Jika membahas tentang kelakuan “bejat” beberapa petinggi negara kita, rasanya tidak akan pernah habis dibahas dalam kurun waktu yang tidak terhitung. Karena sejak dulu sampai saat ini pun berita-berita tentang perbuatan tercela pejabat-pejabat negara itu masih menjadi sarapan pagi, makan siang, makan malam, bahkan cemilan bagi rakyat Indonesia. Setiap mendengar ada anggota dewan atau pejabat yang melakukan tindak korupsi, rasanya kita sebagai rakyat ingin sekali menghujat dan menghujaninya dengan berbagai macam cacian dan makian. Rasanya tidak pernah habis rasa kesal ini jika dihadapkan dengan semua “permainan” pejabat culas itu.
Nah sekarang, tanpa mengesampingkan rasa kesal dan jengkel kita pada pejabat-pejabat culas itu, coba kita bercermin pada sebuah hati nurani, pernahkah kita tengok ke kedalaman hati kita, apakah kita sudah lebih baik dari apa yang pejabat-pejabat culas itu lakukan? Kita begitu kesal saat mendengar pejabat A, B, C, dan D melakukan korupsi sekian milyar. Kita selalu menganggap mereka seolah tidak punya hati saat memakan uang yang bukan hak mereka, tapi cobalah bertanya pada hati nurani kita sendiri, apakah ada yang bisa menjamin kalau kita tidak akan melakukan seperti apa yang mereka lakukan jika kita ada di posisi mereka? Apakah ada yang bisa menjamin kalau kita tidak akan khilaf saat melihat uang sekian milyar bahkan triliunan itu bisa menjadi peluang kita untuk berbuat korupsi? Siapakah yang bisa menjamin jika setan tidak akan membisikkan hal-hal buruk pada kita? Adakah???
Tanpa bermaksud untuk membela mereka yang bersalah – karena saya pun sangat benci pada koruptor – mungkin ada baiknya jika kita tengok lebih dalam dulu ke hati nurani kita, apakah perbuatan dan sikap yang kini menghiasi diri kita, sudah pada tahap yang lebih baik dari mereka? Mungkin intinya adalah introspeksi dulu terhadap diri sendiri, jika sudah merasa lebih baik, baru kita bisa “berteriak” maling pada maling-maling berdasi dan bersanggul itu.
Sepakatkah kita jika mengatakan kalau perbuatan korupsi dan mencuri itu adalah sama? Jika ada yang berbeda, mungkin hanya dari segi fisik, jumlah, dan nominalnya saja. Selebihnya adalah SAMA. Ya, sama karena sama-sama mengambil hak orang lain. Mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Lalu coba kita tanyakan lagi pada nurani kita, selama kita hidup, adakah kita terbebas dari perbuatan mencuri? Jika jawabannya ‘ya’, rasanya mustahil. Sebab saat kita bekerja pun, pasti ada saat-saat di mana kita bekerja tidak dengan baik. Menyia-nyiakan waktu dengan bermalas-malasan atau malah bolos bekerja. Apakah itu tidak bisa dibilang korupsi waktu jam kerja??
Contoh kecil lainnya saat kita sekolah dulu. Apa pernah selama bertahun-tahun sekolah itu, kita terbebas dari kegiatan mencontek, baik dari buku, catatan, teman, bahkan dari oknum guru sekalipun? Jika jawabannya ‘ya’ lagi, rasanya sangat-sangat mustahil. Sebab wajah dunia pendidikan kita dari dulu sampai sekarang sudah tercoreng dengan budaya mencontek yang rasanya sudah mengakar, mendarah daging, bahkan sudah menjadi habitual para peserta didik, baik di bangku SD, SLTP, SLTA, sampai kuliah. Apakah salah jika saya mengatakan hal itu juga merupakan perbuatan mencuri??
Saya yakin masih banyak lagi contoh-contoh kasus lainnya yang pada akhirnya membuat kita sadar bahwa ternyata kita pun tidak ada bedanya dengan pejabat-pejabat culas yang ada di negara kita ini. Jika ada yang merasa kesal dengan statement saya ini, saya mohon maaf. Tapi ada baiknya kita menyadari, bahwa perbuatan korupsi pun sebenarnya juga lahir dari sebuah perbuatan/kebiasaan mencuri hal-hal yang kecil dahulu. Seperti misalnya seseorang yang ingin sekali menjadi PNS, rela mengeluarkan uang berjuta-juta demi sebuah jabatan di lembaga pemerintahan. Yang menjadi permasalahan bukan pada uang sogokannya, tapi kepada cara yang sebenarnya haram, seolah menjadi halal dan wajar adanya, karena hampir semua pihak “membenarkan” hal ini (karena hal ini menguntungkan beberapa pihak yang terlibat). Bukankah ini pun bisa dikatakan sebagai tindakan mencuri? Ya, mencuri hak orang lain yang lebih berkompeten untuk bisa menempati jabatan tadi. Jika selanjutnya ia – pegawai yang menyogok tadi – meluapkan rasa kesalnya pada pejabat-pejabat yang melakukan korupsi, apakah tidak sama saja maling teriak maling???
