18 April 2012

Jangan Jadi Maling yang Teriak Maling

Jika membahas tentang kelakuan “bejat” beberapa petinggi negara kita, rasanya tidak akan pernah habis dibahas dalam kurun waktu yang tidak terhitung. Karena sejak dulu sampai saat ini pun berita-berita tentang perbuatan tercela pejabat-pejabat negara itu masih menjadi sarapan pagi, makan siang, makan malam, bahkan cemilan bagi rakyat Indonesia. Setiap mendengar ada anggota dewan atau pejabat yang melakukan tindak korupsi, rasanya kita sebagai rakyat ingin sekali menghujat dan menghujaninya dengan berbagai macam cacian dan makian. Rasanya tidak pernah habis rasa kesal ini jika dihadapkan dengan semua “permainan” pejabat culas itu.

Nah sekarang, tanpa mengesampingkan rasa kesal dan jengkel kita pada pejabat-pejabat culas itu, coba kita bercermin pada sebuah hati nurani, pernahkah kita tengok ke kedalaman hati kita, apakah kita sudah lebih baik dari apa yang pejabat-pejabat culas itu lakukan? Kita begitu kesal saat mendengar pejabat A, B, C, dan D melakukan korupsi sekian milyar. Kita selalu menganggap mereka seolah tidak punya hati saat memakan uang yang bukan hak mereka, tapi cobalah bertanya pada hati nurani kita sendiri, apakah ada yang bisa menjamin kalau kita tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan jika kita ada di posisi mereka? Apakah ada yang bisa menjamin kalau kita tidak akan khilaf saat melihat uang sekian milyar bahkan triliunan itu bisa menjadi peluang kita untuk berbuat korupsi? Siapakah yang bisa menjamin jika setan tidak akan membisikkan hal-hal buruk pada kita? Adakah???

Tanpa bermaksud untuk membela mereka yang bersalah – karena saya pun sangat benci pada koruptor – mungkin ada baiknya jika kita tengok lebih dalam dulu ke hati nurani kita, apakah perbuatan dan sikap yang kini menghiasi diri kita, sudah pada tahap yang lebih baik dari mereka? Mungkin intinya adalah introspeksi dulu terhadap diri sendiri, jika sudah merasa lebih baik, baru kita bisa “berteriak” maling pada maling-maling berdasi dan bersanggul itu.

Sepakatkah kita jika mengatakan kalau perbuatan korupsi dan mencuri itu adalah sama? Jika ada yang berbeda, mungkin hanya dari segi fisik, jumlah, dan nominalnya saja. Selebihnya adalah SAMA. Ya, sama karena sama-sama mengambil hak orang lain. Mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Lalu coba kita tanyakan lagi pada nurani kita, selama kita hidup, adakah kita terbebas dari perbuatan mencuri? Jika jawabannya ‘ya’, rasanya mustahil. Sebab saat kita bekerja pun, pasti ada saat-saat di mana kita bekerja tidak dengan baik. Menyia-nyiakan waktu dengan bermalas-malasan atau malah bolos bekerja. Apakah itu tidak bisa dibilang korupsi waktu jam kerja??

Contoh kecil lainnya saat kita sekolah dulu. Apa pernah selama bertahun-tahun sekolah itu, kita terbebas dari kegiatan mencontek, baik dari buku, catatan, teman, bahkan dari oknum guru sekalipun? Jika jawabannya ‘ya’ lagi, rasanya sangat-sangat mustahil. Sebab wajah dunia pendidikan kita dari dulu sampai sekarang sudah tercoreng dengan budaya mencontek yang rasanya sudah mengakar, mendarah daging, bahkan sudah menjadi habitual para peserta didik, baik di bangku SD, SLTP, SLTA, sampai kuliah. Apakah salah jika saya mengatakan hal itu juga merupakan perbuatan mencuri??

Saya yakin masih banyak lagi contoh-contoh kasus lainnya yang pada akhirnya membuat kita sadar bahwa ternyata kita pun tidak ada bedanya dengan pejabat-pejabat culas yang ada di negara kita ini. Jika ada yang merasa kesal dengan statement saya ini, saya mohon maaf. Tapi ada baiknya kita menyadari, bahwa perbuatan korupsi pun sebenarnya juga lahir dari sebuah perbuatan/kebiasaan mencuri hal-hal yang kecil dahulu. Seperti misalnya seseorang yang ingin sekali menjadi PNS, rela mengeluarkan uang berjuta-juta demi sebuah jabatan di lembaga pemerintahan. Yang menjadi permasalahan bukan pada uang sogokannya, tapi kepada cara yang sebenarnya haram, seolah menjadi halal dan wajar adanya, karena hampir semua pihak “membenarkan” hal ini (karena hal ini menguntungkan beberapa pihak yang terlibat). Bukankah ini pun bisa dikatakan sebagai tindakan mencuri? Ya, mencuri hak orang lain yang lebih berkompeten untuk bisa menempati jabatan tadi. Jika selanjutnya ia – pegawai yang menyogok tadi – meluapkan rasa kesalnya pada pejabat-pejabat yang melakukan korupsi, apakah tidak sama saja maling teriak maling???

Ah, jika mau membahas semua perbuatan yang sama saja kejinya dengan korupsi, rasanya di media ini tidak akan cukup. Polisi yang banyak menerima uang sogokan dari para pengendara yang kena tilang – dengan alasan damai – padahal baik si pengendara maupun polisi ya sama-sama salah. Masyarakat banyak menyalahkan polantas karena banyak memakan uang haram (uang damai hasil tilang), tapi pengendara pun kadang tidak tahu diri. Sudah tidak taat peraturan lalu lintas, malah memancing polisi untuk menerima uang damai.

Ada juga oknum guru yang memberikan kunci jawaban pada murid-muridnya pada saat Ujian Nasional – dengan dalih agar semua muridnya lulus – jelas merupakan sebuah perbuatan yang sebenarnya hal itu adalah cikal bakal terjadinya tindakan mencuri ataupun korupsi. Intinya karena mereka telah terbiasa dengan perbuatan-perbuatan tercela, yang sebenarnya haram, namun seolah halal dan sah-sah saja sebab banyak pihak yang mewajarkan dan melumrahkan hal tersebut. Dan secara tidak langsung pun “kita” ikut andil dalam membangun tatanan perusak moral itu jika kita sudah mulai membiasakan anak-anak, adik-adik, teman-teman, dan keluarga kita untuk berbuat yang tidak sesuai dengan peraturan, moral, norma, etika, apalagi Agama.

Jika kita terbiasa “mencuri” hal-hal kecil dalam keseharian kita, rasanya tidak perlu heran dan capek-capek berteriak maling pada pejabat-pejabat culas itu jika pada akhirnya mereka memakan uang rakyat, uang kita, uang yang bukan menjadi hak mereka, sedikit demi sedikit hingga menjadi bukit. Kekayaan berlimpah, namun dosa pun tumpah ruah.

11 April 2012

Sukses dalam Keterbatasan

Sejak divonis dokter bertahun-tahun lalu bahwa kedua kakinya harus diamputasi karena kecelakaan, Yusuf kecil sudah bertekad dalam hati kalau dia harus bisa sukses layaknya orang normal pada umumnya.

Dan setelah bertahun-tahun setelahnya, Yusuf kecil kini tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa yang bisa membuktikan pada dunia bahwa ternyata ia juga bisa sukses seperti apa yang ia tekadkan bertahun-tahun silam sejak hilangnya kedua kakinya.

“Apa yang membuat Anda tetap bersemangat dalam ketidaksempurnaan Anda ini?” Tanya seorang presenter TV dalam sebuah acara reality show.

Yusuf tersenyum sambil memandang wajah seorang perempuan berparas ayu, “Ibu.” Sekali lagi ia melempar senyum itu padanya.

“Sejak kecil, ibu selalu ada buat saya. Sejak saya tidak lagi memiliki kakipun, ibu masih tetap ada di samping saya. Saat ibu memasukkan saya ke TBI Depok, karena memang ibu tahu saya sangat suka dengan pelajaran Bahasa Inggris, maka saya memiliki cita-cita dalam hati, suatu saat saya pasti bisa sukses. Orang cacat, yang tidak hanya menjadi beban bagi sekitarnya, tapi bisa bermanfaat untuk orang banyak.”

“Lalu, apa yang melatarbelakangi Anda membuat novel berbahasa Inggris yang sangat best seller baik di dalam maupun luar negeri, bahkan sudah dicetak dalam beberapa bahasa di seluruh dunia?”

“Potensi menulis itu pun saya temui saat saya kursus di TBI. Ada satu guru yang selalu memberi saya semangat untuk menulis. Maka dari itu saya fokus dalam penulisan novel berbahasa Inggris agar ilmu yang saya dapatkan di TBI bisa tersalurkan dengan baik. Dan Alhamdulillah karya saya ini tidak hanya bisa dinikmati di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.”


Disertakan pada lomba Blog Entry bertema Inspiring and Empowering through TBI, kerja sama Blogfam dan http://www.tbi.co.id

4 April 2012

Di TBI itu, Ada Sekuntum Mawar Untukmu

Waktu itu sudah lama sekali. Jika diingat-ingat, mungkin sudah sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu, saat orang tuanya membawanya pergi jauh ke kota London, dan meninggalkan semua kenangan manisnya bersama teman-temannya di sekolah dan di TBI Cibubur kesayangannya.

Hari ini, kisah delapan tahun silam itu seolah kembali memberikannya sebuah kenangan manis akan persahabatannya yang indah saat berada di TBI.

“Ternyata kamu yang memberikan mawar-mawar itu buatku?” Tanya Sinta membuka kembali ingatannya tentang mawar-mawar putih yang selalu membuatnya penasaran beberapa hari ini. Perbincangannya dengan Randy sempat hening beberapa saat.

“Aku tidak pernah lupa mawar putih kesukaanmu,” Jawab Randy tenang. “Dulu saat di TBI, sudah sejak lama aku memperhatikanmu. Memperhatikan segala apa yang kamu suka. Aku selalu berusaha belajar dengan giat di TBI agar aku tidak tertinggal olehmu. Awalnya aku tidak suka dengan pelajaran bahasa Inggris, tapi setelah bertemu denganmu, aku jadi semakin bersemangat belajar bahasa Inggris. Untunglah Tuhan membertemukan kita di TBI.”

