Siang yang sangat menyengat. Sengaja
kupercepat langkahku secepat kilat agar terik mentari tidak terlalu banyak
menyengat kulitku. Angin yang berlari di atas kepala pun sengaja mengajak
kerudungku menari-nari di tengah ayunan langkahku. Aku agak telat untuk
pertemuan kali ini. Pasalnya, aku harus mencari di mana novel kesayanganku
berada. Aku lupa menaruhnya setelah semalam aku membacanya untuk yang kesekian
kalinya. Aku harus membawa novel itu. Sebab tanpanya, aku akan kehilangan
semangat untuk hari ini.
Kota Depok masih tampak indah di pandanganku.
Setidaknya, masih ada satu bagian kecil yang membuatku tidak bisa lupa dengan
kota belimbing ini. Di sanalah aku pernah memiliki sebuah kenangan indah dengan
masa lalu. Berbagai
peristiwa yang kualami, sebagian besar terjadi di
sana.
Langkahku semakin cepat. Aku tak mau teman-temanku
lama menunggu. Berbagai macam mobil berlalu lalang di
bawah jembatan yang kulalui sekarang. Jembatan penyebrangan ini, dulu sering
kulalui bersama teman-teman kampus saat kami hendak berkumpul bersama meski
hanya sekedar bersenda gurau sambil ngafe.
Namun setelah lulus, jarang sekali rasanya aku ke mall tempat kami kumpul
bersama dulu. Dan kini, untuk pertama kalinya sejak terakhir aku menginjakkan
kaki ke tempat itu beberapa tahun lalu, aku kembali menyeberangi jembatan
penyebrangan itu. Rasanya tidak percaya jika aku harus bertemu dengan mereka,
teman-teman masa kuliahku dulu, dengan penampilan yang pasti sudah sangat
berbeda dengan dulu. Sepuluh tahun yang lalu.
Mall ini benar-benar sejuk, dan nyatanya
berhasil menyingkirkan segala peluh yang sejak tadi mengaliri tubuhku. Aku
langsung bergegas mencari kafe tempat kami biasa berkumpul dulu. Mall ini
benar-benar berbeda dari yang dulu kuketahui. Sudah banyak perubahan di sana
sini, juga jalanan menuju kafe yang - entah terlalu rumit untuk dihafal atau
karena memang aku nya yang masih harus beradaptasi untuk hal-hal baru seperti
ini – membuatku agak meraba-raba di mana letak kafe itu.
Akhirnya ketemu juga. Senang rasanya meski
dari kejauhan, tapi mereka yang sudah berkumpul lebih dulu di sana
melambai-lambaikan tangan ke arahku. Aku segera berlari kecil menghampiri
mereka. Menatap mereka satu per satu sambil membatin, waktu sepuluh tahun
ternyata tidak hanya bisa mengubah mall ini menjadi lebih bagus, namun juga
bisa mengubah penampilan teman-temanku menjadi lebih modis. Tapi mereka tetap
sederhana, tetap menjadi diri mereka sendiri meski kini sudah berubah status
menjadi seorang istri dan ibu.
Kami banyak berbincang dan tertawa. Melewati
waktu dengan bertukar cerita dan kenangan masa lalu. Kebersamaan ini
benar-benar membuatku bahagia. Jarang-jarang aku bisa melepas penat dengan
berkumpul dengan teman-teman terbaikku. Bersama mereka, bisa sejenak membuatku
lupa akan penatnya kesibukan di kantor. Namun di tengah perbincangan kami,
tiba-tiba saja Mawar melempar pertanyaan yang membuatku menahan tawa sejenak. “Jadi,
kapan kamu nikah, Ras?”
Aku terdiam. Tiga kawan yang lain pun
mengikuti tindakanku. Namun hanya sesaat, karena aku memilih untuk kembali
tertawa sambil memikirkan jawaban yang paling tepat untuk pertanyaannya. Semua
jadi ikut tertawa kembali, namun entah mengapa, pertanyaan klise ini sering
kali membuatku beku, dan ujung-ujungnya hanya melahirkan jawaban, “Belum ketemu
jodohnya,” sambil meringis menahan senyum.
Di menit ke 105,
Mawar, Reni, dan Tari izin untuk ke toilet sebentar. Di meja hanya tinggal aku
dan Farah. Kami berbincang tentang kehidupan kami masing-masing, namun kali ini
lebih spesifik. Tepatnya, tentang masa laluku. Farah betul-betul tahu tentang
hal itu. Tentang bagaimana sempurnanya aku menyembunyikan perasaan pada seorang
laki-laki yang usianya melampaui usiaku begitu jauh, dan ketiga temanku tidak
ada yang mengetahui hal itu, hingga saat ini. Mereka tidak pernah tahu kalau
aku pernah menyimpan sebuah asa pada dosen kami. Tapi Farah, hanya ia yang
mengetahuinya.
“Laras, apa kamu masih menyimpan perasaan itu
padanya?” Tanya Farah, menghentikan isapan lemon tea-ku yang tinggal sedikit.
