26 Januari 2011

Karena Aku tak Setegar Batu Karang

Ramadhan tahun lalu (2010), mungkin adalah ramadhan yang penuh ujian bagiku dan keluarga. Bagaimana tidak, tepat di hari ke sebelas ramadhan, adikku terserang penyakit infeksi saluran pencernaan dan musti dirawat di RSUD Budhi Asih selama 12 hari. Di hari pertama adikku sakit, awal mulanya ia diajak oleh teman-temannya untuk menginap dirumah salah satu temannya. Kebetulan pada saat ia pergi waktu itu, hujan turun rintik-rintik. Jadilah ia kehujanan saat tiba di rumah temannya. Sesampainya dirumah temannya, ia langsung disuguhkan semangkok bakso oleh orang tua temannya. Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya bersama teman-temannya yang lain. Kemudian setelah makan tiba-tiba saja ia merasakan sakit yang teramat sangat di bagian perutnya. Namun karena ia sangat pendiam, jadilah ia hanya dapat menahan rasa sakitnya itu semalaman dan tidak dapat tidur malam itu.

Sampai di pagi harinya, sekitar jam 10.00 WIB, saat aku tengah menonton tv, tiba-tiba ia pulang dan langsung masuk ke kamar. Ada kecurigaan yang tiba-tiba menyusup dalam diriku. Segera kulihat keadaannya. Dan aku menangkap ada yang aneh pada dirinya. Aku khawatir ia berbuat atau menggunakan yang macam-macam sehingga ia terlihat tidak seperti biasanya.

Setelah melihat keadaannya yang seperti itu, aku langsung memanggil nenekku untuk memberi tahu keadaannya tersebut. Setelah dipegang tubuhnya, ternyata panas. Dan setelah ditanya ternyata ia sakit. Aku langsung menghubungi ibuku yang tengah berdagang di pasar. Sementara itu aku langsung bergegas pergi ke apotik untuk membeli obat maag, obat demam, dan obat penurun panas. Sesampainya dirumah, ibuku pun juga sudah pulang. Ia langsung meminumkan obat yang telah kubeli pada adikku. Kami sudah cukup tenang karena ia sudah meminum obat.

Hari berganti, namun sakit adikku tak kunjung sembuh. Malah justru cenderung lebih parah. Perutnya semakin sakit dan membesar sehingga ia tak bisa berjalan. Keesokannya ia dibawa ke RSUD Budhi Asih sekitar sore hari. Dokter menyarankan adikku untuk segera dirawat disana namun ia kukuh tidak mau. Akhirnya keesokan harinya lagi, ia bersama ibu dan nenekku balik lagi ke Budhi Asih. Dan keputusan akhirnya, ia pun harus tetap dirawat.

Setelah mendapat kabar dari ibuku, aku langsung minta izin dari kantor untuk pergi kerumah sakit. Aku pulang dulu untuk membawa segala keperluan adikku dirumah sakit sekaligus membawa makanan untuk kami berbuka puasa disana. Akhirnya aku pun menginap dirumah sakit bersama ibuku.

Keesokan harinya aku pulang karena harus bekerja. Namun sebelum berangkat kerja, aku harus balik lagi kerumah sakit untuk mengantar beberapa potong pakaian ibuku dan sedikit mengurus surat-surat yang diperlukan dirumah sakit, baru setelah itu aku kembali berangkat kerja. Namun di tempat kerja aku sungguh tak tenang, hingga akhirnya ibuku meneleponku dan aku putuskan untuk kembali izin dari kantor untuk kembali mengurus surat-surat yang dibutuhkan rumah sakit. Setelah itu aku kembali lagi kerumah. Sendiri dalam kegamangan didalam angkot aku menangis bila mengingat rintihan adikku. Aku terus menangis sampai tiba di Pasar Minggu.

Keesokannya aku izin dari kantor selam dua hari untuk menemani ibuku menjaga adikku di rumah sakit. Keadaan adikku semakin parah. Perutnya semakin membesar. Dan ia selalu merintih kesakitan di bagian perutnya. Sungguh aku tak tega melihatnya seperti itu. Sebab yang kukenal selama ini, ia adalah anak yang pendiam dan tak pernah macam-macam. Sehingga melihat ia merintih dan mengerang kesakitan seperti itu, sangat membuat hatiku teriris. Rasanya dadaku sesak dan air mata selalu ingin keluar namun selalu kutahan bila berada di hadapnya agar ia juga tak ikut sedih. Dalam hati aku berucap, andai saja aku bisa menggadaikan kesehatanku demi kesembuhannya.

Saat rasa sakit itu ia rasakan, ia hanya ingin dipeluk oleh ibuku. Melihat pemandangan itu, sungguh sangat membuat hatiku terenyuh. Ia adikku yang amat kusayangi, dan juga ibuku yang amat kucintai dan kukagumi, kini tengah mengalami cobaan yang cukup berat kurasa.

Hari hari berlalu dalam bilangan doa pada Yang Kuasa agar penyakit adikku segera diangkat olehNya, dikurangi rasa sakitnya, dan bisa segera lekas sembuh dan pulih seperti sedia kala. Bila berada di rumah sakit, aku selalu membacakan Al Qur’an di hadapannya sambil mengusap-usap perutnya. Dalam setiap sujud aku selalu berdoa dengan tulus untuk kesembuhannya. Dalam setiap doa pun aku selalu meneteskan air mata kesedihan kala ingat penderitaan yang ia alami karena penyakitnya. Seringkali ia muntah dan dari muntahannya itu keluar cairan berwarna hijau kental.

Dr. bedah yang menangani penyakit adikku mengatakan agar adikku harus diselang. Maksudnya, untuk mengeluarkan cairan dalam perutnya yang semakin membesar itu, adikku harus mau dimasukkan selang melalui hidung untuk mengeluarkan cairan kotor yang ada di dalam lambungnya. Awalnya adikku tidak mau, namun karena ia sudah tak tahan dengan rasa sakit yang ia alami, akhirnya dengan bujukan ibuku dan suster, ia pun mau untuk diselang. Dan pagi harinya ia sempat di USG untuk melihat penyakit dalam perutnya.

Tepat di hari Minggu tanggal 29 Agustus 2010, suster di rumah sakit menyarankan untuk segera mengambil tindakan untuk diselang. Pada saat itu aku dan nenekku tengah berada di rumah sakit. Karena aku tak tega melihat ia diselang, akhirnya aku mengatakan pada suster agar proses penyelangan itu dilakukan setelah aku dan nenekku pulang.

Dirumah pun aku juga tak tenang. Selalu teringat adikku yang saat ini pasti tengah kesakitan menjalani proses penyelangan. Tak lupa aku selalu berdoa untuk kesembuhannya. Keesokan harinya ibuku sempat mengirimkan gambar adikku lewat MMS dengan keadaannya yang sudah diselang. Sungguh aku tak tega melihatnya. Aku jadi teringat, ia yang biasa ceria kini hanya dapat terbaring lemah tak berdaya. Oh Rabb, aku kembali menangis. Tapi aku yakin, hal itu dilakukan demi kesembuhannya.

Hari Senin hasil USG nya sudah keluar. Dokter mengatakan bahwa ada benjolan dalam perutnya yang dikira tumor. Ibuku mengabarkan hal itu padaku lewat SMS. Jujur, seperti ada benda besar yang menghantam dadaku saat kutahu kabar itu. Tapi ibuku bilang itu belum pasti. Aku kembali berdoa semoga perkiraan itu salah. Dokter segera menyarankan untuk melakukan scanning di Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara (RUSPAU) di daerah Halim. Pada hari Rabu tanggal 1 September 2010 adikku segera di scanning disana setelah semua surat-suratnya selesai diurus.

Perut adikku sudah mulai kempis. Cairan yang keluar melalui selang itu ditampung didalam botol dan warnanya hijau pekat. Selama empat hari empat malam selang itu ada dalam perut adikku. Keadaannya sudah tak nyaman dengan adanya selang dalam hidung dan perutnya. Tapi Alhamdulillah perutnya sudah tak sakit lagi.

Hampir setiap hari jika tak ada jadwal mengajar aku datang kerumah sakit untuk sekedar menemani ibu dan adikku disana. Alhamdulillah selama 12 hari disana, selalu saja ada bantuan doa dan financial dari orang-orang terdekat kami. Baik dari keluarga, sanak saudara, rekan kantor, tetangga, sampai teman-temanku ikut memberi bantuan padaku dan keluarga untuk kesembuhan adikku.

Namun terkadang terlintas dibenakku, rasanya semua ini amat berat kurasa tanpa adanya seorang ayah di sisi kami. Namun aku yakin, Allah menghadirkan om, tante, nenek, kerabat, serta rekan-rekan yang turut membantu, sudah lebih dari cukup untuk menggantikan peran ayah dalam hal ini.

Selama adikku dirawat, selama itu pula ibuku menemaninya dirumah sakit tanpa pernah pulang kerumah. Sebab adikku hanya ingin ditemani oleh ibu. Ibuku sungguh sangat sabar menghadapi adikku kala itu. Ia hampir tak pernah tidur dalam hari-hari itu. Ia selalu berjaga kala adikku membutuhkan bantuannya. Aku semakin yakin, tanpa adanya sosok ayah dalam kehidupan kami, secara tidak langsung ibu sudah berperan juga sebagai ayah bagi kami. Ia kulihat begitu sabar dan tegar dalam menghadapi cobaan ini. Tak pernah ada keluhan yang terucap dari mulutnya. Hanya ucapan sayang yang selalu ia lontarkan padaku dan adikku. Aku begitu menyayanginya. Alhamdulillah Allah senantiasa memberikannya kesehatan selama menjaga adik dirumah sakit, walau terkadang ia juga masuk angin karena terus-terusan ada dalam ruangan ber AC.

Selama 12 hari adik dan ibuku ada di rumah sakit, di rumah begitu sepi. Buka puasa dan sahur pun serasa tak ada gairah. Dan keseringannya aku buka puasa di rumah sakit. Aku ingin selalu ada untuk keluarga kecilku. Dan alhamdulillah, setelah berhari-hari berada di rumah sakit, keadaan adikku berangsur-angsur membaik. Hasil scanning menunjukkan kalau memang ada infeksi dalam ususnya tapi itu juga sudah hampir sembuh, selang dalam perutnya pun sudah dicabut. Alhamdulillah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku sangat lega mendengar berita dari ibuku akan hal itu.

Ramadhan tahun ini, benar-benar menjadi ujian bagiku dan keluarga. Aku sudah khawatir saja kalau-kalau adikku tak dapat tertolong. Tapi alhamdulillah, berkali-kali aku mengucap syukur pada Tuhan akan kesembuhan adikku.

Terima kasih kuucapkan pada semua pihak yang telah berkontribusi dalam kesembuhan adikku. Atas bantuan doa dan materinya yang tulus, semoga dibalas oleh Allah swt. Amiin.

23 Januari 2011

Pagi itu masih begitu senyap kurasakan kala kudengar dari kamar sebelah, adikku tengah muntah-muntah mengeluarkan sisa-sisa makanan yang ia makan semalam. Aku langsung bangun dan segera bergegas menghampirinya. Dipunggungnya terdapat garis-garis merah bekas dikerik oleh nenek. Muntah adikku itu berwarna merah. Aku khawatir yang dimuntahkannya itu adalah darah. Hatiku langsung berdegup kencang. Namun segera kutepis pemikiran itu, dan segera kuyakinkan kembali diriku kalau ia hanya masuk angin biasa.

Selang beberapa waktu, aku segera memberitahu ibuku yang tengah berdagang di pasar bahwa adikku sakit. Ibu pulang sebentar untuk melihat keadaan adik lalu kembali lagi ke pasar untuk melanjutkan jualannya.

