11 September 2013

[BeraniCerita #26] Gudang Nestapa

Sri segera membetulkan kancing bajunya saat ia mendengar decitan roda mobil yang dikendarai suaminya datang. Ia pun tak lupa membereskan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. Dan beberapa saat kemudian suaminya pun datang. Sri tampak terkejut karenanya.

"Kamu abis ngapain? Kayanya capek banget" Tanya Abdul, suaminya, saat ia dapati nafas Sri agak tersengal-sengal. Sri hanya menggeleng. Ia segera menanggapi jaket yang dibuka Abdul dan menggantungnya. Ia pun segera menyiapkan makan untuknya di sebuah kamar yang tak lebih dari sebuah gudang.


"Alhamdulillah ya, Sri, makin lama kehidupan kita semakin membaik." Ucap Abdul di sela kunyahan makan siangnya. Sri hanya tersenyum, masih terdiam sambil terus mendengarkan Abdul bicara.

"Meski saat ini kita tinggal di gudang, tapi kita tetap harus bersyukur. Paling tidak Tuan Rasyid dan Nyonya Mona sudah berbaik hati memberikan kita kerjaan sekaligus tempat berlindung."

Sekali lagi Sri hanya tersenyum. Kali ini dengan mengangguk. Abdul pun tak mempermasalahkan sikap isterinya yang tak pernah banyak bicara. Baginya, melihat senyum Sri saja sudah seperti angin surga untuknya. Apalagi bisa mempersunting kembang desa sepertinya sejak dua tahun silam, sudah seperti benar-benar di surga. Sementara Sri, ia masih teringat perkataan abahnya tadi malam soal penyakit ambu yang semakin parah. Ambu harus segera dioperasi sementara ia tak pernah berani mengatakan hal ini pada suaminya.

Abdul hendak menambah satu centong nasi lagi sesaat sebelum Tuan Rasyid membuka pintu kamarnya dan berkata, "Abdul, tolong setelah makan nanti, kamu bawa beberapa sayuran ke kota, ya. Sayurannya sudah disiapkan Mang Samsul di tempat biasa."

"Oh iya, baik Tuan." Sahut Abdul tampak tergesa-gesa. Selepas itu Tuan Rasyid segera berlalu dan meninggalkan Abdul yang tidak jadi menambahkan secentong nasi ke piringnya. Ia segera meraih jaketnya dan segera bergegas melaksanakan perintah Tuannya.

"Kamu baik-baik di rumah, ya?" Ucapnya pada Sri.

"Iya." Kali ini Sri menjawab sambil tak lupa tersenyum. Ia membantu Abdul memakai jaketnya.

"Entah kenapa, akhir-akhir ini Tuan Rasyid sering sekali menyuruhku untuk pergi ke kota..."

"Ya...mungkin memang sedang banyak sayuran yang harus dijual, Kang. Jalani saja." Sahut Sri sambil membetulkan letak leher kemeja Abdul. 

"Iya sih," Sahut Abdul lagi.

"Tapi, kan, aku jadi jarang ketemu kamu." Bisik Abdul kemudian sedikit manja di telinga Sri. Mereka tertawa pelan. Dan tak lama setelahnya Abdul pergi.

Beberapa saat kemudian, setelah suara deru mobil yang dikendarai Abdul menghilang, Sri segera membuka pintu kamarnya yang sebelumnya diketuk beberapa kali. Ia segera mempersilahkan lelaki bertubuh tinggi tegap itu masuk ke kamarnya, setelah ia bertanya sambil celingak celinguk, "Apa Nyonya ada di rumah, Tuan?"

"Nggak ada. Sepuluh menit yang lalu pergi arisan dengan teman-temannya." Jawab Tuan Rasyid sambil mendorong tubuh Sri ke dalam dan segera mengunci pintu kamarnya.

Kalau saja ia tak membutuhkan uang untuk operasi ambu, dan kalau saja suaminya itu bisa melunasi hutang-hutang pengobatan ambu di rumah sakit, mungkin dia tidak akan mau melakukan dosa besar ini. Hatinya benar-benar basah saat ia harus menyadari ada lelaki lain di kamarnya, selain Abdul, suaminya.



Note : 475 kata

3 komentar:

Orin mengatakan...

Aih...bagus nih Sarah, dua cerita yg serupa tapi tak sama dg yg di note FB ya *jempol* ;)

Anonim mengatakan...

Bagus :")

Ria Rochma mengatakan...

meskipun endingnya bisa ditebak, tapi aku suka cara menyampaikannya :)