12 September 2011

Sekeping Cinta Dalam Segenggam Ikhtiar

Aku baru ingat, sampai tulisan ini kubuat, ternyata sudah hampir enam bulan berlalu tanteku pergi meninggalkan dunia ini. Mengapa aku membahas demikian? Karena tante bukan hanya sekedar adik dari mamaku, ia sudah seperti ibu kedua bagiku. Jika aku punya masalah dengan beberapa anggota keluargaku yang lain, atau hanya sekedar mencurahkan isi hatiku, aku selalu membicarakannya pada tante. Aku begitu kagum akan dirinya. Namun sayangnya hal itu aku sadari setelah ia pergi dari sisiku. Dari sisi kami semua.

Ia merupakan sosok seorang wanita yang sangat tegar. Sangat penyabar dan ikhlas atas segala takdir yang digariskan Allah untuknya. Ikhlas akan keadaan suaminya yang sudah sakit-sakitan, ikhlas dengan semua keadaan keluarganya yang serba kekurangan, ikhlas karena harus menerima cemoohan dari tetangga bahkan saudara-saudaranya, dan ikhlas menjalani kehidupannya sebagai seorang ibu dengan kelima anaknya yang masih memerlukan banyak biaya. Anaknya yang pertama bernama Ulfa. Ia masih duduk di bangku SMK kelas 3. Anaknya yang kedua bernama Tiara yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Anak ketiganya bernama Intan. Ia masih duduk di bangku kelas 2 SD. Sedangkan yang keempat bernama Azmi yang baru masuk TK tahun ini.

Nah, anak tante yang kelima bernama Rizky. Ia masih berusia satu setengah tahun saat ia harus menerima kenyataan bahwa mamanya telah pergi meninggalkanya untuk selama-lamanya. Tanggal 14 September nanti ia genap berusia dua tahun. Ia begitu dekat denganku. Bahkan sejak tante masih ada pun, aku sudah membahasakannya memanggilku dengan sebutan ‘bunda’. Ah indahnya dipanggil dengan sebutan itu.

Sejak tante pergi karena sakit varises di vaginanya hampir enam bulan yang lalu di ruang ICU RSUD Budhi Asih, Rizky selalu bersamaku di setiap kesempatan, kecuali jika aku kerja, mengajar, dan kuliah. Selebihnya, baik tidur, bermain, mandi, ataupun jika aku pergi kemana-mana, aku sudah mulai terbiasa membawanya. Ia sudah kuanggap seperti anakku sendiri, meski sampai saat ini aku belum pernah menikah.

Sejak kepergian tante, Rizky lah yang menjadi prioritasku hingga saat ini. Ia lah yang menjadi alasan terkuat mengapa sampai saat ini aku masih harus bekerja keras mencari uang demi memenuhi kebutuhanku, kebutuhannya, dan kebutuhan keluargaku. Aku memang bukan kepala keluarga di rumah ini, bukan juga sebagai tulang punggung keluarga, tapi minimnya perekonomian keluargaku jadi memaksa aku untuk bekerja lebih keras dan keras lagi. Paling tidak, aku masih harus bantu-bantu membeli ini dan itu demi mengurangi beban hidup keluargaku. Belum lagi tunggakan-tunggakan di sekolah Ulfa yang harus segera di lunasi, serta memikirkan bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk membayar uang kuliah adikku nanti, membuat aku dan keluaga jadi harus selalu memutar otak agar semua kebutuhan itu terpenuhi pada porsi dan waktu yang sesuai.

* * *

Aku kembali mendesahkan nafasku. Berkali-kali aku hirup udara ibu kota yang tak bersih ini dan penuh polusi. Kakiku masih terus melangkah menuju sebuah rumah yang sudah lebih dari dua puluh dua tahun ini aku tempati. Aku baru pulang mengajar dari salah satu rumah anak muridku. Alhamdulillah sekarang waktunya libur kuliah, jadi aku bisa langsung pulang ke rumah selepas mengajar. Bertemu dengan Rizky dan melihat senyumnya yang merekah ketika menyambutku pulang.

