4 Oktober 2010

Nyawa "Serep"


Sadarkah kita bahwa selama ini kita hidup di “negeri seolah-olah”? Tragedi tabrakan kereta Argo Anggrek dan Senja Utama beberapa hari lalu seharusnya membuat kita sadar bahwa negeri seolah-olah itu bahkan sudah cukup lama membawa kita menjadi warga negara yang mempunyai semangat “berani mati”.

Kita sering merasa bahwa kita mempunyai kehidupan atau nyawa ‘serep’, mengingat kecelakaan di Stasiun Petarukan, Pemalang adalah tragedi yang menjurus kepada satu hal: seolah tidak diperlukannya lagi standardisasi karena kita sudah terlanjur sering bercengkerama dengan ancaman kematian. Standardisasi yang meliputi kelayakan operasional bagi kereta api dan SDM nya, lintasan rel, dan penumpangnya, tampaknya hanya sebuah teori belaka, sementara kita sudah terlanjur percaya pada improvisasi. Bahwa kereta tua itu mustinya sudah di’pensiun’kan karena sudah tidak layak pakai, tak perlu hal itu menjadi beban pikiran kita. Bahwa masinis beserta kawan-kawannya musti berpengalaman berhubung yang dibawanya adalah sekumpulan manusia dan bukan sekawanan ikan teri, tak perlu hal itu menjadi beban pikiran kita. Bahwa lintasan rel kereta api haruslah benar-benar mulus dan memiliki standard kelayakan yang benar berhubung yang akan melaluinya adalah sebuah kereta api yang panjang dan memiliki kapasitas berat yang tak sedikit jumlahnya, dan bukan sebuah gerobak sayur, tak perlu hal itu menjadi beban pikiran kita. Bahwa para penumpang haruslah bekerja sama secara baik dan benar satu sama lain untuk tetap menjaga kemanan dan kenyamanan kereta karena khawatir sedikit saja ada yang rusak dari kereta tersebut dapat mengacaukan sistem perjalanan kereta yang ada. Semua hal itu, tak perlulah menjadi sebuah beban pikiran kita, karena apa? Karena semua yang terlibat adalah manusia yang seolah-olah memiliki nyawa ‘serep’!!!

Dari kesemuanya itu, tampaknya bisa menjadi sebuah kesimpulan bahwa tragedi mengenaskan kecelakaan kereta api yang terjadi berkali-kali seolah menunjukkan pada kita bahwa “teori” tentang lintasan kereta api haruslah diberi pengaman berupa penjagaan - baik oleh alat maupun dari manusianya - tidak perlu menjadi sebuah beban pikiran kita, sebab manusia-manusia yang melewatinya adalah makhluk yang seolah-olah mempunyai nyawa ‘serep’. Buktinya, walau sudah banyak kasus-kasus kecelakaan yang merenggut nyawa penumpang KRL yang tak juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku, toh kita tidak juga takut ataupun cemas untuk kembali menaiki kereta tanpa mengindahkan peraturan yang ada.

Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa nyawa itu seolah menjadi barang yang sangat murah, dan kita adalah penjual nyawa yang tanpa segan-segan mengobralnya untuk hal-hal yang sepele. Jadi tak perlu heran kalau kebanyakan fasilitas transportasi kita beraroma kematian, karena kita sudah terbiasa hidup tanpa standardisasi.

foto diambil dari: http://foto.detik.com/readfoto/2010/10/02/102313/1453694/157/1/tabrakan-argo-anggrek-vs-senja-utama

1 komentar:

Anonim mengatakan...

apapun yang terjadi kita tetap bangsa indONEsia, ironis sekali, punya 9 nyawa juga pasti bingung (he... tom & jerry holic)
*kematian hanyalah kematian, yang bisa datang kapan saja, & datangnya tanpa ada pemberitahuan.

~ dy ~