5 September 2012

Janji : Antara Loyalitas dan Prioritas


Hmm.....dalam kesempatan kali ini saya mau sedikit cerita tentang sebuah silaturrahim yang tertunda. Bagaimana bisa? Jadi ceritanya, sepekan setelah lebaran kemarin saya membuat rencana dengan teman-teman SLTP saya untuk bertemu di sebuah mall. Hanya pertemuan rutin yang memang biasa kami agendakan setiap habis idul fitri. Tapi rencana kali ini bisa saya katakan cukup gagal karena adanya kesalah pahaman dan miss communication.

Sebenarnya sepekan sebelumnya sudah saya kabarkan pada teman-teman kalau pertemuan itu akan diadakan pada tanggal 25 Agustus 2012 kemarin. Beberapa teman saya ada yang mengatakan kalau mereka tidak bisa datang. Alasannya karena ada yang sudah ada acara keluarga, dan sebagian yang lain tidak memberikan jawaban apapun. Saya simpulkan kalau mereka tidak bisa datang, jadi tidak terlalu berharap juga. Tapi sebagian yang lain juga sudah ada yang mengatakan bisa, dan itu cukup membuat saya lega.

Menjelang hari H, saya ingatkan lagi mereka – yang awalnya mengatakan bisa – melalui SMS, tapi tidak ada satu pun jawaban dari mereka. Saya pikir mereka tetap bisa. Tapi lama kelamaan satu per satu dari mereka memberi kabar pada saya kalau mereka tidak bisa datang. Alasannya? Ada yang mau menghadiri undangan pernikahan, ada yang mendadak memiliki acara sendiri (dan mengatakan akan diusahakan datang meski telat), dan ada pula yang mendapat kabar bahwa saudaranya meninggal.

Well.....sampai di situ saya coba mengerti keadaan mereka dari sudut pandang yang berbeda. Dan yang tersisa dari rencana itu hanyalah saya dan dua teman lainnya. Awalnya saya tetap ingin mengadakan pertemuan itu walau minim yang datang. Tapi karena satu dan lain hal, teman saya – sebut saja A – tiba-tiba SMS saya dan mengatakan kalau pertemuannya diundur saja. Ok, saya pun setuju. Bisa dipending di lain hari dan saya pun langsung SMS teman saya – sebut saja B – perihal pengunduran waktu pertemuan tersebut. Tapi apa reaksinya? Dia pun ngambek. Alhasil, akhirnya saya bujuk dia dan jadilah kami bertiga janjian untuk tetap bertemu.

Di hari H nya, saya benar-benar tidak ingin membuat kedua teman saya menunggu. Di jam yang telah kami tentukan, saya sudah sampai di tempat dan langsung melayangkan SMS ke kedua teman saya itu. Tak ada jawaban. Saya mulai cemas. Menjelang 30 menit sejak saya menunggu mereka, saya kembali melayangkan SMS tapi tak juga dijawab oleh mereka. Saya sudah cemas, pun kesal.

Dalam benak saya selalu berharap mereka tetap baik-baik saja, tapi di sisi lain kemanusiawian saya, saya tetap bertanya-tanya, apakah mereka tidak memikirkan perasaan saya saat puluhan menit yang saya miliki berlalu hanya untuk menunggu kepastian apakah mereka benar-benar bisa datang atau tidak. Kalaupun memang datang, kapan??? Saya sudah mulai kesal.

Pasalnya, bukan apa-apa, saya sudah banyak mengorbankan waktu dan kebersamaan saya bersama Rizky hanya untuk bertemu mereka, tapi apa yang saya dapat?? Hanya sebuah rasa kecewa yang tiba-tiba menyusup dalam dada. Dan akhirnya, saat tepat pukul 11 lewat 30 menit, karena tak ada satu pun dari mereka yang membalas SMS – SMS saya, baiklah, saya putuskan untuk kembali ke rumah. Hmm..

Dalam perjalanan pulang, tak lama setelahnya teman saya si B mengirimi saya SMS, bertanya posisi saya. Langsung saja saya jawab, saya sudah pulang. Dan kebetulan pula adik sepupu saya memberitahu kalau di rumah sedang ada saudara-saudara yang mendadak datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Ok, keputusan untuk pulang saya rasa benar. Paling tidak saya punya alasan yang kuat pada kedua teman saya tadi.

Hmm....saya sempat menyayangkan kejadian tersebut. Awalnya sempat mempertanyakan soal loyalitas dan prioritas. Dan bicara soal janji dan menepati janji, rasanya memang perkara yang mudah ya kalau hanya sekedar membuat janji, lalu dengan mudahnya juga berkata ‘maaf’ saat janji itu tidak bisa tertunaikan. Namun yang jadi permasalahannya, hal apa yang membuat janji itu sampai tidak bisa tertunaikan? Apakah bersifat urgent, prinsipil, atau lebih prioritas??

Bukan kali ini saja saya menyepakati sebuah janji dengan teman-teman saya, melainkan sudah sering kali. Tapi entah mengapa permasalahan tentang janji-janji ini hampir selalu sama di setiap kesempatan. “dengan mudahnya mengucap janji dengan mengatakan ‘ya’ atau ‘bisa’, tapi dengan mudah pula mengatakan ‘maaf’ atau mendadak mengabari ketidak bisaannya itu atau bahkan tidak mengabari sama sekali.”

Saya masih tidak habis pikir dengan hal ini. Terkadang saya berpikir, apa ada yang salah dari pola pikir kita terhadap masalah janji ini??

