Asa masih membisu. Langkahnya yang semakin pelan, berbanding terbalik dengan pikirannya yang dipaksa untuk berpikir cermat. Menurutnya, pernikahan bukanlah hal yang mudah unttuk dibicarakan. Sebab bicara tentang menikah, bukan hanya bicara tentang personality saja, tapi juga tentang perasaan dan keadaan dua insan manusia. Baginya, menikah bukanlah seperti membeli permen di warung. Tidak semudah merogoh uang di kantong dan tidak semudah memakannya. Maka dari itu tidak mudah pula menjawab sebuah pertanyaan “Kapan menikah?” yang membuat hari-harinya semakin kelabu. Jika boleh jujur, wanita mana sih yang tidak ingin segera menikah? Mungkin hanya orang-orang bodoh yang tidak menginginkan pernikahan dalam hidupnya.
“Jadi, bagaimana kalau nanti kamu menikah?”
Kali ini pertanyaannya lain. Hanna yang melontarkan pertanyaan itu padanya. Di kesempatan yang jarang sekali mereka lewatkan bersama ini, Hanna sedang berusaha mengorek informasi dari Asa demi menjalankan sebuah misi rahasianya.
Asa tersenyum dalam langkahnya yang terhenti di depan sebuah rak buku-buku novel. Berusaha mengingat-ingat senyuman bocah mungilnya di rumah. “Pertama, sampai saat ini belum ketahuan siapa jodohku,” Ucap Asa tanpa mengarahkan pandangannya pada Hanna, “Kedua, karena aku tidak mau masalah ini terlalu dibawa pusing. Aku tidak mau menjadikan Kania sebagai beban.” Lanjutnya mengambang. Suaranya sedikit pelan namun seperti ada isak di ujung kalimatnya. Sementara di telinga Hanna, kalimat itu terdengar seperti sebuah harapan kalau suatu saat akan ada seorang laki-laki yang bersedia menerima dirinya dan Kania.
Asa hanya seorang wanita muda yang banyak memiliki cita-cita dan harapan. Sama seperti namanya, ia hanya ingin mewujudkan semua harapan-harapannya demi kebahagiaan diri dan keluarganya. Namun satu cobaan berat ternyata dihadiahi Allah padanya setahun yang lalu, saat kakak dan kakak iparnya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan dan meninggalkan seorang putri mungil yang kini berusia dua tahun. Dialah Kania, yang kini sudah menganggap Asa seperti ibu kandungnya sendiri.
Ratusan buku novel yang kini berjejer di rak-rak buku di hadapannya sedikit menyita perhatian Asa untuk melihat satu per satu isinya. Pikirannya sempat mengangkasa, kalau saja buku karyanya suatu saat nanti bisa menjadi salah satu buku best seller yang juga di pajang bersama buku-buku best seller lainnya, ah itu adalah salah satu impiannya. Masih sambil menggenggam dan membaca sinopsis salah satu novel terjemahan karya Beth Hoffman, ternyata hal itu membuat Hanna mencari cara lagi untuk kembali mengorek berbagai informasi tentang Asa. Sebelum pada akhirnya…..
“Aku tidak ingin menjadikan Kania sebagai kendala dalam hal ini.” Ucap Asa tiba-tiba seolah bisa mengeja pikiran Hanna barusan. “Sebab Kania adalah anugerah terindah almarhumah ibunya yang dititipkan Allah padaku. Kalaupun Allah memberikan izin untukku bertemu jodoh, pasti Allah akan memberiku yang terbaik. Aku hanya ingin memberikan kasih sayang yang utuh kepada Kania. Aku tidak tega jika melihat anak-anak lain mempunyai sosok yang bisa dipanggil ayah dan ibu, sedangkan Kania tidak. Bagi Kania, mungkin hanya aku yang bisa ia anggap sebagai seorang ibu. Hanya aku yang bisa ia cari saat ia bangun tidur, atau saat ia ingin mengadukan hal baru apapun yang ia lihat dalam kesehariannya.”
Asa kembali melangkahkan kakinya menyusuri rak-rak buku sambil jemari tangannya meraba beberapa cover buku lalu sesekali menariknya keluar rak dan membaca sinopsisnya. Hanna masih setia mengikuti aktivitas Asa di rak buku lainnya. Ada sesuatu yang dipikirkannya.