24 Januari 2011

Awalnya keadaan adikku seperti demam biasa, namun keesokan harinya, perutnya kembali sakit. Aku dan keluarga benar-benar khawatir. Pagi sebelum berangkat ke kantor, aku sempatkan menghubungi ibuku di pasar. Aku bilang padanya bahwa kondisi adikku tak kunjung membaik dan aku menyarankan agar adikku itu dibawa ke Dr. Suhantoro. dokter praktek langganan adik di bilangan Kalibata. Namun ibuku juga sama panik dan cemasnya seperti aku, akhirnya aku coba menghubungi Dr. Suhantoro, bertanya apa sebaiknya adikku itu dibawa ke beliau atau dibawa langsung ke RS. Persahabatan untuk menemui Dr. Fachrial, dokter rujukan Dr. Suhantoro yang tempo hari sempat menangani penyakit adikku. Kami sempat membawanya beberapa hari setelah lebaran ke beliau, dan kali ini kami hendak membawanya kembali kesana. Kata Dr. Suhantoro baiknya dibawa langsung ke Dr. Fachrial di RS. Persahabatan. Setelah tahu kabar tersebut, awalnya ibu mengajakku untuk hari ini juga pergi berobat ke Dr. Fachrial, tapi kubilang bahwa aku tidak bisa seenaknya saja tidak masuk kantor karena aku juga memiliki kewajiban yang tidak bisa aku tinggalkan disana. Akhirnya aku berikan pilihan kalau untuk hari ini baiknya adikku dibawa saja ke Puskesmas, baru keesokan harinya aku izin dikantor untuk bawa adik ke RS. Persahabatan. Merekapun setuju.

25 Januari 2011

Sekitar pukul 06.30 kami berangkat dari rumah menuju RS. Persahabatan. Perjalanan macet sekali. Sampai disana sekitar pukul 08.30. Aku langsung mencari kursi roda karena adikku tidak kuat berjalan jauh. Kebetulan Dr. Fachrial berada di Gedung Griya Puspa yang posisinya cukup jauh dari tempat kami turun dari taxi. Adikku didorong di kursi roda oleh seorang petugas yang cukup baik hati mengantarkan kami sampai ke tempat tujuan. Aku langsung kebagian informasi untuk membuat kartu pasien lalu membayarnya di kasir. Setelah itu aku langsung menuju ke lantai 3 untuk menemui Dr. Fachrial. Tak lama kami menunggu, kami pun segera bertemu dengan Dr. Fachrial. Setelah cukup lama berobat dan berkonsultasi dengannya, kami langsung cek darah di laboratorium lantai 1. Cukup lama menunggu hasilnya, waktu itupun aku sempatkan untuk menebus obat di apotek. Tak lama setelah itu hasil labnya sudah keluar lalu segera kubawa lagi ke lantai 3 untuk diberitahukan pada Dr. Fachrial. Namun sayangnya lagi-lagi kami harus menunggu selama sekitar 2 jam karena Dr. Fachrialnya tengah makan siang, sementara adikku yang masih terus berada di kursi roda sudah merintih kesakitan dan meminta untuk segera pulang. Bibirnya sudah biru karena kedinginan dan menahan rasa sakit. Aku sungguh tak tega melihatnya. Aku hanya bisa berdoa agar Allah senantiasa mengurangi rasa sakitnya itu.

Setelah Dr. Fachrial datang kami segera bertemu dengannya, dan tak lama setelah itu kami pun pulang. Aku, ibu, dan adikku. Disepanjang perjalanan pulang, aku termenung dalam kegamanganku. Betapa seharusnya aku musti kuat, aku musti tegar, dan aku musti sehat agar aku bisa terus menjaga dan merawat keluargaku. Mereka membutuhkanku. Merekalah yang aku miliki saat ini. Lagi-lagi, meski tanpa figur seorang ayah dalam kehidupan kami, tapi aku harus tunjukkan dan buktikan ke semua, khususnya pada ayahku yang kini tengah hidup bersama keluarganya di kampung halaman, bahwa aku dan keluargakupun bisa tetap hidup dengan kuat dan tegar tanpa kehadirannya dalam kehidupan kami.

Terkadang aku menangis sendiri dalam diam dan sepi mengapa sampai saat ini aku tidak bisa merasakan nikmatnya diberikan kasih sayang dari seorang yang seharusnya kupanggil ayah sejak kecil. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya dikasih dan disayangi oleh sosok bernama ayah. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya meminta sesuatu yang aku inginkan padanya, aku juga tak pernah tahu bagaimana kondisi rumah yang didalamnya terdapat sosok seorang ayah. Aku tak pernah tahu akan hal itu. Sebab aku sudah terbiasa hidup tanpa ayah sejak usiaku 2 tahun. Aku tak membencinya, pun juga tak merindukannya. Bagiku ayah hanyalah sosok yang asing buatku.

Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku di dalam taxi. Sudah sampai Kalibata rupanya. Tak lama kami sampai di Pasar Minggu, memasuki asrama Polri dan kami turun disana. Sesampainya dirumah, dan waktu terasa begitu cepat berlalu bagiku, malampun kembali menghampiri. Adik tetap tak mau makan. Ia sebenarnya lapar namun ia takut untuk makan karena khawatir perutnya kembung lagi dan harus dirawat dan diselang lagi. Aku begitu miris melihat keadaannya.

Dikamar sebelah, sembari menunggu azan Isya berkumandang, aku tidur-tiduran sejenak ditempat tidurku. Perlahan air mataku mulai menetes meski tak banyak. Hatiku benar-benar gusar karena adikku masih terus saja merintih kesakitan. Meski aku berusaha tegar dan kuat di depan semua, namun sebenarnya hatiku tak sekuat yang mereka kira dan aku tak setegar batu karang. Adakalanya batinku benar-benar merasa rapuh dan sepi karena semua ini. Jika sudah seperti ini keadaannya, maka aku hanya bisa diam termenung dan berusaha menghilangkan sesak hati yang kurasakan.

Namun dari semua tempaan hidup yang kurasakan dan kualami, aku berusaha untuk tetap kuat dihadapan keluarga dan semua agar merekapun juga tetap kuat. Meski tanpa sosok seorang ayah dalam kehidupanku, tapi aku akan berusaha agar aku bisa tetap kuat, meski aku tak setegar batu karang...........


nurlailazahra

14 Januari 2011

Award dari Tetangga Blogger

Hai semua, mau ngasih tau nih kalo blum lama aku dapet award dari salah seorang teman blogger namanya Mbak Nadia


Katanya sih, kalo dah nerima award harus ngelakuin ini:

1. thank and link to the person who awarded me this award.

Temenan ama Mbak Nadia cuma dari dunia maya, saling komen diblog masing2, eh taunya dapet award segala. Yo wes, ikuti saja permainannya :) makasih Mbak Nadia

2. share 8 things about myself.

Kalo menurutku, aku itu:
1. humoris (iya gak sih?? :D)
2. rajin ngejailin orang (xixixixi….)
3. demen banget cari kenalan baru cewe yg baik hati (buat cari pengalaman)
4. keibuan (cieee……)
5. kata orang sih dewasa (mungkin karena bermutu (bermuka tua) kali yee..)
6. demen banget ngenet n ngeblog
7. rajin mencari hal-hal yg baru
8. demen bereksperimen dg resep2 masakan

3. pay it forward to 8 bloggers that i have recently discovered.

Kalo disuruh mau ngelanjutin kemana nih award,,, hmmm kesini kali ya:
1. Mbak Nurul, semua yg ditulisnya enak buat dibaca
2. Bapak Anjar, suaminya Mbak Nurul, yg inspiratif bgt
4. Mbak Ucil, salam kenal kembali mbak :))
3. bingung, soalnya blum banyak blogger yg aku kunjungi....

4. contact those blogger and tell them about their awards.

Yo wes, bentar tak kabari orgnya…..


Katanya juga, Buat yang namanya diatas jangan lupa Amanatnya ini :
1. thank and link to the person who awarded me this award.
2. share 8 things about myself.
3. pay it forward to 8 bloggers that i have recently discovered.
4. contact those blogger and tell them about their awards.

12 Januari 2011

Belajar Mencintai Hidup

Meski terkadang hidup sering tak memberiku alasan mengapa aku harus menjalani kehidupan seperti ini, tapi aku berusaha untuk mencintai apa yang aku jalani saat ini. Meski kelelahan sering menyapaku di setiap detik-detik langkah perjalanan usiaku, namun aku mencoba untuk terus bertahan dengan semangat yang tak kunjung padam. Meski kenyataan yang ada kadang tak seiring sejalan dengan keinginan yang diharapkan, namun aku terus berpikir positif bahwa ada Yang Lebih Tahu mana yang terbaik untukku. Meski banyak yang berpikiran macam-macam tentangku dan hidup yang kujalani saat ini, namun aku coba ’tuk memahami mereka dengan segala keterbatasan yang kupunya.


