Dari sekian lama perjalanan usia kita, mungkin kita pernah mengalami suatu hal yang “aneh” yang kita anggap sebagai sebuah pembelajaran untuk masyarakat kita pada umumnya. Ya, mungkin kita pernah pergi ke sebuah masjid dengan maksud ingin menunaikan shalat maghrib berjamaah dengan penampilan yang sangat rapi. Bagi yang laki-laki, mengenakan kain sarung, baju koko, dan peci. Bagi yang perempuan mungkin mengenakan pakaian muslimah beserta kerudung dan mukena yang ia bawa. Lantas di tengah jalan, kita bertemu dengan seseorang yang dengan enaknya berujar pada kita, “Aduh, tumben nih rapi banget. Kayak Pak Ustadz/Bu Ustadzah. Emang mau kemana sih?”
Mungkin awalnya kita biasa saja dalam menyikapi hal tersebut karena bisa jadi orang yang menegur kita itu tetangga kita, namun menjadi sesuatu yang lain rasanya ketika dikaitkan dengan ucapan Pak Ustadz/Bu Ustadzah. Kenapa orang yang hendak pergi ke masjid dengan berpakaian rapi dan memang sudah seharusnya seperti itu dikatakan ‘tumben’? Kenapa justru orang yang sedang jalan-jalan sore sambil mengasuh anaknya ditengah kumandang adzan menjadi biasa-biasa saja?
Ya, orang yang pergi ke masjid akan terasa “aneh” dan “asing” ketika orang-orang justru tengah asyik menonton tayangan sinetron atau menyaksikan pertandingan bola. Orang yang pergi ke masjid akan terasa “aneh” bin “asing” ketika melalui kerumunan orang banyak yang sedang mengobrol ngalor ngidul seolah ingin menyaingi suara adzan yang menggema. Dan orang yang pergi ke masjid akan terasa “aneh” binti “asing” ketika orang lain justru tengah sibuk dengan hal-hal keduniawian mereka.
Mungkin kita akan lebih sering menemukan keanehan-keanehan dan rasa keterasingan diri yang lain, disekitar kita. Coba saja ketika kita datang ke kantor. Sebelum memulai aktivitas kerja, kita sempatkan diri untuk melaksanakan shalat dhuha. Pasti akan terasa “aneh” tatkala karyawan-karyawan yang lain tengah sibuk menghabiskan sarapan, kopi, atau hanya sekedar membaca koran pagi sambil ngobrol.
Ketika adzan zuhur atau ashar berkumandang, cobalah kita menunaikan kewajiban itu tepat waktu atau di awal waktu. Pasti akan terasa “aneh” sebab masjid atau mushalla masih kosong karena teman-teman kita biasa shalat di akhir waktu.
Ba’da menunaikan shalat, cobalah kita berdzikir atau membaca selembar dua lembar ayat Al Qur’an, pasti akan terasa sangat “aneh” ditengah dengkuran orang-orang yang tertidur pulas di masjid atau mushalla. Dan akan makin terasa “aneh” dan “terasing” kala kita ingin menunaikan waktu shalat kita di masjid, malah justru lampu masjid nya sudah di matikan agar orang-orang yang tertidur disana tidak terganggu dengan silaunya lampu masjid.
Kita yang ingin shalat di masjid jadi serasa “numpang” di tempat orang yang tidur. Bukan sebaliknya, orang yang tidur itu justru numpang di tempat orang shalat. Aneh bukan? Cobalah pekan ini anda shalat Jum’at lebih awal. Pasti akan terasa “aneh” karena masjid masih kosong dan baru akan terisi penuh jika khutbah kedua akan selesai. (Realita di luar Ramadhan, entah kalau di bulan Ramadhan).
Masih banyak keanehan dan keterasingan kita lainnya, tapi sekali lagi jangan takut menjadi orang “aneh” selama keanehan kita itu sesuai dengan tuntunan agama dan norma syariat yang benar. Jangan takut merasa “aneh” jika kita shalat tepat waktu sementara yang lain shalat di akhir waktu sebab shalat adalah kewajiban yang memang telah ditentukan waktunya terhadap orang-orang yang beriman.. Jangan merasa asing menjadi orang “aneh” jika kita melakukan shalat dhuha dikantor sementara yang lain tengah asyik menyantap sarapan paginya sebab itulah yang terbaik. Jangan merasa “terasing” jika anda berada di shaf terdepan ketika shalat Jum’at karena perintahnya pun bersegeralah.
Jangan takut dianggap sok tahu dan sok alim ketika kita sering mengirimkan artikel-artikel islami yang sarat makna sebab memang itu yang diperintahkan oleh Allah dalam surat Al Ashr [103:3] “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (AL 'ASHR (MASA) ayat 3). Toh banyak orang yang saling berkirim artikel-artikel yang hanya berisi humor atau sekedar candaan belaka, mereka biasa-biasa saja, kenapa kita harus merasa “aneh” dan tak enak hati untuk mengirim artikel-artikel islami? Mutiara akan tetap menjadi mutiara terlepas dari siapapun pengirimnya. Dan sampah pun tidak akan pernah menjadi emas walaupun berasal dari istana sekalipun.
Tetap lakukan “keanehan dan keterasingan” kita yang dituntunkan oleh syariat dan manhaj Islam. Kenakan jilbab dengan penuh keistiqomahan, meskipun itu akan terasa sangat aneh ditengah orang-orang yang berpakaian seksi dan mengumbar aurat.
Jangan takut dan cemas mengatakan perkataan yang baik dan benar yang berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits meskipun akan terasa sangat aneh ditengah hingar bingarnya bacaan vulgar dan tak bermoral.
Kesimpulannya, jangan pernah takut menjadi “orang aneh” atau “manusia langka” atau “manusia asing” jika memang keanehan di mata mereka yang kita lakukan bisa menyelamatkan kita di hari akhir.
Selamat menjadi orang aneh yang sesuai dengan syariat dan manhaj Islam…. :-)
090909
By Nurlaila Zahra - Sarah
Selama hampir enam tahun belajar menjadi "orang aneh"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar