6 Oktober 2009

Adakah Iman Kami yang Kumuh, Punya Andil Atas Bencanamu?

Saudaraku…
Di selang hari-hari ini, kami telah menyaksikan engkau, di hampir seluruh pelosok negeri ini, dilanda bencana demi bencana yang merampas jiwamu, hartamu, kesenangan dan rasa amanmu. Hampir semua penjuru negeri ini dinyatakan tidak benar-benar aman dari amukan alam. Yang membedakan adalah, bahwa kami disini selamat dan masih sehat wal afiat. Sedang sebagian besar engkau disana tewas, tertimbun runtuhan puing-puing bangunan, terluka parah, kehilangan harta, bahkan orang-orang tercinta.



Seharusnya dengan kesadaran, kami bertanya pada hati kecil kami. Tidak hanya soal keyakinan ketuhanan dan moralitas kami, melainkan juga tentang kadar dan kualitas ibadah kami.

Saat kami mulai termangu. Saat kami perlahan demi perlahan bercermin pada diri, kami melihat semua apa yang telah kami perbuat selama ini. Kami menyadari bahwa kami dan engkau, sesungguhnya bisa saling kokoh dan menguatkan, minimal dalam lingkaran persaudaraan atas nama Islam. Tapi sejujurnya, kami mungkin tak pernah menyebutkan engkau dalam munajat-munajat kami selama ini.

Lebih jauh tentang ibadah itu, kami dan engkau tetap harus mengerti kadar yang patut dan layak dari sebuah akhlaq dan moralitas dari perspektif kolektif. Kita satu entitas, satu negeri, dan satu bangsa. Maka, ketika bencana demi bencana menerjang dan meluluhlantakan negeri, kami memang harus bertanya dan berkaca diri tentang kualitas ibadah dan spiritualitas kami.

Mungkin diantara kami banyak yang mendustakan ayat-ayat Allah, baik yang tersurat maupun yang tersirat, kemudian engkau yang menanggungnya. Tak berlebihan rasanya jika kami merasa “berhutang” maaf pada engkau yang dilanda musibah dan bencana.

Maafkan kami atas kesadaran dan ibadah kami yang kumuh. Meski kami tahu bahwa iman dan taqwa kepada Allah adalah syarat datangnya keberkahan dan penawar datangnya musibah. Dan kami juga tahu bahwa iman dan taqwa itu hanya bisa diraih dengan ibadah dan penghambaan yang baik dan benar terhadap Allah swt. Namun ketika bencana datang susul menyusul, banyak kami yang tersadar dan terbangun. Ada yang salah pasti, dari diri dan ibadah kami, atau sebagian dari kami, dan mungkin kesalahan itu karena ibadah kami. Karena daya spiritual kami yang kumuh dan lemah.

Maafkan kami karena baru saat ini kami tersadar dan termenung. Berpikir dengan penuh kesungguhan akan kualitas dan kuantitas ibadah kami yang banyak kekurangan, banyak yang luput dari perhatian kami. Bisa mungkin ibadah kami selama ini, hanya karena kami ingin terbebas dari kewajiban. Hanya agar orang lain menilai kami sebagai orang yang taat beribadah. Hanya supaya kami tidak dikatakan sebagai orang yang tidak beriman. Tapi seringkali ibadah sebagian kami kering, kosong, dan hampa. Tidak berhasil meneteskan air untuk menyejukkan jiwa. Tidak dapat menumbuhkan dahan keimanan kami, dan tidak bisa membentuk karakter-karakter taqwa pada diri sebagian kami.

Mungkin kami beribadah, namun tidak disertai rasa takut, miskin rasa cinta, dan jauh dari pengharapan mendapat ridho Allah swt. Semua unsur itu, mungkin sudah mati dan padam selama ini. Mungkin kami beribadah, namun cara kami menyimpang dari apa yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Kami beribadah semau kami, dan bukan karena sesuai kemauan “ sang pemerintah” ibadah kami.

Mungkin juga kami memang sudah malas dan enggan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban kami. Di bulan puasa, tanpa rasa malu ada sebagian kami yang tidak menjalankan ibadah puasa. Kami yang berkecukupan juga tak lagi memperhatikan kebersihan jiwa dan harta. Hilang rasa kepedulian terhadap sesama, dan merasa bahwa harta yang dimiliki adalah hasil jerih payah sendiri dan tak ada hak orang lain di dalamnya.

Kami “berhutang” maaf padamu yang saat ini tengah ditimpa bencana. Karena bisa mungkin dan tidak mustahil bahwa ibadah kami yang asal-asalan berkontribusi besar atas musibah yang menimpamu. Bila kami disini selamat, itu bukan karena kami lebih baik dari engkau. Sekali lagi Allah mengingatkan bahwa segala bencana dan musibah yang datang, tidaklah karena sebab hukum alam semata, tetap akibat kekufuran, maksiat, dan dosa-dosa yang dilakukan anak cucu Adam. Dan sejarah telah membuktikan itu semua.

Maafkan kami saudara-saudara kami yang dilanda musibah. Peringatan-peringatan Allah yang dirasakan ini semoga menjadi penghapus serta pembersih jiwa dan dosa kalian. Tapi bagi kami, itu adalah cambuk kesadaran. Sebab Allah masih memberikan kesempatan kami untuk kembali sadar dan terbangun. Dan mempergunakan kesempatan itu untuk memperbaiki ibadah kami.

Semua yang terjadi ini adalah pelajaran bagi orang yang berakal, cambuk bagi mereka yang lalai, peringatan bagi orang yang kerap meremehkan keikhlasan taubat, dan teguran bagi orang yang berlambat-lambat dan merasa berat melakukan kebaikan.

Kami “berhutang” maaf padamu, wahai saudara-saudara kami yang ditimpa bencana. Sekaligus berhutang perbaikan-perbaikan diri yang sejatinya sudah harus kami mulai. Sebelum “segumpal daging” dalam diri ini mengeras melebihi gunung-gunung. Sebelum harus dilembutkan dengan cara yang sungguh sangat kami takuti. Pelembut yang sangat dahsyat, yaitu api neraka.

Maafkan saudaraku, mungkin iman kami yang kumuh, punya andil atas bencanamu…

Berikan sunduq (infaq) terbaikmu untuk mereka, saudara-saudara kita.

By Nurlaila Zahra

Tidak ada komentar: