19 Oktober 2009

Bunda, Aku ingin Menikah.....

Seketika mata tua itu berbinar senang seraya menatap anak laki-lakinya. Terlintas di pikirannya, gubuk kecil ini akan penuh dengan limpahan kebahagiaan. Ditemankan seorang gadis cantik yang kelak menjadi menantunya, hingga terbayang pula celoteh, canda dan tawa cucu-cucu yang memenuhi setiap sudut rumah.


Ditatapnya kembali pemuda tanggung yang berdiri dengan gagah di depannya. Ia telah tumbuh besar, bukan lagi bocah kecil yang dulu sering dijewer telinganya saat nakal. Tak pula sepotong kue yang disodorkan akan membuatnya menghentikan tangisan.

Bocah ingusan itu telah dewasa, bahkan terlihat lebih dewasa dari usianya. Sorot matanya tajam laksana elang, rahang kukuh dan ditumbuhi cambang, serta tubuh yang tegap bagaikan prajurit yang tak sabar menanti genderang perang ditabuhkan.

Seakan tak percaya pada sekian waktu yang telah berlalu, tangan yang telah keriput dimakan usia itu bergerak perlahan menyentuh wajah di hadapannya. Lalu dielusnya dengan lembut, penuh dengan selaksa cinta. Paras wajahnya mewarisi ketampanan asy Syahid, suaminya tercinta.

Ia memang telah dewasa dan saatnya telah tiba untuk menikah, hati kecilnya bergumam bahagia.



Sepekan pun berlalu dalam guliran usia dan waktu. Seiring itu pula, alunan bacaan al Qur‘an semakin terdengar merdu dan syahdu. Hampir setiap saat, lelaki itu selalu bersama mush-haf al Qur‘an kecil yang tak pernah jauh dari sisinya. Menjelang saat pernikahan, ia memang semakin dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Ibadah wajib bahkan sunnat pun tampak semakin khusyuk dilakukan.

Saat ini, pemuda itu kembali berdiri di hadapan ibunda tercinta. Ia semakin tampan, wajahnya tampak bercahaya, gagah walaupun tanpa mengenakan pakaian pesta seperti layaknya mempelai yang akan menikah. Ia tersenyum, sedikit menganggukkan kepala lalu memeluk dengan penuh kasih sayang wanita yang melahirkannya. Pelukannya lambat laun semakin erat, bagaikan sebuah salam perpisahan.

Ibunda pun menangis, isakannya terdengar saling memburu dan membasahi kafeyah. Mata hatinya sebagai seorang ibu, telah menerka makna pernikahan sesungguhnya yang diinginkan buah hati tercinta. Sekelebat kebahagiaan yang terlintas beberapa hari lalu di pikirannya, semata-mata hanyalah pelipur lara bagi fitrahnya sebagai seorang ibunda.

Pemuda yang lahir dari rahimnya, dibuai dan telah dibesarkan ini bukanlah miliknya, tapi milik zamannya. Kini anak panah itu telah siap meluncur dari busur, pedang siap terayun menebas musuh, butir peluru pun siap ditembakkan dan melaju.

Untaian do‘a, baluran cinta dan alunan senandung jihad yang senantiasa menemani lelap tidur anaknya telah menjelma dalam setiap helaan nafas dan butiran darah. Hidup bagi seorang laki-laki sejati di bumi al Aqsa hanyalah perjuangan yang tak pernah padam, mengusir zionis jahanam, laknatuLlah.

Dilepaskannya kepergian buah hati tercinta dengan ikhlas, penuh keredhaan dan iringan do‘a. Tak ada lagi tangis, apalagi sedu sedan dari sudut mata tuanya. Hanya tatapan kasih sayang dan senyum kebanggaan.

Sang pemuda melangkah dengan penuh keyakinan menuju gerbang pernikahan yang dihiasi mahligai cinta. Mahar yang akan diberikan pun telah siap di balik baju, melilit sekujur tubuh.

Semoga bermanfaat....
Selamat Buat yang akan menikah....
Barakallahu...

Dikutip : blog Ayo Menikah...

5 komentar:

Sarah mengatakan...

Kalo dibaca dengan seksama, makna dari "menikah" disini bukanlah menikah seperti yang kita ketahui pada umumnya, melainkan "menikah" dengan bidadari yang telah Allah persiapkan di surga sana sebagai balasan atas keberanian dan azzam si pemuda itu untuk mati syahid. "

Anonim mengatakan...

he..he..h.e. ketularan sama temennya kayaknya..

Sarah mengatakan...

Anonima nih siapa ya..??? Kok ndak ada nama aslinya......

nanangrusmana mengatakan...

Bagus. mudah2an bukan cerita tentang seorang 'teroris' di Indonesia, tetapi cerita seorang ' Mujahid' di medan perang yang siap meluluhlantakan musuh2 islam.

Sarah mengatakan...

setuju Pak Nanang...