Setelah beberapa buku dibayar Asa di kasir, ia dan Hanna pun langsung menuju ke sebuah rumah makan khas Sunda yang ada di lantai yang sama dengan toko buku yang baru saja mereka tinggalkan. Setelah menemukan posisi yang nyaman mereka pun segera memesan makanan dan minuman. Salah satu buku yang tadi dibeli Asa agak merebut perhatiannya sehingga ia segera membuka plastik yang membungkus buku tersebut dan langsung membolak balikkan lembar demi lembar halamannya.
“Aku mengerti posisi dan keadaanmu Sa….” Ucap Hanna mencoba memberikan empati pada sahabatnya,”Tapi kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri….”
Asa langsung melepas pandangannya dari buku yang dibacanya dan melirik Hanna. Tajam. Hanna pun langsung salah tingkah dibuatnya. “Maaf Sa, bukan maksudku menyinggung atau….”
Asa tersenyum dan mengangguk, ”Aku rasa kamu belum benar-benar mengerti keadaanku Han….”
“….”
“Awalnya, Kania mungkin memang menjadi sebuah ‘ganjalan’ untukku memikirkan masa depan. Namun seiring berjalannya waktu, kurasa Kania bukanlah sebuah kendala yang harus aku carikan solusinya. Karena jika memikirkan jodoh, insya Allah jodoh yang kelak dihadirkan Allah adalah jodoh yang terbaik untukku. Jika kelak aku bertemu dengannya namun ia keberatan dengan hadirnya Kania dalam kehidupan kami nantinya, mungkin aku akan lebih memilih untuk tidak melanjutkan lagi hubungan itu. Paling tidak sampai Kania bisa benar-benar mengerti dengan hal apapun yang dapat aku jelaskan padanya. Tapi untuk saat ini, Kanialah yang menjadi prioritas utamaku.
“Kurasa sama halnya seperti perasaanmu terhadap kedua anakmu. Meskipun Kania bukanlah darah dagingku, tapi aku menyayanginya layaknya kamu menyayangi anak-anakmu. Meski mungkin porsinya tidak sebesar yang kamu punya untuk anak-anakmu.”
Hanna kembali terdiam. Tampaknya dia sudah kehabisan kata-kata dan sedang kembali menyusun rangkaian kata berikutya. Sambil berpikir, mungkinkah memang dia tidak bisa mengerti posisi yang dialami Asa saat ini. Sehingga ia sampai melupakan bahwa kondisi Asa pun sama seperti kondisi ia sebagai seorang ibu. Sama-sama ingin memberikan kasih sayang moral dan akhlak yang tulus pada buah hati mereka masing-masing.
“Bukan bermaksud untuk mengesampingkan pentingnya sebuah pernikahan,” Lanjut Asa menutup buku yang dibacanya tadi. “Tapi karena sebelum jodoh datangpun, Kania telah lebih dulu mengisi seluruh ruang hatiku. Dialah yang bisa membuat aku tersenyum setiap waktunya, dialah yang bisa mencintaiku dengan sebegitu tulusnya, dan kami saling mencintai dalam konteks yang berbeda. Sebagai ibu dan anak.
“Menyayangi Kania layaknya anak sendiri memang tidak memberikan keuntungan materi apa-apa padaku, tapi hal itu menimbulkan sebuah rasa bahagia tersendiri di dalam hatiku. Jika aku selalu prihatin dengan kondisi anak-anak yatim piatu di luar sana, bagaimana mungkin aku tidak merasa prihatin dengan keadaan Kania? Terlebih lagi dia adalah keponakanku sendiri. Setidaknya hatiku terpanggil untuk melakukan hal yang lebih dari sekedar prihatin. Yaitu memberikannya kasih sayang yang tidak sepenuhnya diberikan ibunya dulu.”
Mata Asa mengembun. Hanna melihat seperti ada butiran-butiran kristal halus yang membentuk gumpalan. Tangannya langsung menyodorkan sehelai tisu padanya.
“Aku tidak mengajukan banyak syarat pada ‘ia’ yang kelak akan datang sebagai jodoh untukku,” Lirih Asa sambil mengusapkan tisu tadi ke matanya yang sudah mengembun. “Jika kebanyakan tetangga berkata,’Wah tinggal cari bapaknya aja nih.’ padaku saat mengajak Kania bermain keluar rumah, aku tidak akan membuat ‘ia’ benar-benar menjadi ayah untuk Kania. Aku pun hanya ‘bunda-bundaan’ untuknya. Yang aku minta hanya, ‘ia’ bersedia menyayangi Kania layaknya ‘ia’ menaruh rasa prihatin pada anak-anak yatim piatu pada umumnya. Hanya itu. Kalaupun ‘ia’ tidak bisa menyayangi Kania layaknya anak sendiri, tidak masalah buatku. Asalkan ‘ia’ tetap mengizinkan aku membantu almarhumah Mbak Sanny untuk menjaga dan merawat Kania. Mengizinkan aku membantu beliau mengantarkan Kania sekolah, membantunya membesarkan Kania, paling tidak sampai Kania benar-benar mengerti kalau aku hanyalah tantenya. Aku tidak akan banyak menuntut apapun padanya atas Kania. Sebab Kania adalah tanggung jawabku dan keluargaku.”
Hanna mendengarkan Asa dengan seksama. Pikirannya semakin berkelana entah kemana. Kata demi kata pun sudah sangat baik dirangkainya di kepala untuk sekedar menguatkan dan menyemangati Asa, namun entah kenapa yang terlontar dari mulutnya bukanlah kata-kata yang dirangkainya tadi melainkan, “Lalu bagaimana jika kamu menikah dan punya anak? Bagaimana dengan Kania?”
Asa terdiam sambil melemparkan pandangannya ke luar. Sebelum sempat ia menjawab, seorang pelayan perempuan keburu datang membawakan pesanan mereka. Asa menjawab setelah pelayan itu pergi.
“Hah…” Asa menyandarkan tubuhnya, seolah hal itu dapat melepaskan sedikit kecemasan yang dirasakannya saat ini. “Itu adalah masalah yang tidak harus aku pusingkan sekarang Han. Toh jodoh pun belum aku temukan. Toh aku pun belum ada rencana menikah, meskipun keinginan itu ada. Tapi, jika aku pusingkan hal itu sekarang, bukankah hanya akan membuang-buang waktuku jika ternyata aku belum ditakdirkan menikah pada usia Kania yang baru menginjak 2,5 tahun? Hal itu bisa dipikirkan nanti saat waktunya memang sudah benar-benar tiba. Dan untuk saat ini, biarkan aku tetap fokus pada Kania dan segala macam kegiatan rutinitasku.”
Kembali Hanna hanya bisa terdiam. Selain mencermati setiap kalimat yang dijelaskan Asa, juga menyesali kebodohannya karena telah melontarkan pertanyaan itu pada Asa. Dan demi mencari pembenaran atas tindakannya itu, mungkin juga karena ia diburu-burui oleh misi yang saat ini tengah ia jalankan.
“Tapi pernyataan di atas kembali membuat aku mempunyai sebuah pemikiran Han...” Sambung Asa sambil mengaduk-aduk sedotan dalam gelas ice lemon tea nya, “Karena ternyata, logika kita dengan logika Allah itu sangat jauh berbeda. Perhitungan Allah dengan perhitungan kita itu berbeda. Kalaupun memang benar aku menikah dalam waktu dekat, dan timbul pertanyaan di atas, maka aku yakin hal itu bukanlah menjadi sebuah kendala yang besar. Sebab jika menurut logika manusia hal itu akan menjadi sebuah kendala yang besar, maka tidak bagi Allah. Sebab Allah memberikan kita masalah dan ujian pun pasti sudah melalui tahap perhitungan dan pertimbangan yang sangat matang. Karena sekali lagi, perhitungan Allah dengan perhitungan kita itu tidak sama. Jika Allah sudah memutuskan kita untuk menerima sebuah ujian, pasti Allah juga memberikannya satu paket dengan solusinya.
“Maka sekali lagi, aku tidak mau dipusingkan dengan hal-hal yang belum jelas kapan terjadinya. Karena hal itu hanya akan menghambatku untuk maju. Kalau aku dipusingkan dengan pertanyaan di atas, maka yang timbul adalah sebuah kasih sayang yang tidak tulus kepada Kania karena kekhawatiranku di masa depan. Padahal kapan terjadinya pun aku belum tahu.”
