumah sakit itu bernama teratai. Om ku dan kedua orang tetanggaku menaruh motor di parkiran. Jalan itu terasa amat jauh kurasa. Kaki ini rasanya sudah ingin berlari sekuat tenaga untuk bisa segera sampai di tempat kakek. Tiba-tiba dipersimpangan lorong, aku berpapasan dengan om ku yang tadi membawa nenekku. Ia mengatakan bahwa kakek telah tiada. Oh Tuhan, bagai tersambar petir dada ini rasanya. Air mata segera mengalir dari kedua mataku.

Gedung itu sudah terlihat. Ada dua gedung disana. Aku, ibu, dan adikku memasuki gedung pertama. Sudah sempat menekan tombol lift untuk naik ke atas, tiba-tiba ada yang bertanya kemana tujuan kami. Setelah kami sebutkan, ternyata orang itu mengatakan bahwa kami salah gedung. Gedung yang dimaksud ada di sebelah gedung yang kami masuki.

Kami pun keluar dengan mengucapkan terimakasih dulu padanya. Kami masuki gedung yang dimaksud, menekan tombol lift naik ke lantai lima, dan kami temui keluarga kami disana. Aku segera berlari menuju kamar kakek. Disana, kudapati wajahnya sudah ditutup oleh selimut rumah sakit. Oh, betapa hancurnya hatiku ini. Aku tak sempat meminta maaf padanya. Ia sudah keburu dipanggil oleh-Nya.

Aku menangis didepan jasad kakek. Meminta maaf padanya yang sudah tak dapat lagi mendengar suaraku. Kutatapi wajahnya yang penuh dengan kepasrahan. Penyakit itu sudah tak ada lagi di dalam tubuhnya, namun kini ruh nya pun juga sudah tak ada lagi di jasadnya. Semua keluargaku yang hadir saat itu sudah tak dapat lagi membendung air matanya. Suasana saat itu sudah dibanjiri oleh lautan air mata.

Tiba-tiba adzan Subuh berkumandang. Aku dan sebagian dari kami melaksanakan sholat Subuh dan berdoa agar Allah berkenan menempatkan almarhum kakekku di sisi-Nya yang terbaik, sebab sepanjang aku hidup bersamanya, aku tahu bahwa almarhum beliau adalah orang baik yang rendah hati.

Setelah sholat Subuh, aku duduk di sebelah jasad kakek. Kubacakan surat Yasin dengan suaraku yang bergetar. Tiba-tiba suaraku terhenti dengan sebuah tangisan. Ada sesuatu ganjalan yang menghambat suaraku. Ya, sesuatu itu adalah sebuah penyesalanku karena sebelum meninggal, saat kakek masih berada di rumah, ia pernah menanyakan pada nenek kenapa aku tak pernah membaca Al Qur’an dihadapannya. Sebab selama ini jika aku baca Qur’an, aku selalu membacanya di kamarku.

Dan kini, ketika aku mempunyai kesempatan untuk membacakan Al Qur’an dihadapannya, ia sudah tak dapat lagi mendengar suaraku. Aku sungguh-sungguh menyesal. Mungkin ini adalah penyesalan terbesar sepanjang hidupku. Kembali kubacakan surat Yasin sambil terus menahan tangisku dan dengan suara bergetar. Penyesalan itu belum bisa aku hilangkan sampai sekarang. Dan mungkin takkan bisa hilang untuk selamanya, sebab kakek takkan bisa kembali lagi untuk selamanya.

Selesai membaca surat Yasin, kubuka selimut yang menutupi wajah kakek. Kupandangi lekat-lekat wajahnya dan kubelai. Sesekali aku mengusap tubuhnya yang tertutup selimut. Masih hangat. Kemudian kuciumi wajahnya yang sudah pucat. Lamaaa sekali. Sebagai tanda penyesalanku yang tidak sempat membacakan Al Qur’an dihadapannya. Lalu kembali kubelai wajahnya dan kututup kembali. Seketika air mataku jatuh deras.

Waktu berselang, jenazah kakek akhirnya bisa dipulangkan dengan ambulance. Aku, om, tante, dan kakak sepupuku ikut di dalam ambulance. Aku ingin terus menemaninya hingga peristirahatannya yang terakhir.

Sesampainya dirumah, tangisan kembali memecah. Dari sanak keluarga, saudara, dan tetangga. Jenazah kakek diletakkan diatas kasur yang sudah disediakan di ruang tamu. Waktu berlalu, para tetangga pun berdatangan untuk berta’ziyah dan mengucap bela sungkawa padaku dan keluarga yang ditinggalkan.

Sekitar pukul 09.30, ketika jenazah sudah ingin dimandikan, aku sempatkan kembali mencium wajah almarhum kakek. Kali ini pun cukup lama. Sampai salah seorang keluarga mengusap-usap bahuku dan mengisyaratkan untuk menyudahinya. Bibirku bergetar, tanganku bergetar, seluruh tubuhku bergetar saat aku harus menyudahi mencium wajah kakek untuk yang terakhir kalinya.

Tak berapa lama, jenazah kakekpun dimandikan. Pada saat itu, anak bungsu kakek yang juga om ku yang tadi membawa nenekku kerumah sakit, tak kuasa menahan laju air matanya. Ia sesenggukan dan menangis sangat keras. Aku dan keluarga yang lain pun ikut menangis. Tak kuasa rasanya melihat tubuh ringkih kakek dimandikan. Ia sudah tidak lagi berdaya atas dirinya sendiri.

Setelah dimandikan lalu dikafankan. Aku menyaksikan hal itu bersama keluarga yang lain dan para tetangga. Lagi-lagi aku dan keluargaku tak dapat menahan lajunya air mata yang mengalir deras. Bayang-bayang kakek yang selalu tersenyum, yang selalu menasehati anak cucunya untuk sholat, tiba-tiba saja hadir di depan mata. Ada sesak yang kurasa di dada. Saat kain kafan menutupi seluruh tubuhnya. Saat hanya tinggal wajahnya saja yang belum ditutup dan para petugas yang mengkafankan jenazah kakek menyuruh siapa yang ingin mencium almarhum untuk yang terakhir kalinya, aku tak kuasa menahan tangis. Om ku yang tadi berangkat kerumah sakit bersama adikku, menghapus air matanya dan menciumi pipinya dengan cukup lama. Kemudian disusul keluarga lain yang turut mencium almarhum untuk yang terakhir kalinya. Aku hanya dapat memandangi hal itu dengan hati yang semakin dibasahi oleh kesedihan yang cukup mendalam.

Waktunya jenazah almarhum disholatkan di mushola dekat rumah untuk selanjutnya di kebumikan di TPU Tanjung Barat. Aku pun ikut ke pemakaman. Setelah prosesi pemakaman selesai, kami menaburi bunga dan air mawar di atas tumpukan tanah yang menimbun jasad kakek. Adzan Zuhur berkumandang, kami pun segera pulang meninggalkan kakek sendiri di TPU. Aku hanya menangis dalam hati.

Kakek, adalah sosok yang sangat aku sayangi di dunia ini. Ia selalu mengajarkan kepada kami, para anak dan cucunya untuk selalu sabar, tersenyum, dan rendah hati. Di lingkungan sekitar rumah kami, kakek adalah salah satu sosok yang cukup dikagumi karena kemurahan hatinya. Biasanya, setiap pagi almarhum selalu membersihkan selokan yang ada di depan rumah kami. Menyapu pelatarannya dan membuang sampah. Setiap kali ada orang yang lewat dihadapannya selalu disapanya sambil tersenyum. Ia begitu ramah pada siapapun, tak terkecuali anak kecil.

Ia begitu sayang pada cucu-cucunya, termasuk aku. Sebelum beliau meninggal, beliau pernah berkata padaku bahwa ingin membelikan aku motor. Namun aku menolaknya lantaran aku tak bisa mengendarai motor. Ketika sakit dan hanya bisa terbaring di tempat tidurpun, almarhum beliau selalu menanyakan aku. Itu juga kata nenek.

Kakek sudah seperti sosok ayah dalam kehidupanku. Ia berperan ganda sebagai kakek dan ayah bagiku sejak ayah kandungku berpisah dengan ibu dan meninggalkanku. Selama hampir seluruh usiaku kuhabiskan hidup bersama dengan nenek dan almarhum kakek. Maka itu, aku sangat merasa kehilangan akan kepergiannya. Namun kuyakin, inilah yang dinamakan takdir. Sudah tercatat dalam lauwh mahfudz-Nya bahwa usia, jodoh, dan kematian setiap orang sudah ditetapkan oleh-Nya, hanya tinggal menunggu waktu.

Dan kakek, memang sudah waktunya ia harus pulang ke pangkuan-Nya. Dan kami sekeluarga disini sudah ikhlas menerima takdir itu dan melepasnya pergi dari kehidupan kami.











Selamat jalan kakek !!
Doa kami akan selalu menyertaimu....


Cucumu,
Sarah...

2 komentar:

jayengbaya mengatakan...

Turut berduka sedalam dalamnya, semoga amal ibadah kakek di terima Allah SWT

Sarah mengatakan...

Amiin. Terima kasih banyak atas ucapannya.