Pernah di satu kesempatan saya dan teman-teman kampus saya janjian untuk ke rumah teman saya yang lain pada tanggal yang telah ditentukan. Di hari H, teman saya sudah menyiapkan segala makanan dan minuman di rumahnya untuk menyambut kami. Tapi rupanya saat itu kondisi saya mendadak ngedrop. Saya sakit. Pagi, pukul 6 sebelum jam janjian kami, saya SMS salah satu teman saya bahwa saya tidak bisa datang karena sakit, ok, teman saya memaklumi. Saya pikir teman yang saya kirimi SMS itu akan tetap pergi dengan teman-teman lain yang sebelumnya telah bilang bisa untuk datang. Tapi nyatanya?????

Hampir semua dari mereka mendadak mengatakan TIDAK BISA!!!! ahhhh......rasanya bagai dipukul palu godam. Bayangkan saja, dari sekian teman-teman yang berjanji bisa datang, akhirnya dengan mudah mengatakan ‘maaf’ untuk mengiringi ketidak bisaan mereka datang. Alasannya?? Ada yang mau fitting kebaya (posisi kami saat itu menjelang wisuda), ada yang hanya bilang ‘tidak bisa’ tanpa alasan yang pasti, ada yang bilang ini, ada yang bilang itu, dsb. Akhirnya saya putuskan untuk tidak jadi datang.

Tapi???? Apakah semudah itu bagi si teman yang sudah capek-capek masak, untuk menerima keputusan kami???? Jawabnya TIDAK!!! Dia sempat kecewa dengan keputusan kami, dan saya pun bisa merasakan perasaannya. Akhirnya saya putuskan untuk tetap pergi hanya berdua dengan teman saya yang memang bisa, meskipun dengan tubuh yang kurang fit. Saya merasa tidak enak dengan si teman yang sudah masak untuk kami.

Persoalannya bukan masalah mengerti atau tidak mengerti akan keadaan teman yang memang posisinya tidak bisa menepati janjinya karena sebuah alasan, tapi yang jadi pertanyaannya, apakah mereka sadar bahwa pernyataan ‘maaf’ yang mereka lontarkan itu belum bisa sepenuhnya merubah keadaan menjadi lebih baik?? Justru malah sebaliknya, bisa menimbulkan rasa kecewa, atau bahkan sakit hati bagi mereka yang merasa menjadi korban perasaan.

Memberikan maaf memang merupakan perbuatan yang mulia, tapi alangkah lebih mulianya lagi apabila kita bisa memprioritaskan sebuah janji yang memang sudah kita buat dengan orang lain. Kalaupun tidak bisa, paling tidak alasan-alasan yang menjadi sebab tidak tertunaikannya janji tersebut merupakan alasan yang bisa diterima dengan logika dan akal sehat. Kalaupun memang kita khawatir janji itu tidak bisa tertepati, ucapan Insya Allah tampaknya bisa menjadi pilihan yang bijaksana ketimbang mengatakan ‘ya’ atau ‘bisa’ sehingga membuat orang lain begitu berharap. Dan kalaupun memang tidak bisa menepati janji tersebut, katakanlah dari awal. Usahakan jangan membatalkan sebuah janji secara mendadak dengan alasan yang tidak urgent, sebab hanya akan membuat orang yang sudah mengharapkan kedatangan kita akan kecewa, sekecewa-kecewanya.

Menepati janji pun tidak lepas dari kedisiplinan waktu saat janji itu harus tertunaikan. Tepat waktu atau on time sangat diharapkan bagi mereka yang sudah lebih dulu menunggu. Kalaupun tidak bisa datang on time karena alasan yang urgent, ada baiknya segera memberi kabar pada teman yang sudah menunggu agar penantiannya itu memiliki sebuah kepastian. Dan ada baiknya juga apabila ingin menepati janji dengan orang lain, sebisa mungkin pertimbangkan berbagai aspek terkait penepatan janji kita pada mereka. Biasanya time manajemen masih menjadi alasan utama mengapa masih banyak orang yang sering telat saat harus menepati janji. Dan mungkin hal itu pun merupakan pekerjaan rumah bagi kita untuk bisa membenahi diri dari segala aspek kehidupan.

Loyalitas, prioritas, time management, dan tanggung jawab, sudah seharusnya menjadi bagian terpenting dalam hidup kita agar segala sesuatunya bisa tertunaikan dengan baik, benar, dan bijaksana.


nb: referensi artikel tentang janji klik di sini

10 komentar:

Artineke A. Muhir mengatakan...

Memenuhi janji adalah ciri orang yang beriman ya...

Lidya Fitrian mengatakan...

janji itu hutang ya

Unknown mengatakan...

wah bisa kurasakan betapa nggak enaknya menunggu begitu lama. aku saja paling gak suka nunggu kelamaan. bisa kapok aku kalo udah janji tau2 dicuekin begitu aja. hiks...

Gusti 'ajo' Ramli mengatakan...

Janji itu hutang yang mesti di bayar..

Ajeng Sari Rahayu mengatakan...

kak, gmn kalau saat akan berjanji disertai kata "insya Allah"-apa ini sedikit membantu? kita kan gtw, biasanya rencana seringkali ga semulus harapan :)

Sarah mengatakan...

@Ajeng Sari Rahayu : yup, di atas kan sudah saya tuliskan :))

r10 mengatakan...

memang mengesalkan kalau agenda yg sudah dibuat gagal krn yg lain tak bisa datang

krn itu aku berhati-hati kalau membuat janji, takut ga mampu memenuhi

Enny Mamito mengatakan...

janji gk sekedar ucapan tp hrs ada pertanggungan jawabnnya ya..

Unknown mengatakan...

menepati janji mungkin bukan budaya kita di Indonesia, tapi jelaslah mengingkari janji adalah kegiatan orang2 Munafik

agen trica jus yogyakarta mengatakan...

kunjungan ..
jangan luap kunjungan baliknya .