25 September 2009

Berani Hidup Harus Berani Dewasa

“Menjadi anak-anak adalah sebuah fase kehidupan, menjadi tua adalah sebuah kepastian. Tapi menjadi dewasa adalah sebuah pilihan dan keberanian”

Berani dewasa bukan urusan usia – meski usia punya kontribusinya – tapi ini soal sikap. Soal keberanian memilih mana sesuatu yang terbaik dari pilihan hidup yang kita jalani. Berani dewasa adalah pilihan hidup yang tidak sederhana. Ini bukan semata karena bertambahnya usia. Tapi berani dewasa adalah keputusan sikap, sudut pandang, pola pikir, dan tindakan yang benar-benar didasarkan pada kesadaran penuh. Berani dewasa adalah berani memutuskan bahwa tujuan hidupnya adalah di akhirat sana.


Ada seorang sahabat yang pernah berkata kepada saya: “Menjadi anak-anak adalah sebuah fase kehidupan, itu benar. Tapi kalau menjadi tua adalah sebuah kepastian, itu salah. Bagaimana dengan mereka yang belum mengalami masa tuanya, tapi sudah keburu meninggal? Bukankah tua itu artinya belum pasti?” Saya hanya tersenyum kala itu dan membalas kata-katanya dengan jawaban yang saya lupa isinya, tapi intinya begini: Yang disebut tua bukanlah dari lamanya seseorang hidup atau bayaknya angka yang mewakili usianya. Tapi menurut saya, yang disebut tua adalah bertambahnya usia seseorang dari hari ke hari. Sebab tidak ada batasan usia antara yang tua dan yang muda. Seseorang dengan usianya yang 30 tahun akan merasa muda bila dibandingkan dengan mereka yang usianya 50 tahun. Tapi seseorang yang usianya 20 tahun, akan mengatakan bahwa mereka yang berusia 30 tahun sudah terbilang tua. Jadi, yang menjadi masalahnya disini adalah factor bertambahnya usia, bukan banyaknya usia.

Para orang tua yang seharusnya sudah bisa menjadi dewasa, malah justru terlambat menjadi dewasa. Banyak laki-laki pengecut yang maunya enak sendiri memainkan perasaan perempuan tanpa berani bersikap dewasa untuk mengambil keputusan tanggung jawab pernikahan. Para mahasiswa dan mahasiswi yang seenaknya menghambur-hamburkan uang tanpa pernah berani dewasa menanggung lelah dan letih bergelut dengan berbagai ilmu, dan maunya hanya yang instan saja mencontek sana sini. Atau pelaku-pelaku kemungkaran yang tak pernah berani bersikap dewasa untuk jujur terhadap hati nuraninya yang dalam, bahwa kemungkaran akan tetap menjadi sebuah tindakan tercela walau ditutupi dengan kebaikan-kebaikan yang semu. Juga pemimpin-pemimpin yang tidak pernah bersikap dewasa menerima takdirnya sebagai pelayan rakyat. Banyak anak-anak yang menghabiskan masa mudanya hanya untuk bersenang-senang tanpa mau bersikap dewasa mengubah paradigma mereka menjadi pemuda/pemudi yang lebih aktif dan produktif. Atau pedagang-pedagang culas yang hanya memikirkan keuntungan pribadi mereka semata tanpa pernah berani dewasa bahwa menerima hukum usaha yang adil adalah lebih baik untuknya. Dan juga orang-orang yang tidak berani dewasa, bila miskin ia mengeluh, angkuh, dan kufur, bila kaya ia tak bersyukur, bila bodoh ia menipu, dan bila pintar ia membodohi orang. Dan begitu seterusnya.

Berani dewasa adalah keputusan jiwa yang tidak sederhana. Sebab seringkali ia berada pada posisi yang sangat kontras dengan fitrah lahiriyah seseorang. Pernah suatu ketika, masih dengan sahabat yang sama, ia menuturkan bahwa pernyataan “Menjadi dewasa adalah sebuah pilihan dan keberanian” adalah kurang tepat. Alasannya, dia memberikan contoh. Jika boleh memilih, maka anak-anak yang hidup di jalanan yang harus berkelahi dengan waktu bekerja sana sini demi mempertahankan hidup, akan lebih memilih untuk menjadi anak-anak yang waktunya tidak terbuang di jalanan, tetapi dirumah, bermain dengan anak-anak lain pada umumnya dan bersekolah dengan tenang.

Lagi-lagi saya hanya tersenyum dan menjawabnya dengan tenang. Sebuah kedewasaan itu terlahir dari ketulusan dan keikhlasan hati. Anak-anak yang dimaksudkan diatas tadi hanyalah korban dari keadaan. Mereka belum bisa dikatakan dewasa jika mereka masih memilih untuk hidup layaknya anak-anak pada umumnya. Dan hal itu juga tak bisa disalahkan sebab fitrah seorang anak adalah menerima kasih sayang dari orang tuanya dan tidak menjadi korban eksploitasi keadaan. Namun kembali lagi ke pembahasan awal, bahwa yang dikatakan dewasa adalah ia yang mau menerima kenyataan hidup dengan lapang, tulus, dan ikhlas. Jika anak-anak yang hidup di jalanan itu dapat dengan rela dan ikhlas menjalani kehidupan mereka sebagai tukang semir sepatu atau pedagang asongan demi membantu kehidupan keluarga mereka misalnya, maka tak perlu dipertanyakan lagi akan kedewasaan mereka.

Berani hidup harus berani dewasa. Berani dewasa harus berani mengambil sikap dan keputusan untuk kehidupan yang lebih baik. Berani dewasa juga perlu perngorbanan yang tidak mudah. Berani dewasa harus berani mengalah untuk menang. Berani dewasa harus berani mengambil resiko. Berani dewasa harus berani menerima tantangan. Berani dewasa harus berani mencari ilmu yang bermanfaat. Berani dewasa harus berani memberikan contoh yang baik. Berani dewasa harus berani berbuat, dan tidak hanya bicara. Berani dewasa harus berani memberikan kebaikan dimanapun ia berada. Berani dewasa harus berani menatap kehidupan di masa mendatang.

Berani hidup harus berani dewasa. Hidup ini memang tidak mudah. Namun lebih tidak mudah lagi jika hidup tanpa berani menjadi dewasa. Bahwa fase demi fase adalah kepastian. Setiap usia punya jenjangnya, ada situasinya, sulit dan mudahnya. Tapi keberanian menjadi dewasa adalah sebuah keniscayaan yang dengannya kita lalui segala fase itu, kita kejar cita-cita akhir kita, di puncak keridhoan Allah swt. Wallahu ‘alam.

By Nurlaila Zahra (Sarah)
250909

2 komentar:

Sarah mengatakan...

Salah satu artikel paling favorit nih........

nanangrusmana mengatakan...

ehmm....tulisan yang menarik.