Lelaki
tua berpeci itu berdiri galau di hadapan jendela rumahnya. Tatapannya nanar
seperti tengah menahan isak dalam diamnya. Hujan perlahan turun membasahi tanah
minang yang ia cintai. Ia mendapati beberapa orang di luar sana berlari kecil
demi menghindari terpaan hujan. Sesekali ia menatap tetangga depan rumahnya
sibuk mengangkat jemuran yang sudah hampir kering.
Ia
kembali teringat. Dulu, beberapa tahun sebelum kesedihan ini mengancam, ia dan
istrinya sering mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Memasak, mencuci, sampai
mengangkat jemuran seperti yang tetangganya lakukan, ia pernah lakukan juga
bersama istrinya. Tapi kini yang dicintainya telah kembali ke pangkuan-Nya
sejak berpuluh tahun silam.
Tiba-tiba ingatannya juga membawanya terbang ke tahun-tahun sebelumnya. Saat ketiga anaknya masih setia berada di sisinya, saat masa-masa sulit juga terus membersamai kehidupan mereka, lebih memilih tidak makan dalam beberapa hari daripada harus melihat anak-anaknya kelaparan dan tidak sekolah, kembali membuat matanya berembun.
Begitu
cepatnya waktu berlalu. Kedua matanya yang sayu masih menjamah rintik hujan
yang kian deras. Tampaknya baru kemarin ketiga anaknya bermain-main di bawah
rinai hujan. Membawa payung masing-masing satu buah, untuk kemudian ditawarkan
pada setiap mereka yang membutuhkan jasa ojek payung.
Mata
lelaki tua itu mulai basah. Mulai menangisi kesendiriannya yang semakin hari
semakin pekat. Entah sejak kapan ia merasa kalau ketiga buah hatinya sudah
tidak mengingatnya lagi. Sejak menikah dan punya anak, waktu mereka untuknya
mulai berkurang, bahkan tak bersisa. Ingin rasanya mengerti, namun sulit
baginya.
“Saya sibuk, Pak.” Ucap Ardi, anak tertuanya saat ditanya
kapan akan pulang.
“Anak saya sakit, Pak. Sepertinya saya tidak bisa pulang.”
Kali ini Asti, anak keduanya menjawab lain.
“Saya sedang di luar kota menemani anak-anak study tour,
jadi mungkin tahun ini saya tidak bisa pulang, Pak.” Demikianlah si bungsu Ayu
beralasan.
Ini hari jadinya. Lelaki tua berpeci menutup jendela kayu.
Berhenti berharap. Satu dua air matanya menitik. Anak-anak sudah tak memperdulikannya lagi!
----------------------------------------------------------
- 300 kata -
- 300 kata -
4 komentar:
kisahnya menarik sekali mba
buat q teringat pada orang tua ku sendiri
Aduh.. jadi introspeksi nih.. :'(
Btw Sar, parau itu khusus buat suara, lho. Mungkin harus cari pilihan kata lain. Cuma saran :)
duh kasihan banget
Hiks...kesian :(
jadi inget sm ortuku sendiri, liburan akhir taun biasanya pulang, skrg ga bs coz udh ada suami :(
Posting Komentar