12 Juni 2017

DEWASA, ADALAH SEBUAH PILIHAN DAN KEBERANIAN

      Bagiku, berani dewasa bukanlah urusan usia – meski usia memang memiliki kontribusinya – tapi ini soal sikap. Soal keberanian memilih mana sesuatu yang terbaik dari berbagai pilihan yang ditawarkan hidup. Berani menjadi dewasa adalah pilihan hidup yang tidak sederhana. Sebab menjadi dewasa bukan semata karena usia yang semakin bertambah, ia lebih kepada berani mengambil keputusan sikap, sudut pandang, pola pikir, dan tindakan nyata yang didasarkan oleh kesadaran penuh.
Dan saat ini, aku tengah belajar untuk memahami semua itu...
     Saat Tuhan tengah menggunakan hak prerogatif-Nya dalam hidupku, saat itulah aku mencoba mengambil sikap, keputusan, untuk berani menjadi dewasa. Meski saat itu usiaku masih terbilang cukup belia, dua puluh satu tahun, namun dengan penuh keyakinan dan kesadaran aku mengambil keputusan itu. Jalan yang mungkin tidak mudah untuk kulalui, penuh onak dan duri, namun aku sudah terlanjur berada dalam keputusan hidup yang tidak mudah. Aku memilih untuk menjadi seorang Ibu bagi seorang piatu bernama Riski, adik sepupuku sendiri.
Hidup sebagai seorang ‘single parent’, terlebih saat Tuhan belum mengirimkan seorang pendamping, jelas merupakan sebuah beban tersendiri untukku. Di satu sisi aku harus memikirkan tentang tumbuh kembang Riski dengan segala macam keperluannya termasuk pendidikan, gizi, dan kesehatannya, namun di sisi yang berbeda, dalam waktu yang bersamaan aku juga harus tetap memikirkan tentang hidupku. Hidup yang harus terus berjalan, tak peduli apakah aku masih terengah-engah mengatur nafas, atau sedang beristirahat karena kelelahan, hidup akan terus menuntutku untuk terus bergerak. Ya, bergerak. Berpindah dari satu takdir ke takdir berikutnya. Begitu seterusnya, sampai mungkin kelelahan ini akan merasa lelah mengejarku.
Aku bukanlah wanita perkasa. Bukan juga wanita hebat yang bisa menyelesaikan segala macam permasalahan hidup dengan cepat. Aku hanya wanita biasa yang – alhamdulillah – masih diberi kesempatan untuk bisa lebih mendekatkan diri padaNya dengan cara merawat seorang anak piatu yang tak lain adalah adik sepupuku sendiri, Riski namanya. Lengkapnya, Muhammad Fariski. Ia menjadi piatu sejak usianya satu setengah tahun. Ibunya, yang juga Tanteku, meninggal saat hendak melahirkan anak keenamnya. Riski adalah anaknya yang kelima.
Kala itu aku masih ingat betul. Saat di mana Tante meninggal, tepat saat aku hendak membacakan surat Yasin di hadapannya. Aku sengaja pulang kantor lebih awal karena Ibuku sudah mengabarkan sesuatu yang membuat dadaku sesak. Keadaan Tante, yang sebelumnya sudah menunjukkan perkembangan yang bagus di ruang ICU, nyatanya saat itu kondisinya semakin menurun. Kritis.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit aku menangis tiada henti. Bayangan dan kenangan tentangnya terus berputar di memoriku. Jujur saja saat itu aku merasa tidak akan pernah siap bila Tante harus pergi secepat itu meninggalkan aku, keluarga besar kami, dan kelima anaknya.
Aku sedih, sampai aku harus beberapa kali menghapus air mata yang berlinang membasahi pipiku. Sesekali angin sepoi membasuhnya hingga ia berhasil mengeringkan sebagian wajahku yang basah akibat air mata.
Bagiku, ia lebih dari seorang Tante buatku. Kami sudah bertahun-tahun tinggal bersama dalam satu atap yang sama. Bersama Nenek, Kakek, Ibu,dan beberapa keluarga kami lainnya, termasuk anak-anak Tante yang lima orang itu. Maka dari itu, rasanya wajar bila aku sudah menganggapnya sebagai ibu kedua buatku.
Dibanding Ibuku sendiri, Tante adalah seseorang yang sering menjadi tempatku mencurahkan segala perasaan. Meski terkadang ada riak-riak kecil dalam hubungan kekeluargaan kami, namun di lubuk hatiku yang terdalam, Tante adalah sosok yang begitu kusayangi sepanjang hidupku. Ia adalah wanita yang kuat. Wanita tegar nan perkasa yang tak pernah mengenal kata menyerah dan putus asa untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya.
Ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Kakekku hanya seorang pensiunan PNS sementara Nenekku hanya seorang ibu rumah tangga. Tante menikah dengan seorang laki-laki yang usianya jauh lebih tua darinya pada saat usianya belum genap dua puluh tahun. Sepanjang perjalanan rumah tangganya, ia hidup dalam himpitan ekonomi yang tak berkesudahan. Suami yang semakin hari semakin tua dan sakit-sakitan, sementara anak-anak semakin besar dan membutuhkan banyak biaya, membuat Tante hanya bisa menjerit dalam batinnya. Ia yang mengurus keluarga, ia juga yang harus mencari nafkah.
Belasan tahun ia berjuang melewati getirnya hidup demi mencari ridho Ilahi atas kesabarannya menanggung semua beban. Ia yang tak pernah mengeluh meski lelah selalu menyambangi raga, ia yang tak pernah bercerita apapun pada kami meski beras di rumahnya telah habis, ia yang tak pernah terlihat bermuram durja meski ia sendiri bingung akan diberi makan apa anak-anaknya esok hari. Yang ia lakukan hanya diam. Menahan segala beban hidupnya sendiri dalam hati, sambil terus berusaha melakukan apapaun yang ia mampu agar kebutuhan keluarganya terpenuhi.
Dari hasil jerih payahnya, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya. Meski untuk makan sehari-hari saja ia harus menyelesaikan jahitan demi jahitan dulu – karena ia adalah seorang penjahit – tapi Tante menjalani hidupnya seolah tanpa beban. Lebih dari delapan belas tahun ia mengabdikan dirinya sebagai seorang istri yang penyabar. Selama itu pula ia banting tulang menghidupi keluarganya, sampai ia mempunyai lima orang anak.
Namun di penghujung hidupnya, Allah kembali menitipkan seorang buah hati lagi dalam rahimnya. Seorang bayi mungil, yang sebenarnya sempat tak diharapkan oleh keluargaku. Bukan karena kami tidak menyayanginya, namun mungkin karena kepicikan kamilah yang membuat kami merasa kasihan pada Tante jika harus kembali menanggung beban hidup yang semakin berat. Ia yang sudah kepayahan mengurus kelima anaknya seorang diri karena kenyataannya suami yang begitu ia cintai tidak mampu memberikan mereka nafkah, mungkinkah harus terus berjuang seorang sendiri membesarkan anak yang saat itu ada dalam kandungannya?
Dan aku tahu, bahkan sangat paham, bahwa selama sembilan bulan mengandung buah hatinya itu, bukan hal yang mudah baginya saat harus melewati ujian demi ujian yang menghampiri hidupnya. Keadaan ekonomi yang semakin melemah, suami yang semakin tua dan sakit-sakitan, anak-anak yang semakin besar dan membutuhkan banyak biaya, sementara kandungannya semakin besar hingga membuat ia semakin kepayahan mengurus semua hal sendirian.
Hingga pada akhirnya Allah tahu betul, bahwa segala ujian hidupnya selama ini, nyatanya telah melebihi kapasitas kemampuan yang ia miliki. Ia menghembuskan nafas terakhirnya, tepat saat aku hendak membacakan surat Yasin di hadapannya. Di sebuah ruangan yang sangat dingin, ditemani oleh sanak keluarga, dokter, dan beberapa perawat. Bersama sejuta kenangan yang tiba-tiba beterbangan di kepalaku, aku sadar bahwa mulai detik itu, aku sudah tidak bisa lagi melihatnya tersenyum.
Ia… pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan kami, anak-anaknya, dan sejuta impian yang belum sempat ia raih.
Dan sejak saat itulah perjuanganku dimulai….

Tidak ada komentar: