Duka ini,
Adalah duka yang tenang:
Sepenuh kesungguhan
Aku menutup sepenggal episode kebersamaan
Sepenuh kesadaran
Aku bangun dari sebuah mimpi kehidupan
Sepenuh jiwa
Aku menguburnya dalam kenangan masa silam
Sepenuh keyakinan
Aku mengantarnya pergi
Dari jalan panjang hidupku ke depan
Aku berduka, dengan duka yang tenang:
Atas keyakinan,
Kehilangan ini adalah wajar adanya
Atas kepastian,
Proses hidup memang demikian jalannya
Atas kepercayaan, esok kan datang yang lainnya
: Aku berduka dalam tenang
Bait-bait puisi itu nyaris tidak terbaca. Seakan bertetes-tetes air mata telah melelehkan tintanya. Bekas remasan tangan – yang tampaknya kemudian berusaha diluruskan lagi – menambah ruwet kertas putih yang telah lusuh itu. Dia, wanita itu, sekali lagi menghapus air matanya. Wajahnya basah. Matanya sembab. Inilah tuturnya…
Aku pernah mengenal seseorang. Dari diskusi-diskusi kami, aku merasakan sebuah kecocokan. Perlahan namun pasti, simpati itu tumbuh. Pada saat yang sama, instingku mengatakan kecenderungan ini tidak bertepuk sebelah tangan.
Sebagai seorang muslimah lajang yang tidak berniat untuk main-main dengan perasaan atau sekadar menikmati kebersamaan, aku berharap simpati ini bermuara dalam sebuah ikatan suci. Oleh karena itu, kukirimkan sinyal agar dia mengerti dan mengambil langkah maju sebagai seorang laki-laki.
Namun, hari demi hari kutunggu, tidak juga ada tindakan itu. Yang kurasakan kemudian, malahan, perhatian, yang semakin lekat. Perbincangan umum itu mulai berganti topic ke hal-hal yang bersifat pribadi. Sudah makan belum? Sehat-sehat saja hari ini? Oh Tuhan, apakah yang terjadi? Tidak mengertikah ia pada sinyal-sinyal harapan yang kukirimkan itu? Lantas, apa arti perhatiannya yang berbeda, bahkan cenderung istimewa?
Pekan kembali berlalu dan aku tenggelam dalam gelisahku. Dalam tafakur panjangku, aku menebak bahwa ada sesuatu yang menghalanginya, ada sesuatu yang membuatnya tidak mencoba. Harga diri dan percaya diri… ya, bagaimanapun, secara kasat mata, orang melihatku lebih segala-galanya dibandingkan dengan dia. Pekerjaanku lebih mantap, penghasilanku lebih besar, pendidikanku lebih tinggi. Mungkinkah dia berpikir bahwa dia tidak cukup layak untukku?
Aku pun berkonsultasi kepada teman-teman dekatku. Mereka menyarankan agar aku menyampaikan secara verbal kesediaanku, keinginanku untuk menjadi pendamping hidupnya. Duhai, berat nian kurasa untuk mengambil langkah itu. Berapa banyak di dunia ini perempuan yang menyatakan dulu minta dilamar? Apalagi pada masyarakat budaya Timur seperti Indonesia, kebiasaan yang berlaku adalah perempuan selalu menunggu? Akankah aku menjadi salah satu diantara mereka yang sedikit itu? Beranikah aku? Bagaimana kalau ternyata aku bertepuk sebelah tangan? Tidakkah itu akan mempermalukanku? Cukup lama aku maju – mundur dirundung gelisah, mencoba menetapkan hati mengenai keputusan yang akan kuambil. Apakah aku akan mundur, diam menunggu, atau melangkah maju?
Namun, akhirnya ketulusan dan niat baiklah yang membuatku mampu menguatkan hati. Bukankah tujuanku mulia? Karena aku ingin menjalin sebuah hubungan suci dalam sebuah pernikahan yang diridhai, aku pun memilih untuk mengambil langkah maju. Dalam sebuah obrolan, secara verbal kukatakan bahwa aku bersedia dan rela menikah dengannya. Aku ingin berbagi hidup dengannya.
Dia tertegun sejenak. Sesungguhnya, aku merasakan aura gembira itu padanya. Wajahnya menjadi berserk-seri. Namun kemudian, seri itu meredup. Terbata dia berkata bahwa saat ini, ia sedang dalam kondisi sibuk dan repot. Pun kondisi keuangannya masih sangat tidak stabil untuk menikah. Namun, satu yang ia tahu dan ia akui: ia memang jatuh cinta padaku. Ohoi, perempuan mana yang tidak berbunga hatinya saat mengetahui bahwa dirinya tidak bertepuk sebelah tangan? Perempuan mana yang tidak melambung ketika mengetahui ia dicintai?
Aku katakana bahwa aku bersedia menunggu dan semua kondisinya itu tidak berarti apa-apa bagiku. Sebagaimana yang kumiliki adalah ketulusan, aku pun hanya berharap ketulusan darinya, yaitu kesediaan untuk saling menerima apa adanya sebagai itikad baik untuk membangun rumah tangga.
Mulailah hari demi hari kembali kulalui dalam penantian. Detik, menit, jam, berlalu. Siang, malam, hari, dan pekan berganti. Namun, bunga itu ternyata harus dipaksa layu. Dia mengatakan bahwa dia tidak yakin dirinya seperti yang kuharapkan. Dia mengatakan bahwa aku akan berkorban terlalu banyak untuknya jika menikah dengannya. Dia katakan bahwa dia takut dan sangat terbebani jika nanti tidak dapat membahagiakanku. Dia bilang dia telah dijodohkan dengan seorang gadis dari kampungnya oleh orang tuanya dan dia mungkin akan memilihnya. Aku ingin mengatakan bahwa semua itu bukanlah apa-apa, selama ada niat baik. Ingin kukatakan bahwa kepercayaannya, kesediaannya menerimaku apa adanya sudah akan lebih dari cukup. Aku tidak hendak menuntut ini itu. Namun sayang, dia tidak memberi kesempatan itu. Sejak awal, dia sudah menutup kesempatan dengan ketakutan dan kekhawatirannya. Dari semula, dia sudah langsung memvonis bahwa aku tidak akan bahagia bersamanya.
Kemudian, dia menawarkan persahabatan. Persahabatan? Tidak! Persahabatan macam apa yang bisa dibangun oleh dua orang yang sedang saling jatuh cinta? Persahabatan macam apa yang dapat dijalani oleh orang yang saling tahu perasaan satu sama lain?
Tiba-tiba, aku teringat kisah cinta seorang gadis basrah dan pemuda kufah yang terhalang oleh restu dari orang tua. Si gadis menawarkan jalan belakang, “Aku akan membuka pintu rumahku dan datanglah engkau padaku atau aku akan menyelinap pergi ke rumahku.”
Namun, si pemuda menolak, “Maaf, aku tak hendak bermaksiat demi mengikuti rasa cintaku.”
Akhirnya, mereka pun memilih kesucian. Sepenuh kekuatan tekad, mereka berusaha berpegang pada tatanan syariat, tidak hendak melanggarnya demi sebuah cinta. Dengan kesungguhan, sang gadis mengekang dendam asmara di dadanya hingga badannya kurus kering oleh derita cinta. Dengan keimanan, si pemuda menahan perasaannya hingga jiwanya merana. Tidak lama, mereka meninggal oleh derita cinta, hanya selang waktu satu minggu antara satu dan lainnya.
Tidak! Sekalipun aku tidak sesuci gadis basrah dan dia mungkin tidak seshalih pemuda kufah, tapi aku tidak berniat untuk memuarakan cinta yang tidak pada lautnya.
Tidak! Sekalipun dia telah mengetahui isi hatiku dan aku mengetahui pula kecenderungannya padaku, aku tidak berniat untuk membiarkan dua hati itu menyatu diluar tamannya.
Tidak! Sekalipun memar dada ini telah lebam membiru, tapi aku tidak berniat untuk mengobatinya dengan morpin asmara yang hanya akan membuatku terlena.
Tidak! Sekalipun tubuhku harus sakit digerogoti cinta, aku tidak akan mencoba menyembuhkannya dengan kasih fatamorgana.
Tidak! Aku tidak berniat untuk menjalin hubungan dekat apa pun dengan seorang yang jelas-jelas tidak akan memilihku. Aku tidak berniat untuk bermain api atas nama persahabatan. Aku tidak ingin menodai ketulusanku dengan sebuah kebersamaan yang tidak sepantasnya.
Perempuan itu menutup kisahnya, dengan sembab yang kian nyata di pelupuk mata. Namun, itu semua sama sekali tidak menghapus sinar ketegaran, kekokohan, dan kesungguhan di wajahnya.
Perlahan, dia menggumamkan kembali bait-bait syair itu,
Duka ini,
Adalah duka yang tenang:
Sepenuh kesungguhan
Aku menutup sepenggal episode kebersamaan
Sepenuh kesadaran
Aku bangun dari sebuah mimpi kehidupan
Sepenuh jiwa
Aku menguburnya dalam kenangan masa silam
Sepenuh keyakinan
Aku mengantarnya pergi
Dari jalan panjang hidupku ke depan
Aku berduka, dengan duka yang tenang:
Atas keyakinan,
Kehilangan ini adalah wajar adanya
Atas kepastian,
Proses hidup memang demikian jalannya
Atas kepercayaan, esok kan datang yang lainnya
: Aku berduka dalam tenang
Aku menunduk, bermenung … Allah, pertemukan dia, juga perempuan-perempuan muslimah perkasa lainnya, dengan belahan jiwa mereka. Seseorang yang akan menyambut ketulusan hatinya. (Azi)
(Buku: Catatan Wanita Lajang – Azimah Rahayu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar