Sampai
saat ini Bhirawa tidak mengerti dengan hati kecilnya. Bagaimana mungkin seorang
kapten sepertinya bisa memendam sebuah perasaan sampai sebegitu dalamnya? Ia sungguh-sungguh
tak menyangka. Waktu sembilan tahun ternyata tak mampu mengusir kenangan masa
lalunya saat SMA. Surat cinta yang terbingkai rapi dan terpajang di dinding kamarnya
- setelah dulu pernah dikembalikan oleh seseorang yang namanya tertulis di sana
– ternyata tak pernah mampu untuk merontokkan sisa-sisa cintanya.
Dan hari
ini, ia harus bertemu dengan sosok yang namanya selalu ia tanam di taman
hatinya, dalam sebuah acara reuni sekolahnya - SMA 1 Surabaya - yang tak pernah
ia datangi sejak sembilan tahun silam. Mulutnya kelu dan jantungnya berdegup
kencang seperti tabuhan genderang. Sementara di hadapannya kini ada Kinanthi,
seorang wanita yang namanya pernah terukir dalam surat cinta yang dulu dikembalikan
olehnya, mungkin – menurut Bhirawa – karena ia lebih memilih laki-laki lain
yang kini telah beruntung menjadi suaminya. Bagi Bhirawa, Kinanthi adalah
wanita yang sederhana. Tak peduli waktu telah memangkas usianya, namun
kesederhanaan itu yang membuat Bhirawa masih setia hidup melajang sampai
sekarang. Kesederhanaan yang tak dimiliki oleh wanita manapun selain Kinanthi.
“Suamimu mana, Thi?” Tanya Bhirawa memberanikan diri pada akhirnya. Kinanthi tersenyum simpul sambil menundukkan wajahnya. “Suamiku sudah meninggal.” Jawabnya sambil melempar senyum termanis pada Bhirawa. Entah mengapa senyum itu bagai hantaman gelombang dahsyat yang siap menjatuhkan dirinya dari kapal paling besar sekalipun. Ia hanya meminta maaf tanpa berniat mengucap rasa berbela sungkawanya, karena mungkin ucapan itu sudah sangat terlambat. Suaminya telah meninggal lima tahun yang lalu.
Yang Bhirawa tahu, selepas
suaminya meninggal, Kinanthi belum memutuskan untuk menikah lagi. Dan kabar itu
sebenarnya sangat membuat hati Bhirawa sedikit sejuk. Keinginan itu pun kembali bersemi: meminta Kinanthi untuk mau menjadi istrinya. Namun tiba-tiba ada
satu keraguan yang terlintas di pikirannya, “Bukankah dulu ia pernah menolakku
karena laki-laki itu? Bukankah itu artinya dia tidak mencintaiku?” Dan
pertanyaan itu terjawab oleh Kinanthi yang tengah membatin, “Andai saja dulu
aku tidak mengembalikan surat cintamu, mungkin saat ini kita sudah hidup bahagia
bersama anak-anak kita. Namun sayang, saat itu ibuku telah menjodohkanku dengan
laki-laki lain. Maafkan aku, Kapten Bhirawa. Tapi aku yakin, seorang kapten
sepertimu tidak akan mungkin mau denganku.” Mereka berdua saling melempar
senyum. Ada satu rindu yang hadir dari dua hati yang sama-sama tersesat untuk
melabuhkan rindu mereka di mana. Walau sejatinya rindu mereka sama, namun rindu
itu masih harus merangkak untuk menemukan pelabuhan hati mereka masing-masing.
9 komentar:
ayo dong sama-sama terbuka supaya bisa bersatu :)
Duuuuuh...pdhl sama2 cinta ya :(
waahh gantung nih ceritanya, akhirnya nanti menikah juga kan jenk?? :D
Iyaaaah, sayang seribu sayang klo pendam memendam begituuuh,
Salam
astin
Iyaaaah, sayang seribu sayang klo pendam memendam begituuuh,
Salam
astin
Kalo begitu, cintanya masih bisa disatukan dong :)
hihiih jadi ke ingetm masa lalu. baca nya...
menuju pelabuhan rindu
semoga berakhir bahagia :)
duuh cinta tak saling berbalas yaaa...
Posting Komentar