4 Agustus 2009

Di Suatu Sore, Sepulang Kerja


Tak seperti hari-hari biasanya yang setiap kali pulang kerja aku selalu bareng dengan teman-teman kantorku. Sore ini aku pulang lebih awal, mendahului teman-teman kantorku yang lain karena tugas mengajarku telah menanti. Aku langsung bergegas keluar kantor setelah merapikan ruang kerjaku dan berpamitan pada sebagian teman-teman di ruangan sebelah. Diluar kantor, aku menunggu mobil angkot.

Tak berapa lama, mobil angkot berwarna merah melintas dihadapanku. Tanpa berlama-lama lagi aku langsung menghentikan mobil tersebut kemudian aku menaikinya dengan harapan mobil itu langsung jalan agar aku tidak telat sampai ketempat mengajar.

Ketika aku sudah didalam mobil, aku memilih duduk tepat dibelakang supir angkot sambil membaca sebuah tulisan Mbak Azimah yang aku print di beberapa lembar kertas. Sesekali kuarahkan mataku pada seorang lelaki berjenggot tipis yang wajahnya tak asing lagi buatku. Dia bekerja ditempat yang sama dengan divisi yang berbeda denganku.

Dia berdiri tak jauh dari mobil yang aku tumpangi. Entah mengapa dia tak juga menaiki mobil tersebut. Pikirku mulai berkelana, apa mungkin dia tidak mau naik karena ada aku? Aku berpikiran seperti itu bukan karena su’udzan atau pun ke-GR-an, tapi karena aku melihat aura kealiman pada dirinya sehingga mungkin dia tidak mau naik ke mobil karena risih ada aku disana, yang notabene-nya seorang akhwat.

Tapi tak lama setelah itu, aku lihat dia berjalan mendekati mobil yang aku tumpangi dan dengan segera ia masuk kedalamnya. Awalnya kukira ia akan duduk dipojok mobil karena suasana dimobil saat itu sangat lengang. Hanya ada aku dan seorang lelaki paruh baya yang duduk didekat pintu. Namun yang tak pernah kukira, dia ternyata memillih duduk disebelah kiriku. Lebih tepatnya hanya berjarak beberapa centi dariku.

Bukan rasa senang yang timbul dalam hatiku karena bisa duduk dekat dengan seorang ikhwan alim. Bukan juga rasa gugup yang membuncah dikedalaman relung hati saat mobil perlahan jalan dan menaikan penumpang satu demi satu di setiap putaran rodanya. Tapi justru rasa heran dan sedikit rasa kesal yang menyeruak dihatiku saat tubuhnya semakin lama semakin dekat denganku karena sesaknya penumpang yang terus saja menjejal masuk kedalam mobil.

Tiba-tiba aku merasa risih. Aku heran, kenapa ia memilih duduk disebelahku? Kenapa dari awal ia tak memilih tempat duduk yang jauh dariku? Nasi sudah menjadi bubur. Akupun sudah tak dapat lagi berpindah ke posisi manapun. Sesekali ‘ikhwan’ itu mengalihkan pandangannya keluar kemudian kembali membaca buku yang dipegangnya.

Selama perjalanan, rasa tak nyaman terus saja menemani raga dan perasaanku. Entah mengapa aku jadi sedikit kesal pada ikhwan yang ada disebelahku itu. Kenapa dia harus duduk disebelahku? Apa mungkin dia bukan ikhwan sejati? Tapi, kalaupun dia bukan seperti itu, kenapa dia harus duduk disebelahku? Kenapa dia bukan duduk jauh dariku?

Wajahku memang tidak cantik, tapi aku juga berhak untuk tetap menjaga diriku ini. Apa aku tidak boleh marah dan kesal? Akhirnya aku turun tepat di depan Ramayana Pasar Minggu. Hatiku lega karena akhirnya aku bisa keluar dari kondisi seperti itu.

Sampai sekarang, aku masih sedikit kesal bila mengingat hal itu. Semoga aku, dan kita semua bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menghampiri kehidupan kita. Amiin.

23:13 Kamis 03/07/2008
By NZ (Sarah)