Aku diam sejenak. Memperhatikan rembasan air yang mengalir di gelas panjangku,
hingga jatuh membasahi tisu yang mengalasinya. Sejujurnya, aku belum mempunyai
jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang satu ini. Sebab ia cinta pertamaku.
Cinta yang dulu sengaja kujatuhkan tepat di hadapan laki-laki berparas
sederhana itu, namun sayangnya cintaku yang jatuh, tidak diambilnya dengan
segera. Aku telah kehilangan cintaku, namun tidak dengan perasaanku padanya.
Aku tertunduk untuk kemudian menatap Farah lekat-lekat. Aku masih jelas melihat
sisa-sisa kenangan itu di wajahnya. Saat-saat aku mencurahkan isi hatiku atau saat
ia setengah mati menguatkanku yang rapuh akibat perasaanku sendiri.
“Sejujurnya, aku masih belum bisa
melupakannya, Far.” Ucapku parau. “Waktu sepuluh tahun memang mampu merubah
apapun, namun tidak dengan hatiku. Mungkin harapanku padanya pun telah hilang,
tapi rasa ini masih setia bertahan di relung hatiku.” Aku membuang jauh
pandanganku. Menatap sepasang kekasih, atau mungkin suami istri, yang tampak
begitu mesra bercengkrama di sebuah meja dekat jendela.
“Aku akan baik-baik saja, Farah.“ Seruku
sambil menyentuh bahunya. “Kamu tidak perlu khawatir.” Tidak lupa kububuhi
sebuah senyum di akhir kalimatku itu.
“Kamu tidak akan baik-baik saja, Laras, jika
kamu masih menyimpan perasaan itu.” Sahut Farah tiba-tiba merontokkan hatiku.
“Aku cukup salut kamu masih mampu bertahan pada perasaanmu, tapi kamu juga
harus memikirkan kehidupanmu.” Nada suaranya kali ini agak meninggi.
“Kehidupan yang seperti apa maksudmu?” Tanyaku
tidak mengerti.
“Kamu harus bisa hidup tanpa bayang-bayang Pak
Pras lagi. Kamu harus ikhlaskan dia pergi menjauh dari kehidupanmu, Ras. Waktu
sepuluh tahun seharusnya bisa menyadarkanmu kalau ia memang bukan jodohmu.
Mengertilah, Ras. Kamu berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik darinya. Come on, move on, hunny. Kamu seharusnya
bisa melupakannya.”
Aku ternganga mendengar petuah Farah barusan.
Benarkah aku harus melupakannya? Bukankah jika bisa, sudah kulakukan hal itu
sejak lama? Namun nyatanya semakin kumelupakan, semakin kuat rasa itu
mencengkeram hatiku. Dan ini adalah pilihan terakhirku. Melenyapkan harapan
itu, tanpa berusaha menghilangkan ia dari ingatanku.
“Ras, aku mengerti ia adalah first love mu, tapi tidak ada yang bisa
menjamin kalau cinta pertama kita adalah juga
cinta sejati kita. Kamu harus berusaha lebih kuat untuk bisa menemukan cinta
sejati itu. Salah satunya dengan, melupakan cinta pertamamu.”
Aku hanya mampu terdiam. Berpikir kembali,
apakah dengan terus mengingatnya selama ini, berarti menutup cinta sejatiku
untuk datang dan bertemu denganku? Apa mungkin dengan melupakannya, itu artinya
aku telah memberikan sedikit jalan untuk diriku sendiri menemukan cinta
sejatiku?
Kutatap kembali Farah lekat-lekat. Ia memang
sahabat terbaikku. Ia betul-betul tahu apa yang harus aku lakukan untuk
menemukan kebahagiaanku. Dan sarannya, mungkin akan kupikirkan kembali setelah
pulang nanti. Aku melempar senyum padanya. Kuusap punggung tangannya sambil
berucap, “Thanks ya. Akan kupikirkan
kembali saranmu.” Ia hanya tersenyum dan mengangguk.
Ketiga temanku sudah kembali. Entah mengapa
momentnya sangat tepat. Mereka benar-benar tidak mengetahui apa yang kami
bicarakan tadi. Tak lama setelah mereka kembali dari toilet, kami memutuskan
untuk pergi. Tak ada agenda apa-apa lagi setelah ini, aku pun rasanya langsung
ingin pulang tanpa mau mampir ke mana-mana lagi. Hanya Farah yang tahu mengapa
tiba-tiba aku hanya ingin diam saat melangkah keluar mall. Aku masih memikirkan
sarannya itu.
Di tengah langkah kecil kami, teman-temanku
sibuk menawar beberapa benda dan pakaian yang menarik perhatian mereka. Ada
yang menutup transaksi dengan kata deal,
namun tidak sedikit pula yang berakhir tanpa kesepakatan. Aku hanya mengikuti
saja. Sampai akhirnya, tepat beberapa langkah dari sebuah stand yang
bertuliskan “Sumbang Buku”, kami berpisah. Farah dan Mawar menuju area parkir
motor, sedangkan Reni menumpang di mobil Tari, dan mereka pun menuju area
parkir mobil. Tadinya mereka menawari tumpangan, namun aku memutuskan untuk
pulang sendiri. Aku hanya ingin sendiri saat ini. Mungkin aku akan menyewa taxi
agar ketika aku harus terpaksa menangis, hanya supir taxi yang akan bertanya
“Ada apa” dan setidaknya memberiku tisu untuk membasuh air mataku.
