7 Juni 2013

Depok, I'm (lost) In Love

Siang yang sangat menyengat. Sengaja kupercepat langkahku secepat kilat agar terik mentari tidak terlalu banyak menyengat kulitku. Angin yang berlari di atas kepala pun sengaja mengajak kerudungku menari-nari di tengah ayunan langkahku. Aku agak telat untuk pertemuan kali ini. Pasalnya, aku harus mencari di mana novel kesayanganku berada. Aku lupa menaruhnya setelah semalam aku membacanya untuk yang kesekian kalinya. Aku harus membawa novel itu. Sebab tanpanya, aku akan kehilangan semangat untuk hari ini.

Kota Depok masih tampak indah di pandanganku. Setidaknya, masih ada satu bagian kecil yang membuatku tidak bisa lupa dengan kota belimbing ini. Di sanalah aku pernah memiliki sebuah kenangan indah dengan masa lalu. Berbagai peristiwa yang kualami, sebagian besar terjadi di sana.

Langkahku semakin cepat. Aku tak mau teman-temanku lama menunggu. Berbagai macam mobil berlalu lalang di bawah jembatan yang kulalui sekarang. Jembatan penyebrangan ini, dulu sering kulalui bersama teman-teman kampus saat kami hendak berkumpul bersama meski hanya sekedar bersenda gurau sambil ngafe. Namun setelah lulus, jarang sekali rasanya aku ke mall tempat kami kumpul bersama dulu. Dan kini, untuk pertama kalinya sejak terakhir aku menginjakkan kaki ke tempat itu beberapa tahun lalu, aku kembali menyeberangi jembatan penyebrangan itu. Rasanya tidak percaya jika aku harus bertemu dengan mereka, teman-teman masa kuliahku dulu, dengan penampilan yang pasti sudah sangat berbeda dengan dulu. Sepuluh tahun yang lalu.


Mall ini benar-benar sejuk, dan nyatanya berhasil menyingkirkan segala peluh yang sejak tadi mengaliri tubuhku. Aku langsung bergegas mencari kafe tempat kami biasa berkumpul dulu. Mall ini benar-benar berbeda dari yang dulu kuketahui. Sudah banyak perubahan di sana sini, juga jalanan menuju kafe yang - entah terlalu rumit untuk dihafal atau karena memang aku nya yang masih harus beradaptasi untuk hal-hal baru seperti ini – membuatku agak meraba-raba di mana letak kafe itu.

Akhirnya ketemu juga. Senang rasanya meski dari kejauhan, tapi mereka yang sudah berkumpul lebih dulu di sana melambai-lambaikan tangan ke arahku. Aku segera berlari kecil menghampiri mereka. Menatap mereka satu per satu sambil membatin, waktu sepuluh tahun ternyata tidak hanya bisa mengubah mall ini menjadi lebih bagus, namun juga bisa mengubah penampilan teman-temanku menjadi lebih modis. Tapi mereka tetap sederhana, tetap menjadi diri mereka sendiri meski kini sudah berubah status menjadi seorang istri dan ibu.

Kami banyak berbincang dan tertawa. Melewati waktu dengan bertukar cerita dan kenangan masa lalu. Kebersamaan ini benar-benar membuatku bahagia. Jarang-jarang aku bisa melepas penat dengan berkumpul dengan teman-teman terbaikku. Bersama mereka, bisa sejenak membuatku lupa akan penatnya kesibukan di kantor. Namun di tengah perbincangan kami, tiba-tiba saja Mawar melempar pertanyaan yang membuatku menahan tawa sejenak. “Jadi, kapan kamu nikah, Ras?”

Aku terdiam. Tiga kawan yang lain pun mengikuti tindakanku. Namun hanya sesaat, karena aku memilih untuk kembali tertawa sambil memikirkan jawaban yang paling tepat untuk pertanyaannya. Semua jadi ikut tertawa kembali, namun entah mengapa, pertanyaan klise ini sering kali membuatku beku, dan ujung-ujungnya hanya melahirkan jawaban, “Belum ketemu jodohnya,” sambil meringis menahan senyum.

Di menit ke 105, Mawar, Reni, dan Tari izin untuk ke toilet sebentar. Di meja hanya tinggal aku dan Farah. Kami berbincang tentang kehidupan kami masing-masing, namun kali ini lebih spesifik. Tepatnya, tentang masa laluku. Farah betul-betul tahu tentang hal itu. Tentang bagaimana sempurnanya aku menyembunyikan perasaan pada seorang laki-laki yang usianya melampaui usiaku begitu jauh, dan ketiga temanku tidak ada yang mengetahui hal itu, hingga saat ini. Mereka tidak pernah tahu kalau aku pernah menyimpan sebuah asa pada dosen kami. Tapi Farah, hanya ia yang mengetahuinya.

“Laras, apa kamu masih menyimpan perasaan itu padanya?” Tanya Farah, menghentikan isapan lemon tea-ku yang tinggal sedikit. Aku diam sejenak. Memperhatikan rembasan air yang mengalir di gelas panjangku, hingga jatuh membasahi tisu yang mengalasinya. Sejujurnya, aku belum mempunyai jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang satu ini. Sebab ia cinta pertamaku. Cinta yang dulu sengaja kujatuhkan tepat di hadapan laki-laki berparas sederhana itu, namun sayangnya cintaku yang jatuh, tidak diambilnya dengan segera. Aku telah kehilangan cintaku, namun tidak dengan perasaanku padanya. Aku tertunduk untuk kemudian menatap Farah lekat-lekat. Aku masih jelas melihat sisa-sisa kenangan itu di wajahnya. Saat-saat aku mencurahkan isi hatiku atau saat ia setengah mati menguatkanku yang rapuh akibat perasaanku sendiri.

“Sejujurnya, aku masih belum bisa melupakannya, Far.” Ucapku parau. “Waktu sepuluh tahun memang mampu merubah apapun, namun tidak dengan hatiku. Mungkin harapanku padanya pun telah hilang, tapi rasa ini masih setia bertahan di relung hatiku.” Aku membuang jauh pandanganku. Menatap sepasang kekasih, atau mungkin suami istri, yang tampak begitu mesra bercengkrama di sebuah meja dekat jendela.

“Aku akan baik-baik saja, Farah.“ Seruku sambil menyentuh bahunya. “Kamu tidak perlu khawatir.” Tidak lupa kububuhi sebuah senyum di akhir kalimatku itu.

“Kamu tidak akan baik-baik saja, Laras, jika kamu masih menyimpan perasaan itu.” Sahut Farah tiba-tiba merontokkan hatiku. “Aku cukup salut kamu masih mampu bertahan pada perasaanmu, tapi kamu juga harus memikirkan kehidupanmu.” Nada suaranya kali ini agak meninggi.

“Kehidupan yang seperti apa maksudmu?” Tanyaku tidak mengerti.
“Kamu harus bisa hidup tanpa bayang-bayang Pak Pras lagi. Kamu harus ikhlaskan dia pergi menjauh dari kehidupanmu, Ras. Waktu sepuluh tahun seharusnya bisa menyadarkanmu kalau ia memang bukan jodohmu. Mengertilah, Ras. Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darinya. Come on, move on, hunny. Kamu seharusnya bisa melupakannya.”

Aku ternganga mendengar petuah Farah barusan. Benarkah aku harus melupakannya? Bukankah jika bisa, sudah kulakukan hal itu sejak lama? Namun nyatanya semakin kumelupakan, semakin kuat rasa itu mencengkeram hatiku. Dan ini adalah pilihan terakhirku. Melenyapkan harapan itu, tanpa berusaha menghilangkan ia dari ingatanku.

“Ras, aku mengerti ia adalah first love mu, tapi tidak ada yang bisa menjamin kalau cinta pertama kita adalah juga cinta sejati kita. Kamu harus berusaha lebih kuat untuk bisa menemukan cinta sejati itu. Salah satunya dengan, melupakan cinta pertamamu.”

Aku hanya mampu terdiam. Berpikir kembali, apakah dengan terus mengingatnya selama ini, berarti menutup cinta sejatiku untuk datang dan bertemu denganku? Apa mungkin dengan melupakannya, itu artinya aku telah memberikan sedikit jalan untuk diriku sendiri menemukan cinta sejatiku?

Kutatap kembali Farah lekat-lekat. Ia memang sahabat terbaikku. Ia betul-betul tahu apa yang harus aku lakukan untuk menemukan kebahagiaanku. Dan sarannya, mungkin akan kupikirkan kembali setelah pulang nanti. Aku melempar senyum padanya. Kuusap punggung tangannya sambil berucap, “Thanks ya. Akan kupikirkan kembali saranmu.” Ia hanya tersenyum dan mengangguk.

Ketiga temanku sudah kembali. Entah mengapa momentnya sangat tepat. Mereka benar-benar tidak mengetahui apa yang kami bicarakan tadi. Tak lama setelah mereka kembali dari toilet, kami memutuskan untuk pergi. Tak ada agenda apa-apa lagi setelah ini, aku pun rasanya langsung ingin pulang tanpa mau mampir ke mana-mana lagi. Hanya Farah yang tahu mengapa tiba-tiba aku hanya ingin diam saat melangkah keluar mall. Aku masih memikirkan sarannya itu.

Di tengah langkah kecil kami, teman-temanku sibuk menawar beberapa benda dan pakaian yang menarik perhatian mereka. Ada yang menutup transaksi dengan kata deal, namun tidak sedikit pula yang berakhir tanpa kesepakatan. Aku hanya mengikuti saja. Sampai akhirnya, tepat beberapa langkah dari sebuah stand yang bertuliskan “Sumbang Buku”, kami berpisah. Farah dan Mawar menuju area parkir motor, sedangkan Reni menumpang di mobil Tari, dan mereka pun menuju area parkir mobil. Tadinya mereka menawari tumpangan, namun aku memutuskan untuk pulang sendiri. Aku hanya ingin sendiri saat ini. Mungkin aku akan menyewa taxi agar ketika aku harus terpaksa menangis, hanya supir taxi yang akan bertanya “Ada apa” dan setidaknya memberiku tisu untuk membasuh air mataku.