Meski cobaan dan ujian tak ubahnya seperti hujan dan badai yang terus menerjang, tetapi dengan penuh ketegaran akan kucoba atasi semuanya. Meski masalah demi masalah terus saja datang menghampiri, namun dengan penuh keyakinan akan kuselesaikan semuanya. Jika dengan kesendirian aku masih bisa mengatasinya, maka akan kuatasi. Namun jika tidak, aku hanya cukup diam mengadu pada-Nya untuk memikirkan jalan keluarnya. Walau terkadang air mata menemani di ujung mata, dan rasa sesak yang tak tertahan terkadang menggores sukma, namun hal itu sudah cukup membuatku lega. Paling tidak, itu artinya aku masih punya hati untuk bisa merasakan gelisah yang kualami. Tak lama, lalu kubasuh ia untuk kembali menguatkan diri. Meski terkadang waktu yang kurasakan teramat sangat kurang bila dibandingkan dengan aktivitas yang kujalani, namun aku berusaha untuk menjalaninya dengan penuh kesenangan. Meski terkadang banyak sekali pertanyaan yang tak juga dapat kutemui jawabannya, namun kucoba ’tuk bersabar sambil memikirkan bagaimana baiknya.

Kehidupan yang kujalani hingga saat ini telah mengajarkanku tentang arti sebuah kekuatan. Bahwa sesungguhnya tanpa kekuatan dari-Nya, aku tak akan mampu menjalaninya. Dengan kondisi keluarga yang kumiliki saat ini, sebenarnya telah menempaku secara tidak langsung untuk dapat setegar batu karang agar dapat sekiranya kujalani hari-hari dan kehidupanku kelak dengan lebih baik. Dengan kondisi jalinan pertemanan yang kujalani saat ini, pun juga sejatinya telah mengasah pola pikir dan sikapku untuk lebih dewasa dan lebih bijak. Lebih sederhana dalam hidup, tutur kata, kepribadian, dan tingkah laku.

Menurutku, hidup ini indah, bahkan teramat sangat indah jika kulalui setiap fasenya dengan senyum kekuatan dan ketegaran. Bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Bahwa selalu ada hikmah yang dapat dipetik dari setiap ujian dan cobaan yang kualami. Ujian dan cobaan ada, pun sejatinya bukan untuk membuatku menderita, meratapi nasib yang ada, dan pasrah begitu saja, tapi juga harus ada usahaku untuk mengatasinya. Musti ada taktik dan strategi yang dibuat agar hidup yang kujalani tak hanya sekedar hidup yang berlalu tanpa arti, namun harus ada perjuangan dan pengorbanan yang kelak bisa menjadi sebuah kekuatan tersendiri untukku.

Dari semua yang pernah kulalui dalam kehidupan ini, kini aku bisa tersenyum sembari mengucapkan, ”Inilah hidup yang pernah Allah titipkan padaku, dan aku senang menjalani hidupku. Aku mencintai hidupku”

Sekali lagi, meski hidup terkadang seperti teka teki yang teramat sulit untuk dipecahkan misterinya, namun pada akhirnya aku menyadari, bahwa inilah seninya dalam menjalani setiap detik dalam hidupku. Yang pada akhirnya aku belajar untuk mencintai hidup, dan mencintai Sang Maha Pemberi Hidup. Itulah syukur yang tidak akan pernah ada tandingannya.


nurlailazahra

4 Januari 2011

Ibu Berkarir atau Berkarir sebagai Ibu..???

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak, mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini.

Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan Sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.

Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba. Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak Begitu hebat pada putri kami. Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun.

Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal..

Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini.

Dan ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu). Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit" , hanya itu saja. Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya.

Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka.

Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.

Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6 orang anaknya.

Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan. Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi? .

Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan.

Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya.

Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya. Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar.

Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! !! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga. Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya .. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami..

Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi , setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit. Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya.

Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! Menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia. Tragis !

Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren..

Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya. Dan difoto "keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama..

Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.

Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor.

Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah. Maya menulis :

"Ya Tuhan kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat berdoa, siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur..Ya Tuhan, Maya kangen banget sama bik Inah"

Bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan bik Inah ?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu.

Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.

Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya.

Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya.

Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya. Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy untuk menentramkan hati saya.

Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua.

Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya. Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya. Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni.

Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya.
Dan disetiap berdoa saya selalu memohon

"YA Tuhan seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisiMu". Semoga Tuhan mengabulkan doa saya.

NN


Best Regards,
Mulyana N
==================
PT.OTICS Indonesia
Production Control Dept.
Marketing & Prod. Control Div.