Ah, jika mau membahas semua perbuatan yang sama saja kejinya dengan korupsi, rasanya di media ini tidak akan cukup. Polisi yang banyak menerima uang sogokan dari para pengendara yang kena tilang – dengan alasan damai – padahal baik si pengendara maupun polisi ya sama-sama salah. Masyarakat banyak menyalahkan polantas karena banyak memakan uang haram (uang damai hasil tilang), tapi pengendara pun kadang tidak tahu diri. Sudah tidak taat peraturan lalu lintas, malah memancing polisi untuk menerima uang damai.
Ada juga oknum guru yang memberikan kunci jawaban pada murid-muridnya pada saat Ujian Nasional – dengan dalih agar semua muridnya lulus – jelas merupakan sebuah perbuatan yang sebenarnya hal itu adalah cikal bakal terjadinya tindakan mencuri ataupun korupsi. Intinya karena mereka telah terbiasa dengan perbuatan-perbuatan tercela, yang sebenarnya haram, namun seolah halal dan sah-sah saja sebab banyak pihak yang mewajarkan dan melumrahkan hal tersebut. Dan secara tidak langsung pun “kita” ikut andil dalam membangun tatanan perusak moral itu jika kita sudah mulai membiasakan anak-anak, adik-adik, teman-teman, dan keluarga kita untuk berbuat yang tidak sesuai dengan peraturan, moral, norma, etika, apalagi Agama.
Jika kita terbiasa “mencuri” hal-hal kecil dalam keseharian kita, rasanya tidak perlu heran dan capek-capek berteriak maling pada pejabat-pejabat culas itu jika pada akhirnya mereka memakan uang rakyat, uang kita, uang yang bukan menjadi hak mereka, sedikit demi sedikit hingga menjadi bukit. Kekayaan berlimpah, namun dosa pun tumpah ruah.
17 komentar:
Semoga tidak termasuk kita ya...
Mungkin sudah jadi tren atau mungkin sudah budaya ya? Itulah bukti bahwa manusia mengaku memiliki Tuhan tapi tdk pernah perduli dengan keber-Tuhan - an mereka. Na'dzubillahi
dan semoga para maling itu bisa cepet2 insyap, Aminnn
Betul. Mesti instropeksi diri. Kan mereka juga lebih kurang representasi dari masyarakat juga.
Merubah sesuatu itu harus dimulai dari diri sendiri, dan alangkah baiknya jika kita mampu menyalakan lilin di dalam gelap ketimbang mengutuki kegelapan :)
begitulah kelakuan mereka. hiks
dimulai dari keluarga, seperti lingkaran kalo udah begini yah
apa kabarrrr sar :D maaf lama tidak mampir, hehe.
kita semua udah capek liat berita yaa
dimulai dari keluarga, seperti lingkaran kalo udah begini yah
apa kabarrrr sar :D maaf lama tidak mampir, hehe.
kita semua udah capek liat berita yaa
Benar juga. Di negeri kita banyak maling teriak maling :D
Mari kita benahi diri kita sendiri dan lingkungan terdekat kita. Semoga semakin lama akan makin sedikit 'maling' dan 'maling teriak maling'
semoga kita tidak terasuk didalamnya ya
semoga diri ini dan keluarga bersama sahabat-sahabat terhindar dari hal-hal yang demikian ya, Mbak...
semoga kita dijauhkan dari hal itu ya mbak..,
salam kenal aja. :))))
kalau ada waktu difollbek ya mbak.
Masya Allah .......semoga kata-kata indah ini bisa mewakili rasi kesal kita kepada para peminpin-pemimpin negeri ini........nyook kita benahi negara kita yg tercinta ini kita bejahi mulai dari diri kita ,keluaga terdekat ,supaya menjadi orang-orang yg berkialitas dihadapan Allah dan sesama.....salam kenal......bahagia itu indah.
masya Allah ......semoga kata-kata indah ini mewakili kekesalan kita pada para petinggi bangsa ini ......pasti Allah bersama kita.....dan semoga Allah jauh kan kita semua dari sifat-sifat tersebut.
Masya Allah ......smga kata-kata indah ini mewakili rasa kecewa kita pada para petinggi negara ini......salam kenal.....bahagia itu indah.
Mudah2an kita bisa mngehindari sikap spt itu ya Sarah..
Sangat mengerikan jika mempunyai sifat seperti itu, semoga kita tidak bersikap seperti itu.
Posting Komentar