Setelah berpisah, kulangkahkan kakiku keluar mall. Aku berdiri cukup lama di pelatarannya. Tidak memutuskan untuk melangkah lebih jauh, atau memberhentikan taxi seperti yang kupikirkan tadi. Kubiarkan angin mengajak kerudungku menari lebih lincah lagi. Sepertinya aku memang harus memikirkan saran Farah tadi. Aku baru sadar, selama sepuluh tahun ini, memang ada sebuah ruang di dalam hatiku yang kubiarkan kosong, hampa, dan tak berpenghuni. Kuakui, aku tak bahagia.

Tapi kini aku ingin bahagia. Bahagia yang seutuhnya. Jika memang tak bisa bahagia bersamanya, paling tidak aku bisa bahagia, atau membahagiakan orang yang kelak akan menjadi cinta sejatiku. Aku ingin melupakannya. Dan hal pertama yang harus aku lakukan adalah, menyingkirkan segala apapun yang mengingatkan aku padanya.

Aku teringat dengan novel kesayanganku itu. Tak bisa kupungkiri, meski penampilannya kini tak secantik saat Pak Pras memberikannya padaku dulu, namun hanya buku ini yang memberiku semangat untuk menjalani hidup tanpanya. Novel ini sebenarnya bukan novel baru saat aku menerimanya. Ia sudah memilikinya lebih dulu, dan akhirnya ia memutuskan untuk memberikannya padaku setelah ia tahu kalau aku begitu suka membaca. Dan saat itu ia menegaskan, kalau pemberian novel itu hanya sebatas bentuk perhatian dosen pada mahasiswinya. Meski demikian, tetap saja aku begitu bahagia menerimanya. Aku sempat mengartikan lain, sehingga kupikir ia tak main-main. Namun nyatanya waktu mengubah segalanya.

Kulangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam mall lagi. Kuhampiri stand “Sumbang Buku” tadi untuk menyerahkan buku itu pada salah satu penjaga di sana. Sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku untuk melepas novel ini dari genggamanku. Namun mungkin inilah waktunya. Saat di mana aku harus mengikhlaskan cinta dan perasaanku pergi bersama kenangan yang tak bisa aku lupakan. Aku harus bisa. Aku harus mampu melupakannya.

Setelah mengisi formulir penyumbang, dengan ikhlas kupindah tangankan novel itu pada penjaga di sana. Aku melepasnya dengan senyum. Berusaha mencari sumber semangat yang lain, saat sumber semangatku yang selama ini menemaniku harus rela kulepaskan. Meski hanya sebuah buku, namun aku merasa ia selalu ada di dekatku. Energinya begitu kuat sampai-sampai aku baru menyadari kalau waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk senantiasa mencintainya. Dan kini aku harus mencabut sendiri seluruh urat syaraf dalam tubuhku. Meski sakit, meski rasanya tak ada gairah lagi untuk hidup, namun aku berhak untuk bahagia. Aku berhak menemukan cinta sejatiku, tanpa bayang-bayangnya lagi.

Aku menghela nafasku perlahan. Setelah memasukkan tanda terima bukti penyumbang buku, kulangkahkan kakiku keluar mall. Kurasakan ada sesuatu yang mengembun di ujung mataku. Cepat-cepat kuhalau agar tidak mengarus lebih deras lagi. Aku harus kuat. Segera kehentikan taxi karena aku tidak yakin sampai kapan aku bisa menahan riak sungai air mataku ini.

Meskipun sudah ikhlas, namun kurasa aku masih butuh waktu. Entah berapa lama.

* * *

Laki-laki itu sejak tadi berdiri di stand “Sumbang Buku”. Melihat-lihat beberapa buku setelah menyumbangkan beberapa buku sebelumnya. Tiba-tiba saja tatapannya terpaku pada sebuah buku yang memaksa ingatannya kembali ke masa lalu. Novel itu....


Entah sudah berapa lama sejak ia memberikan buku tersebut pada salah seorang mahasiswinya. Rautnya semakin datar. Entah di menit ke berapa ia baru sadar kalau di menit-menit sebelumnya ia hanya terpaku menatap buku novel itu. Kini ia semakin menua, begitu juga dengan buku yang dilihatnya tadi. Ia segera pergi meninggalkan stand “Sumbang Buku” itu sambil selintas batinnya bertanya, “Apa kabar dengan buku yang dulu sempat kuberikan padanya?”

========================================================================
download versi ebooknya di sini

2 komentar:

Lidya Fitrian mengatakan...

kota Depok menyimpan kenangan buatku :) masa-masa kuliah dulu

khasiat daun sirsak mengatakan...

wow... aga sdikit pusing jga saat mmbaca nya!! ^_^