26 Desember 2012

Postcardfiction : Titip Rindu di Baitullah

“Bu Abu baru pulang haji.”

Begitu perbincangan orang-orang siang ini. Pesta meriah dan arak-arakan dilakukan para tetangga untuk menyambut Bu Hj. Abu yang baru pulang dari tanah Mekkah. Seorang nenek dalam balutan kebaya menatapnya dengan air mata berlinang, “Seandainya aku bisa menunaikan ibadah haji juga….” Dialah enek. Setidaknya begitulah para tetangga memanggilnya. Singkatan dari kata nenek.

Enek baru saja pulang dari rumah Bu Hj. Abu. Air matanya sedikit meleleh saat menerima bingkisan sambil mendoakan semoga Bu Hj. Abu menjadi haji yang mabrur. Langkahnya semakin gontai saat mengingat Rafli, anak bungsunya yang sudah menabung dari hasil mengojeknya bertahun-tahun demi untuk memenuhi keinginan Enek pergi haji, namun harus kandas di tengah jalan lantaran uangnya terpakai untuk beberapa keperluan hidup yang semakin mendesak.

“Nek! Mampir dulu!” Seru Aisyah, seorang muslimah muda yang membuka warung kopi di samping rumahnya. Enek tersenyum lalu menghampiri.

“Dari rumah Bu Hj. Abu ya, Nek?” Tanya Asiyah sambil mempersilahkan enek duduk. Enek hanya mengangguk pelan. “Enek kenapa?” Tanya Aisyah kemudian.

Raut wajah Enek tampak berubah. Ia sadar bahwa kesedihannya telah membuat Aisyah bertanya-tanya. “Enek nggak kenapa-napa, Neng.”

“Enek nggak perlu bohong sama Aisyah.” Ucap Aisyah tiba-tiba seperti tahu isi hati Enek. “Bang Rafli sudah cerita semua pada Aisyah, kemarin...”

“Cerita ape, Neng?”

“Nek, pergi haji itu wajib bagi yang mampu. Jika kita belum mampu, tidak diwajibkan, kok. Allah lebih tahu isi hati setiap kita, Nek. Meskipun Enek belum pergi haji seperti kebanyakan orang, tapi insya Allah pahala Enek sama besarnya seperti haji mabrur, karena Enek telah ikhlas merawat kelima cucu Enek yang yatim piatu itu. Insya Allah kalau ada rejeki, Enek pasti bisa pergi haji.”

Seperti diketahui para tetangga, Enek memang seorang diri merawat kelima cucu yatim piatunya dengan ikhlas. Bukan perkara mudah baginya, tapi ketulusan hati Enek telah membuat semua ujian hidupnya terasa mudah di mata orang lain.

=================================================================================

inspired by a true story - 300 kata

20 Desember 2012

Postcardfiction : Tabir Kehidupan

“Belum cukup, Dik.” Seru Firman sambil memasukkan tumpukan rupiah ke dalam tasnya. Matanya sayu seperti tak punya harapan lagi. Sementara Aini hanya terdiam sambil mengelus rambut si kecil yang sudah tertidur.

Hari ini mereka baru saja melangsungkan pesta untuk merayakan khitanan Fajar. Semua tetangga, bahkan orang penting di daerahnyapun diundang. Padahal banyak yang tidak tahu, bahwa untuk makan saja mereka harus mengirit. Bahkan lampu yang menyala di rumahnya hanya yang ada di teras dan kamar. Tetangga tidak boleh tahu kalau mereka kekurangan, dan hal itu dilakukannya demi kehormatan keluarga besarnya.

18 Desember 2012

Postcardfiction : Rindu di Ujung Senja

Lelaki tua berpeci itu berdiri galau di hadapan jendela rumahnya. Tatapannya nanar seperti tengah menahan isak dalam diamnya. Hujan perlahan turun membasahi tanah minang yang ia cintai. Ia mendapati beberapa orang di luar sana berlari kecil demi menghindari terpaan hujan. Sesekali ia menatap tetangga depan rumahnya sibuk mengangkat jemuran yang sudah hampir kering.

Ia kembali teringat. Dulu, beberapa tahun sebelum kesedihan ini mengancam, ia dan istrinya sering mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Memasak, mencuci, sampai mengangkat jemuran seperti yang tetangganya lakukan, ia pernah lakukan juga bersama istrinya. Tapi kini yang dicintainya telah kembali ke pangkuan-Nya sejak berpuluh tahun silam.