Asa menyelipkan sebuah senyuman di akhir ceritanya. Ia meminum sedikit ice lemon tea nya lalu menyantap makanan yang ada di hadapannya. Sambil menyantap juga makanannya, Hanna berpikir, apakah ia tidak salah memilih Asa? Apakah Asa adalah pilihannya yang tepat untuk Mirza? Adik iparnya yang pernah mendaulatnya untuk mencarikannya pasangan hidup. Seorang laki-laki dewasa yang sudah mapan, yang pernah berkata padanya, “Kalau aku menikah nanti, Insya Allah penghasilanku cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku Mbak.”
Hanna kembali berpikir, andai saja waktu itu Mirza mengatakan, “Kalau aku menikah nanti, Insya Allah penghasilanku cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku dan bantu-bantu sedikit keluarga istri Mbak.” Mungkin ia tidak akan seragu ini. Masalahnya bukan pada Asa, tapi apakah Mirza bisa menjadi sosok yang tadi dikatakan Asa? Tapi ia semakin yakin pada keteguhan Mirza mencari seorang istri. Dan semakin yakin kalau Asa adalah orang yang tepat untuk Mirza. Setiap rizki manusia itu sudah ditetapkan oleh Allah. Dan bukankah pernikahan merupakan sebuah jalan pembuka pintu-pintu rizki yang masih tertutup? Ah, semua itu bisa ia bicarakan nanti dengan Mirza.
Hanna masih memikirkan bagaimana caranya mengutarakan keinginannya itu pada Asa. Memperkenalkan Asa dengan Mirza, dan membuat mereka bisa mewujudkan dan menyatukan impian mereka masing-masing dalam bingkai sebuah pernikahan.
“Ah, jodoh itu misterius. Andai saja pernikahan itu layaknya membeli permen di warung. Semudah merogoh uang di kantong dan semudah memakannya, pasti akan mudah juga menjawabnya, ‘Kapan nikah?’”
Pasar Minggu, 2012, 10.44 PM
Silahkan download versi e-book nya di Dialog Asa
17 komentar:
Pernikahan memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan :)
suka sama cerpennya ^___^V
Wah cerpen tentang pernikahan ya... memang tidak semudah membeli permen.
kalo pernikahan layaknya membeli permen diwarung, ya enak bangetlah
yang terpenting menurut aku,bukan kapan cepet & lambatnya kita menikah dengan pasangan kita
tapi seberapakah kita sanggup mengikat komitmen dengan pasangan kita selama menikah
karena percuma nikah cepet tapi berakhir dengan pertengkaran
seperti sebuah nasihat bijak yang pernah kudengar, segeralah menikah, tapi jangan tergesa-gesa menikah. sekilas hampir sama, tapi sesungguhnya segera dan tergesa-gesa mengandung makna yang berbeda, diantaranya adalah bahwa tergesa-gesa adalah ciri perbuatan syetan.
jadi segeralah menikah bagi yang sudah bertemu jodohnya, dan jangan tergesa-gesa menikah jika hanya untuk memuaskan nafsunya.
Kata seorang teman menanyakan kapan dia akan menikah seperti menanyakan kapan dia meninggal.. Halani ghoibani :)
catatan yang penuh makna
salam kenal dari bandung
aku follow...mba :)
catatan yang penuh makna ...
salam kenal :
setuju. menikah itu tak semudah beli permen, apalagi krupuk. hehe...nice story...tapi ini spt nya ada unsur pengalamanmu ya.
Setuju sekali... adanya Kania harusnya bukan menjadi penghalang dalam mendapatkan jodoh.
Allah pasti telah menyediakan jodoh utk Asa... hanya tinggal menunggu dipertemukan saja.
Aku suka sekali membacanya mbak.
Apa kabar? Duh, lama ya aku gak mampir kesini :)
@All : makasih semuanya, alhamdulillah saya sehat, sesuatu pokoknya mah :D
@Sang Cerpenis bercerita : yaaa 70% inspired by a true story lah Mbak, hehehe
Cerpen ya dek? Kok kayak ada 'nyata'nya ya...
Semoga...
cerpen yang bagus dan bermutu, terima kasih, jangan lupa kunjungi blog saya, http://penyuluhpi.blogspot.com/
salam kenal
cerpennya sangat luar biasa,,,
tetang pernikhan,,, jadi kepengen,,,haha
keren gan informasi.a
keren gan postinganya
Sebuah renungan...
Posting Komentar