Aku kembali menyambut senyumnya dengan sebuah hati yang diliputi kecemasan. Kenapa? Karena hari ini adalah hari terakhirku mengajar di tempat anak muridku itu. Ya, ibunya sudah memberikan gaji terakhir untukku. Setelah itu, aku dipesankan untuk tak perlu lagi datang ke rumahnya. Alasannya sih katanya karena anaknya sudah tak ada waktu lagi untuk belajar privat denganku karena tahun ini ia sudah memasuki bangku SLTP. Aku pun sepakat dengan keputusannya. Aku berpikir, kalau aku berhenti mengajar di tempat itu, otomatis penghasilanku berkurang. Ya, berkurang cukup banyak. Karena itu artinya jatah uang untuk membeli susu Rizky sudah tidak ada. Dan itu artinya lagi jatah uang itu harus aku masukkan ke dalam penghasilanku yang lain. Memang aku masih punya gaji dan honor mengajarku di dua tempat lagi. Tapi......

Ah sudahlah. Saat hal itu sudah bukan menjadi rizkiku lagi, aku sempat berpikir, “Harus kemana lagi kulangkahkan kaki untuk mencari rizki-Mu Ya Rabb...???” Tapi aku kembali tersadar. Kehidupan tidak akan pernah berhenti hanya karena satu sumber rizki hilang. Kecuali memang sudah takdir bahwa kehidupan ini harus berakhir saat ini juga. Kehidupan pasti akan tetap berlangsung, namun mungkin ritmenya saja yang berbeda. Namun mungkin porsinya saja yang agak sedikit dikurangi. Dan di sisi lain, aku percaya bahwa kehidupan ini pasti akan baik-baik saja. Karena kuyakin bahwa Allah pasti telah menjamin kehidupan semua makhluk-Nya yang sudah ia takdirkan untuk hidup di muka bumi ini.

Selepas satu sumber rizki itu hilang, aku masih terus melangsungkan hidupku seperti biasa. Ya meski memang butuh perjuangan yang agak berat, namun setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Paling tidak, ada saja rizkinya untuk membeli susu buat Rizky.

Karena kondisi yang seperti ini, aku jadi harus tetap bekerja keras sesuai dengan kadar kesehatanku. Tak jarang aku jadi lebih sering pulang larut senja karena masih harus mengajar dulu sepulang kerja. Pernah suatu ketika, pada hari Kamis, di mana itu adalah jadwal mengajarku di salah satu rumah anak muridku, aku tengah berpuasa.

Ketika azan Maghrib sudah berkumandang, aku masih berada di sana. Beberapa potong bakwan jagung yang sengaja di suguhkan orang tua muridku di meja sudah aku bungkus dengan tisu untuk bekal buka puasaku di jalan.

“Lumayanlah buat pengganjal perut sebelum sampai rumah.” Pikirku kala itu.

Namun karena mungkin orang tua muridku itu tahu aku tengah berpuasa, akhirnya ia membungkuskannya lagi beberapa potong menggunakan plastik.

“Ah kalau memang rejeki nggak kemana...” Aku kembali membatin dalam hati sambil menyunggingkan senyum di hadapan orang tua muridku. Aku langsung bergegas pamit dan pulang. Di jalanan komplek yang sepi, aku makan beberapa potong bakwan jagung itu sambil sesekali meminum air teh yang sengaja aku bawa dari kantor.

“Ah nikmatnya. Alhamdulillah....” Ucap syukurku dalam hati sambil terus mengunyah potongan bakwan tadi. Tiba-tiba terlintas saja dalam benakku, “Ya Rabb....begitu sulitnya mencari rizki-Mu....”.

Namun lagi-lagi aku tersadar. Bukankah jalan rizkiku ini sangat mudah? Bukankah ladang rizkiku ini terbuka bukan dari satu keran saja? Bukankah aku tak perlu repot-repot mengudek-udek tempat sampah demi mendapatkan barang bekas yang masih bisa di jual? Bukankah aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bisa mengais rizki-Nya lewat bekerja, mengajar, dan menulis? Astaghfirullah. Ternyata pikiranku kala itu amat sempit dan picik. Bahkan hanya karena berbuka puasa di jalan saja bisa membuatku berpikiran buruk pada Allah. Padahal mungkin di belahan bumi Allah yang lain ada orang yang selalu berpuasa namun jarang bisa berbuka di waktu yang di haruskan dengan sejumlah makanan yang enak, atau mungkin juga ada yang tak pernah berbuka. Ya Rabb ampuni aku.