“Apa kamu menyukaiku?” Tanya Sinta tanpa banyak basa basi lagi. Mawar putih itu digenggamnya dengan erat dalam pelukan jari-jari mungilnya.

“Itulah sebabnya mengapa aku belajar sangat giat waktu di TBI. Apalagi saat tahu kamu akan pindah ke London, aku bertekad untuk bisa menguasai bahasa Inggris. Agar suatu saat nanti aku bisa menyusulmu ke sini, dan menyatakan apa yang tadi kamu tanyakan.”

Tiba-tiba kedua mata bening Sinta mengembun. Ia tersenyum.

Hyde Park sore itu seolah menjadi saksi bisu kebersamaan mereka sejak di TBI sampai di London. Mereka menghabiskan waktu mengelilingi Hyde Park sambil mengenang kebersamaan mereka saat di TBI.


Disertakan pada lomba Blog Entry bertema Inspiring and Empowering through TBI, kerja sama Blogfam dan http://www.tbi.co.id

3 April 2012

Menikmati Takdir Secara Ikhlas

Tadi pagi, dalam sebuah angkot, karena saya hanya sendiri yg berstatus penumpang, waktu berhasil membuat saya kembali berpikir. Yang pada saat itu saya pikirkan adalah, saya hanya ingin dapatkan pekerjaan yang lebih baik dari segi penghasilan dan fleksibelitasnya. Yang saya pikirkan kala itu bukan karena saya serakah atau cinta pada dunia, tapi karena memang itulah satu-satunya jalan agar kehidupan saya dan keluarga bisa semakin membaik. Dengan penghasilan yang mencukupi, saya bisa membantu anak-anak Tante untuk tetap bersekolah dan mendapatkan hak yang memang seharusnya mereka dapatkan. Dengan penghasilan yang mencukupi, saya bisa membeli segala keperluan tanpa mengharap dari orang lain, dengan penghasilan yang mencukupi, saya bisa bersedekah pada orang yang membutuhkan, saya hanya ingin bisa lebih bermanfaat dengan segala apa yang saya punya.

Dan dalam pengandaian itu, saya kembali tersadar kalau semua itu membutuhkan proses. Saya kembali teringat pada Rizky, bocah mungilku. Terkadang saya suka membandingkan kehidupan Rizky dengan beberapa anak yang nasibnya hampir sama dengannya. Jika dibandingkan dengan mereka, rasanya beda sekali kondisi Rizky dengan anak-anak pada umumnya. Meskipun ada kesamaan di satu sisi, namun mereka memiliki keluarga yang selalu ada dan dapat mencukupi kebutuhan mereka dalam hal apapun. Sedangkan Rizky?

Ah, tapi rasanya tidak bijak bila harus membandingkan keadaan Rizky dengan anak lain. Saya rasa, Rizky pun juga sudah cukup bahagia dengan keadaannnya saat ini. Toh bocah mungilku itu belum bisa mengukur taraf kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun saya kembali tersadar, bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya adalah pada saat kita bisa menikmati apa yang sudah kita dapat selama ini. Dan Rizky adalah buktinya. Meski tanpa seorang ibu di sisinya, meski keadaan keluarganya tidak seperti keluarga pada umumnya, namun ia tetap bisa tersenyum dan bergembira bisa hidup bersama saya dan keluarga. Bahkan mungkin satu hal yang saat ini ia inginkan hanyalah dapat selalu bersama saya untuk dapat selalu menjaganya. Saya bisa merasakan bila saya di dekatnya, ia begitu bahagia. Jadi, tampaknya tak ada sela untuknya memikirkan apakah ia bahagia atau tidak, karena yang ia tahu, ia cukup bahagia hidup bersama dengan saya.

Dan tadi pagi pun, saya sempat berpikir, baik cobaan maupun kenikmatan setiap orang itu berbeda-beda. Dan hanya Allah lah yang mengetahui seberapa besar kapasitas kemampuan kita dalam menghadapi cobaan dan kenikmatan itu. Apa yang kita rasakan saat ini merupakan takdir (hak prerogatif) yang telah Allah gariskan untuk kita dan keluarga. Kita sebagai manusia hanya cukup menerima takdir itu, menikmatinya, dan mensyukurinya.

Dan lagi-lagi, memilih untuk menikmatinya merupakan sebuah proses panjang yang tidak mudah untuk dilaksanakan kecuali dengan memilih ikhlas sebagai landasannya. Namun sebagai manusia, kita diwajibkan untuk berikhtiar mencari yang terbaik dalam pencapaian hidup. Karena ikhtiar merupakan proses untuk menuju kehidupan ke arah yang lebih baik. Takdir memang tidak bisa dirubah, namun usaha/ikhtiar dapat merubah nasib. Bukankah Allah pernah berfirman, bahwa Ia tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu mau merubah nasibnya sendiri. Dan di sinilah hal itu harus kita terapkan. Including me :)