Setelah berpisah, kulangkahkan kakiku keluar
mall. Aku berdiri cukup lama di pelatarannya. Tidak memutuskan untuk melangkah
lebih jauh, atau memberhentikan taxi seperti yang kupikirkan tadi. Kubiarkan
angin mengajak kerudungku menari lebih lincah lagi. Sepertinya aku memang harus
memikirkan saran Farah tadi. Aku baru sadar, selama sepuluh tahun ini, memang
ada sebuah ruang di dalam hatiku yang kubiarkan kosong, hampa, dan tak
berpenghuni. Kuakui, aku tak bahagia.
Tapi kini aku ingin bahagia. Bahagia yang
seutuhnya. Jika memang tak bisa bahagia bersamanya, paling tidak aku bisa
bahagia, atau membahagiakan orang yang kelak akan menjadi cinta sejatiku. Aku
ingin melupakannya. Dan hal pertama yang harus aku lakukan adalah,
menyingkirkan segala apapun yang mengingatkan aku padanya.
Aku teringat dengan novel kesayanganku itu.
Tak bisa kupungkiri, meski penampilannya kini tak secantik saat Pak Pras
memberikannya padaku dulu, namun hanya buku ini yang memberiku semangat untuk
menjalani hidup tanpanya. Novel ini sebenarnya bukan novel baru saat aku
menerimanya. Ia sudah memilikinya lebih dulu, dan akhirnya ia memutuskan untuk
memberikannya padaku setelah ia tahu kalau aku begitu suka membaca. Dan saat
itu ia menegaskan, kalau pemberian novel itu hanya sebatas bentuk perhatian
dosen pada mahasiswinya. Meski demikian, tetap saja aku begitu bahagia
menerimanya. Aku sempat mengartikan lain, sehingga kupikir ia tak main-main.
Namun nyatanya waktu mengubah segalanya.
Kulangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam mall
lagi. Kuhampiri stand “Sumbang Buku” tadi untuk menyerahkan buku itu pada salah
satu penjaga di sana. Sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku untuk melepas
novel ini dari genggamanku. Namun mungkin inilah waktunya. Saat di mana aku
harus mengikhlaskan cinta dan perasaanku pergi bersama kenangan yang tak bisa
aku lupakan. Aku harus bisa. Aku harus mampu melupakannya.
Setelah mengisi formulir penyumbang, dengan
ikhlas kupindah tangankan novel itu pada penjaga di sana. Aku melepasnya dengan
senyum. Berusaha mencari sumber semangat yang lain, saat sumber semangatku yang
selama ini menemaniku harus rela kulepaskan. Meski hanya sebuah buku, namun aku
merasa ia selalu ada di dekatku. Energinya begitu kuat sampai-sampai aku baru
menyadari kalau waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk senantiasa
mencintainya. Dan kini aku harus mencabut sendiri seluruh urat syaraf dalam
tubuhku. Meski sakit, meski rasanya tak ada gairah lagi untuk hidup, namun aku
berhak untuk bahagia. Aku berhak menemukan cinta sejatiku, tanpa bayang-bayangnya
lagi.
Aku menghela nafasku perlahan. Setelah
memasukkan tanda terima bukti penyumbang buku, kulangkahkan kakiku keluar mall.
Kurasakan ada sesuatu yang mengembun di ujung mataku. Cepat-cepat kuhalau agar
tidak mengarus lebih deras lagi. Aku harus kuat. Segera kehentikan taxi karena
aku tidak yakin sampai kapan aku bisa menahan riak sungai air mataku ini.
Meskipun sudah ikhlas, namun kurasa aku masih
butuh waktu. Entah berapa lama.
* * *
Laki-laki itu sejak tadi berdiri di stand
“Sumbang Buku”. Melihat-lihat beberapa buku setelah menyumbangkan beberapa buku
sebelumnya. Tiba-tiba saja tatapannya terpaku pada sebuah buku yang memaksa
ingatannya kembali ke masa lalu. Novel itu....
Entah
sudah berapa lama sejak ia memberikan buku tersebut pada salah seorang
mahasiswinya. Rautnya semakin datar. Entah di menit ke berapa ia baru sadar
kalau di menit-menit sebelumnya ia hanya terpaku menatap buku novel itu. Kini ia
semakin menua, begitu juga dengan buku yang dilihatnya tadi. Ia segera pergi
meninggalkan stand “Sumbang Buku” itu sambil selintas batinnya bertanya, “Apa
kabar dengan buku yang dulu sempat kuberikan padanya?”
========================================================================
download versi ebooknya di sini
2 komentar:
kota Depok menyimpan kenangan buatku :) masa-masa kuliah dulu
wow... aga sdikit pusing jga saat mmbaca nya!! ^_^
Posting Komentar