* * *

Di tengah silang sengkurat waktuku memikirkan kehidupanku dan keluarga, aku kembali teringat bahwa hanya Allah lah yang harusnya menjadi andalan dan tumpuan tempat mengadu rasa. Bahwa seharusnya aku bisa lebih berharap pada diriku sendiri kalau suatu saat nanti aku pasti bisa menghidupi keluargaku dengan jerih payahku sendiri. Aku pasti mampu ‘berdiri’ di atas kakiku sendiri tanpa harus ‘mengemis’ kasih pada orang lain.

Perjuangan ini belum selesai. Perjuangan ini baru saja dimulai. Aku masih harus terus melangkah maju merajut asa dan harapan di tengah kerasnya hidup yang harus aku lalui, sampai ajal menjemput. Aku masih punya banyak mimpi, asa, cita-cita, dan harapan. Ingin rasanya aku merajut kesemuanya itu saat ini, meski harus kurajut di tengah ilalang kehidupan.

* * *

“Nak, ikut bunda beli pampers yuk?” Ajakku lembut pada Rizky malam ini. Ia langsung mengangguk dan segera mencari sandal kodoknya. Alhamdulillah masih ada selembar uang lima ribuan di tasku. Uang sisa ongkosku hari ini. Aku berjalan perlahan ke sebuah warung sambil menuntun tangan Rizky. Sembari ditemani cahaya sinar sang rembulan, aku dan Rizky terus melangkah menuju tempat yang kami tuju. Pikiranku masih terus saja melayang-layang di angkasa. Tentang masa depanku, masa depan Rizky, masa depan kami berdua.

Di langit tampak bulan tersenyum indah sekali. Rizky mendaulatku untuk menyanyikan lagu kesenangannya, lagu kami berdua. Kami terus melangkah merajut asa kami sambil melantunkan lagu itu.

Ambilkan bulan bu...
Ambilkan bulan bu...
Yang slalu bersinar di langit, di langit
Bulan benderang...
Cahyanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan bu...
Untuk menerangi...
Tidurku yang lelap,
di malam gelap

”Rizky, malaikat kecilku, bunda janji, suatu saat nanti, bunda pasti bisa menjadi bulan untukmu. Bulan yang akan selalu menemanimu, tak hanya dalam malam yang gelap, tapi di setiap saat waktumu. Nak, kau adalah anugerah terindah ibumu dari Tuhan untukku. Baik-baik ya sayang.”

* * *

Sekeping Cintaku Untuk Rizky

Nak, Perjuangan ini bukanlah tanpa arti. Perjuangan ini hanya agar kau mengerti, bahwa hidup ini tak semudah yang kau bayangkan.

Nak, Bunda tahu kau selalu ingin dekat denganku. Bunda pun mengerti bahwa kau membutuhkanku di tiap waktumu. Bunda pun demikian nak. Namun maafkan bunda.... Mungkin aku belum bisa menjadi bunda yang seutuhnya buatmu. Seringkali kutinggalkan kau dirumah dengan anggota keluarga yang lain, bukan karena apa, melainkan karena bunda pergi untuk memenuhi sebagian kebutuhanmu dan menunaikan kewajibanku demi masa depan kita bersama. Kuharap kau mengerti nak. Baik-baiklah kau dirumah saat bunda jauh darimu. Izinkanlah bunda mengorbankan sedikit kebersamaan kita, untuk suatu hal yang mungkin akan kau pahami suatu saat nanti.

Tak jarang pula, yang seharusnya aku bisa pulang lebih awal, namun lagi-lagi, karena aku masih harus memenuhi sebagian kebutuhanmu, maka terpaksa aku menerima tawaran kerja lain. Yang pada akhirnya membuat waktuku terus mengulur panjang diluar sana, dan hanya menyisakan waktu malamku yang tak banyak, hanya untuk sekedar menemanimu tertawa bersenda gurau, sampai akhirnya kau tertidur lelap.

Nak, Asal kau tahu, tak jarang aku harus melawan rasa kantukku yang tak tertahankan hingga membuatku sering terlewat saat harus turun di depan kampus. Itu semua tak menjadi masalah buatku, asal aku bisa selalu ada untukmu disaat kau membutuhkanku, itu sudah menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri dihatiku.

Nak, Apa kau tahu? Kau adalah titipan terindah dari-Nya. Amanah ibumu, yang telah lebih dulu pulang keharibaan-Nya. Sehat-sehat ya sayang? Bunda selalu doakan agar kau senantiasa dalam lindungan Yang Kuasa. Sebab saat melihatmu tengah tak sehat, sebenarnya andai kubisa, ingin sekali rasanya aku menggadaikan kesehatanku demi kesembuhanmu. Apapun akan aku lakukan demi dirimu. Demi kebahagiaanmu, dan demi kehidupan yang layak buatmu.

Kau mungkin sudah tak bisa lagi merasakan kasih sayang ibumu, tapi aku janji nak, aku akan selalu berusaha untuk bisa menjadi seorang bunda yang baik untukmu. Aku akan berusaha untuk mencurahkan seluruh kasih sayangku buatmu, agar kau merasa tak pernah kehilangan kasih sayang seorang ibu.

Nak, Kaulah yang kini menjadi alasan terkuat mengapa sampai saat ini aku harus tetap bekerja keras. Karena kaulah yang menjadi prioritasku saat ini. Suatu saat nanti kau pun akan mengerti, bahwa hidup ini akan berakhir pada suatu keadaan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya, jika kau mau berusaha dengan ikhlas, sabar, dan selalu bersyukur. Jadilah anak yang shalih, cepat besar ya sayang? Bunda akan selalu menyayangimu Rizky :)

Cerita ini diikutsertakan dalam kontes Bahasa Cinta di Atap Biru

15 komentar:

Aji Prast mengatakan...

aku share di twitter ku ya..

kira mengatakan...

wahhh, keren,, moga menang,,, :)

catatan kecilku mengatakan...

Aduh... campur aduk rasaku membaca tulisan di atas... Hidup memang penuh liku dan perjuangan ya? Tapi penuh juga dg segala macam kenikmatan dan kebahagiaan.
Semoga menang ya.

Unknown mengatakan...

duh rasanya jadi mau nangis nih, sis...terharu dan gimana gitu.

Unknown mengatakan...

memanglah batul kata teman kita, hidup penuh lika-liku. Semangat :D

ketty husnia mengatakan...

rizky telah menginspirasi hidupmu ya mbak,..semoga kalian berdua selalu tabh dan sabar.amin
maaf lahir batin ya mbak..maaf br sempat mampir :)
gudlak buat kontesnya..

Corat - Coret [Ria Nugroho] mengatakan...

rezeki memang pasti selalu ada dimana saja, apalagi kamu mencari rezeki untuk rizki pasti Allah akan selalu memberikan kamu rezeki :D

Sarah mengatakan...

@All : makasih banyak ya atas dukungan dan semangatnya :)

Nia mengatakan...

Insya Allah Rizki udah ada rejekinya...sedih banget baca postingan ini...inget anak sendiri....smoga nur dikasih kemudahan didalam mendidik dan menghidupi rizki...aamiin

dillahshetia mengatakan...

hmmmm jd sedihh

Ila Rizky mengatakan...

salam buat rizki ya, mba.. terharu baca kisah ini... :'(

selli_usel mengatakan...

. selamat pagi
. salam kenal iya mbak
. keren banget mbak
. semoga menanga iya

HALAMAN PUTIH mengatakan...

Allah telah menebarkan rizki di dunia ini. Manusia bebas menjemputnya melalui jalan mana pun. Bahkan binatang kecil yang lemah pun rizkinya sudah dijamin oleh Allah. Tentu saja manusia diberikan kemampuan untuk mencari rizki di muka bumi ini.

Lyliana Thia mengatakan...

jadi pengen nangis mbak bacanya...
terharuuuu banget...

jadi bingung mau komen apa...

semoga menang ya mbak...

very beautiful and inspiring story...

Nandini mengatakan...

Apa Rizky suka baca novel? :D

Selamat ya mbak Sarah.. cerita luar biasa ini memenangkan kontes Bahasa Cinta.. :)